Menikmati Hidup Bukanlah Dosa

(Michelle Van Loon)

Sesungguhnya, itulah cara meneladani Kristus yang mendalam.

Ketika anak-anak saya masih kecil, kami menonton serial Sesame Street hampir setiap hari. Satu segmen yang mengesankan dari acara itu ditonjolkan dengan lagu sederhana yang berkata “One of These Things (Is Not Like the Others)” – Satu dari Hal-hal Ini (Tidak Seperti Yang Lain-lainnya). Ketika nyanyian itu terdengar, para penonton akan melihat empat hal di layar. Kita harus memikirkan hal yang mana yang berbeda dari ketiga hal lainnya.

Alkitab kadang mengingatkan saya tentang nyanyian sederhana itu. Sebagai contoh, yang manakah dari ayat-ayat ini yang tampaknya tidak sama dengan yang lain-lainnya?

Meskipun ayat terakhir tampaknya berbeda dari ketiga ayat lainnya, saya tahu ayat itu sebetulnya senada. Meskipun penulis kitab Pengkotbah membingkai kitabnya dengan realitas nyata bahwa hidup ini singkat dan sementara seperti kepulan asap saja, ia juga sering mengatakan bahwa menikmati kebaikan hidup sebagai anugerah Tuhan tidaklah bertentangan dengan realitas itu (Pengkotbah 2:24, 3:13, 5:18, 9:7-13). Malahan, sukacita memperkaya relasi kita dengan Tuhan sebagaimana harmoni memperkaya melodi.

Saya memiliki kepribadian yang kuat dan tertarik pada disiplin iman yang keras. Di Matius 7:13-14, Yesus berkata kepada para pengikut-Nya bahwa jalan yang menuju kehidupan adalah jalan yang sempit. Saya tahu ini berarti saya harus menempuh jalan ini dengan keseriusan seorang prajurit terlatih. Tidak ada tempat dalam pikiran saya untuk menikmati keindahan dan kebaikan yang bisa ditemukan di sepanjang jalan. Meskipun saya patuh untuk bersyukur pada Tuhan atas hal-hal baik seperti pertemuan yang menyenangkan dengan keluarga dan teman-teman, atau makanan yang lezat, saya menggolongkan hal-hal ini sebagai hal tambahan yang tidak sepenting tugas utama saya melayani Tuhan.

Penelitian yang lebih dalam tentang kitab Pengkotbah dan pengamatan yang lebih cermat terhadap cara Yesus berperilaku di sepanjang kitab-kitab Injil akhirnya mengubah pandangan saya. Bagaimana jika menikmati kebaikan yang diberikan Tuhan dalam hidup saya bisa memuliakan Bapa sama seperti melayani orang lain, memberitakan Injil, atau menghabiskan waktu dalam ibadah bersama? Suatu pemikiran yang provokatif. Bagaimanapun, bagaimana saya dapat menikmati hidup saya jika saya hanya memikul salib saya?

Tetapi Yesus dapat menikmati kebaikan hidup-Nya dengan menghabiskan waktu dalam komunitas bersama para sahabat dan pengikut-Nya, dengan makan bersama berbagai macam orang, merayakan perjamuan kawin, dan menyepi untuk berkomunikasi dengan Bapa-Nya. Tidak setiap waktu merupakan kesempatan untuk berkotbah. Kitab-kitab Injil menyoroti esensi kehidupan dan pengajaran-Nya, tetapi kurang menonjolkan yang Yesus ungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dia adalah Tuhan sejati dan manusia sejati, dan sifat-sifat ini berarti Dia hadir sepenuhnya ketika Dia mengambil sepotong ikan bakar pada hari Rabu malam, menikmati citarasanya dengan kegembiraan mendalam, yang sama pentingnya dengan ungkapan pujian dari nyanyian yang indah.

Menjadi seperti Yesus berarti hadir sepenuhnya dalam peristiwa kehidupan sehari-hari saya sendiri. Ketika saya mempraktikkan hal ini dengan menggunakan kelima indera saya untuk menyentuh kelopak bunga, mencium aroma air laut di pantai, melihat senyum hangat teman-teman, mendengarkan suara tawa mereka, atau menikmati sepotong ikan bakar, saya mendapati bahwa rasa syukur kepada Tuhan tidak terasa sebagai tambahan. Bersyukur pernah menjadi “kewajiban” dalam daftar tugas saya sebagai tentara rohani, tetapi semakin saya belajar menikmati yang Tuhan taruh dalam hidup saya, semakin saya merasa bebas dan alami untuk dapat memuliakan Dia sebagai Pemberi segala pemberian yang baik (YakobuHYPERLINK “https://www.intouch.org/read/articles/enjoying-life-isnt-a-sin”s 1:17).

Dengan kata lain, pertanyaan “Ayat manakah yang berbeda dari ketiga ayat lainnya?” tidak tepat. Pertanyaan yang benar adalah, Bagaimana kita memuliakan Tuhan dengan hidup kita? Dan jawabannya ternyata adalah “semua yang di atas.”