Kebaikan Yang Paling Tidak Dihargai

(Charles F. Stanley)

Di antara semua kualitas karakter terbaik yang bisa kita rindukan, ada satu yang sering disalahpahami dan jarang diinginkan.

Jika Anda dapat memilih satu kualitas atau sifat terpuji untuk mencirikan diri Anda, apakah itu? Sebagai orang Kristen, kita ingin dicirikan dengan sifat-sifat baik seperti kejujuran, integritas, keluhuran moral, kesetiaan, atau belas kasih; tetapi seberapa banyak dari kita yang ingin menjadi rendah hati? Di dalam masyarakat yang mengedepankan kekuatan dan ambisi, kerendahan hati tidak begitu dihargai. Bahkan, sering dianggap sebagai kelemahan dan kepengecutan.

Tidak seorang pun dari kita yang menggambarkan Yesus sebagai orang lemah, tetapi Dia berkata tentang diri-Nya sendiri, “Aku lemah lembut dan rendah hati” (Matius 11:29). Kerendahan hati adalah kebalikan dari kesombongan dan dapat didefinisikan sebagai perendahan diri yang didasarkan pada pandangan yang baik dan benar tentang diri sendiri. Tujuannya adalah untuk melihat diri sendiri sebagaimana Tuhan melihat dan menerima apa pun kedudukan yang Dia tetapkan untuk kita.

Kita juga harus ingat bahwa kedudukan seseorang dalam kehidupan bukanlah ukuran tentang betapa rendah hatinya orang itu. Pekerjaan yang berpengaruh atau kesehatan yang baik tidak serta-merta menunjukkan seseorang itu tidak rendah hati, sebagaimana juga kemiskinan atau kurang terkenal  bukan jaminan bahwa seseorang itu rendah hati. Sifat rendah hati adalah kualitas internal jiwa yang dihasilkan Tuhan dalam diri anak-anak-Nya melalui kuasa Roh Kudus.

Sesungguhnya, kerendahan hati sangat penting dalam keselamatan. Tidak seorang pun dapat datang kepada Tuhan dan berkata, “Tuhan, ini adalah hari keberuntungan-Mu; aku datang untuk diselamatkan.” Sikap angkuh semacam itu tak pernah berhasil. Setiap orang yang betul-betul diselamatkan datang pada Tuhan dengan penyesalan yang dalam, mengakui bahwa ia adalah orang berdosa yang memerlukan pengampunan. Orang yang rendah hati tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada Tuhan selain pertobatan dan percaya kepada Kristus.

Dengan menyelidiki sikap Kristus, kita belajar seperti apa kerendahan hati yang sesungguhnya itu dan bagaimana kita juga dapat belajar hidup dengan rendah hati bersama Tuhan:

  • Yesus melepaskan hak-Nya—Dia “mengosongkan diri” (Filipi 2:7). Keterbatasan jasmani kita membuat kita sulit memahami apa yang ditinggalkan Yesus ketika Dia datang ke bumi. Sebagai anggota Trinitas, Anak memiliki natur, sifat-sifat dan kuasa yang sama seperti Bapa dan Roh Kudus. Namun Dia tidak berpegang pada kesamaan-Nya itu atau pada hak-hak keilahian-Nya. Melainkan, Dia meninggalkan kesempurnaan surga yang mulia untuk datang ke dunia sebagai Juru Selamat manusia.

Tetapi Yesus tak pernah menyerahkan ketuhanan-Nya. Dia menerima segala keterbatasan manusia, menyelubungi keagungan dan kemuliaan-Nya, dan dengan sukarela membatasi penggunaan hak-hak prerogatif keilahian-Nya (Filipi 2:6). Juru Selamat kita memilih untuk hidup dalam ketaatan pada kehendak Bapa dengan bersandar penuh pada kuasa Roh Kudus.

  • Yesus “menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:7). Penguasa semesta yang berdaulat datang ke dunia sebagai bayi, yang bergantung sepenuhnya pada orang lain yang merawat-Nya. Sang Pencipta segalanya memakai tubuh dan natur manusia namun tidak berbuat dosa. Dengan melihat penampakan luar-Nya, tak ada yang dapat mengatakan bahwa Allah sudah datang untuk tinggal di antara manusia.

 

  • Yesus mengambil “rupa seorang hamba” (Filipi 2:7). Melangkah turun dari surga untuk menjadi manusia saja sudah merupakan perendahan diri yang luar biasa, tetapi Anak Allah masih makin merendahkan diri-Nya lagi. Dia tidak datang sebagai raja atau penguasa, tetapi sebagai orang biasa. Pelayan terendah dalam rumahtangga adalah hamba/budak dan ia melakukan pekerjaan yang paling kasar/rendah. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya bahwa Dia datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani (Markus 10:45), dan Dia juga menunjukkannya dengan membasuh kaki mereka, tindakan yang dianggap sebagai tugas bawahan mereka (Yohanes 13:3-5).
  • Yesus “merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati” (Filipi 2:8). Kristus selalu melakukan kehendak Bapa, dan tindakan ketaatan tertinggi-Nya membawa-Nya untuk mati bagi dosa-dosa dunia (1 Petrus 3:18). Tidak ada yang mengambil nyawa-Nya; Dialah yang memberikannya sendiri menurut kehendak-Nya, sesuai perintah Bapa (Yohanes 10:17-18).

Kematian Yesus di kayu salib adalah penghinaan tertinggi. Penyaliban adalah cara mati secara perlahan-lahan dan sangat menyiksa yang disediakan untuk penjahat yang paling keji. Yesus tergantung di salib dengan telanjang di antara dua pelanggar hukum, dan Dia diolok-olok serta dicerca orang banyak ketika Dia menanggung akibat dosa untuk kepentingan manusia.

Kerendahan hati adalah sifat yang diinginkan Tuhan pada kita. Tuhan sudah menunjukkan sikap yang perlu kita miliki jika kita hendak mengikut Dia dengan setia. Kita terlalu sering berfokus pada yang kita inginkan – perlindungan, pemeliharaan, pimpinan, kasih, jaminan dan berkat-berkat – yang semuanya baik, padahal Dia ingin membangun kerendahan hati yang seperti Kristus di dalam kita. Ini berarti kita harus melakukan evaluasi-diri yang jujur dan meminta Dia menunjukkan di mana saja kesombongan kita. Kita mungkin akan menemukan hal-hal tentang diri kita yang tidak kita sukai, tetapi Dia yang menyingkapkan hal itu pada kita juga berkuasa mengubah kita. Ketika kita melihat teladan yang diberikan Kristus pada kita, kita harus memikirkan bagaimana kita bisa mencapai sikap rendah hati-Nya, dengan bertanya:

  • Apakah tujuan-tujuanku dalam hidup ini berfokus pada kemajuan diri sendiri?
  • Apakah aku memegang erat-erat segala hak, keinginan atau caraku sendiri?
  • Apakah aku bersedia mengosongkan diri dari segala hak dan preferensi ini dan menyerahkannya dalam ketaatan pada Tuhan?
  • Seberapa sering aku merendahkan diri untuk melakukan hal-hal yang tampaknya hina bagiku?
  • Apakah aku memikirkan apa yang dapat kulakukan untuk melayani orang lain, atau apakah aku hanya memikirkan kepentingan diriku sendiri?

Kemuliaan dimulai dengan kerendahan hati. Tak ada yang pernah merendahkan dirinya melebihi Yesus, dan itu sebabnya “Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit, di atas bumi dan di bawah bumi” (Filipi 2:9-10).

Ketika para murid bertengkar tentang siapa yang terbesar, Yesus berkata kepada mereka, “Siapa saja yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Matius 20:26). Tuhan jauh lebih tertarik pada sifat rendah hati daripada hal-hal besar yang dapat kita lakukan bagi-Nya. Tujuan kita seharusnya menempatkan diri di bawah tangan-Nya yang kuat dan percaya bahwa Dia akan “meninggikan [kita] pada waktunya” (1 Petrus 5:6). Seperti Kristus, kita mungkin tidak melihat peninggian itu sampai di surga, tetapi ketika kita pada akhirnya berdiri di hadapan Bapa surgawi, betapa sukacitanya kita mendengar Dia berkata, “Bagus, hai hamba-Ku yang baik dan setia” (Matius 25:23).