Akhir Dari Mengingat-Ingat (Daniel Darling)

Dalam hidup ini, kita mungkin tidak bisa melupakan, tetapi bagaimanapun kita harus mengampuni.

 

Waktu bertahun-tahun sudah lama berlalu. Awan gelap yang menutupi keluarga dan pelayanan saya sudah memudar, menjadi latar belakang atau sisa-sisa serpihan bagi musim yang lain. Tetapi kemudian, secara tiba-tiba saja, ketika saya sedang mengobrol dengan teman lama, luka-luka dan pengkhianatan itu munculkembali, mengingatkan lagi pada rasa sakit yang ditimbulkan oleh mantan sahabat dan mentor saya. Seketika saja, saya kembali bergumul dengan pergumulanyang sama. Mendengar suara-suara negatif yang sama. Menyusuri tempat-tempat lama yang sudah tak asing lagi. Saya pikir saya sudah mengampuni orang yang telah begitu kejam dan tega mencemarkan nama baik saya dan hampir menghancurkan pelayanan saya. Tetapi, ah, ternyata belum.

Kita sering dinasihati – oleh sesama orang Kristen yang bermaksud baik – untuk mengampuni dan melupakan. Tetapi saya bertanya-tanya, apakah hal itu mungkin. Saya bertanya-tanya,apakah hal itu juga alkitabiah. Bagaimana mungkin Anda bisa melupakansaat Anda dikhianati seseorang? Saya tidak berbicara tentang olok-oloksepele dan gangguan-gangguan yang biasa. Saya berbicara tentang kesakitanyang hebat dan mendalam. Dan apakah pengampunan benar-benar berarti melupakan? Apakah Yusuf benar-benar tidak mengingat lagi malam-malam yang mencekam di dalam penjara? Apakah Daud benar-benar tidak mengingat lagi saat-saat Saul mengejar-ngejar dirinya? Apakah Paulus benar-benar tidak mengingat lagi orang-orang yang membuatnya dipenjara?

Allahitu dikatakan, oleh nabi Yesaya (Yesaya 43:25) dan penulis kitab Ibrani (Ibrani 8:12), “tidak akan mengingat-ingat dosa [kita] lagi.” Sekilas tampaknya Allah benar-benar melupakan dosa-dosa kita. Tetapi benarkah? Saya tidak begitu yakin.

Katamengingat, dalam bahasa Yunani maupun Ibrani, lebih mengandung artikeseluruhanpikiran daripada mengingat saja. Perhatikanlah, misalnya, ketika Musa menulis tentang Allah di Keluaran 2:24: “Allah mendengar mereka mengerang, lalu Ia mengingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub.” Sepertinya Allah tidak secara tiba-tiba saja mengingat perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. Apakah Aku menjanjikan sesuatu pada mereka? Aku  yakin Aku sudah menuliskannya di suatu tempat. Oh yah, di sini.Allah tidak seperti itu. Kita bisa lupa. Kita bisa tidak ingat. Kita memiliki ingatan yang lemah, rapuh dan melenceng. Tetapi Allah? “Jalan-Nya sempurna,” tulis pemazmur (Mazmur 18:30). Jadi apa artinya kalau Allah mengingat? Artinya adalah, Allahbertindak. Jadi ketika Yesaya dan penulis kitab Ibrani berkata, Allah tidak lagi akan mengingat-ingat dosa kita, itu artinya Dia tidak lagi akan bertindak berdasarkan dosa-dosa itu. Hukuman-Nya, yang sudah ditimpakan pada Yesus yang disalibkan, sudah dipuaskan. Allah tidak lagi menghukum kita karena dosa-dosa kita.

                Sebetulnya, saya merasa nyaman dengan pemikiran bahwa Allah tidak melupakan dosa-dosa saya, bahwa Dia tahu semua dan setiap kali saya melakukan kesalahan. Allah mengetahui semua cacat cela saya namun Dia tidak menghakimi dan tidak menghukum, karena penghakiman dan penghukuman itu sudah berlangsung ketika Kristus memikul dosa saya. Inilah yang kita lakukan setiap kali kita mengangkat cawan dan mengambil roti perjamuan kudus. Di satu sisi,kita sedang mengingat kembali – bukan melupakan – pelanggaran-pelanggaran kita; namun di sisi lain, kita juga sedang merayakan penolakan Allah untuk mengingat-ingat, untuk bertindak berdasarkan kesalahan-kesalahan itu – yang mengantar kita kepada pengampunan kita sendiri. Itulah  pengampunan yang dicontohkan dan dilakukan Kristus pada kita. Paulus menasihati jemaat Efesus, “Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni,sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Efesus 4:32).

Allah memampukan kita untuk mengampuni karena kita tidak dapat melupakan.

Tetapi melakukan pengampunan lebih sulit daripada sekadar mengucapkannya. Tepat pada saat kita berpikir kita sudah meninggalkan luka-luka itu di belakang kita, rasa sakit itu bisa muncul kembali. Luka-lukaitu bersembunyi di relung-relung pikiran kita. Luka itu bisa muncul lagi setiap kalikita mendengar lagu tertentu,atau melihat gambar tertentu,atau berjalan melewati rumah tertentu. Itulah sebabnya, ketika Petrus bertanya, sampai berapa kalikah kita harus mengampuni orang yang bersalah pada kita, Yesus menjawab, “Tujuh puluh kali tujuh” (Matius 18:22). Banyak dari kita mengartikan bagian ini seakan Tuhan sedang memberikan hitunganmatematika yang mustahil kepada para murid-Nya. Padahal Yesus bukan sedang memberikan hitungan persamaan kepada Petrus, melainkan sebuah gaya hidup. Pengampunan adalah sebuah pola/irama hidup.

Kita cenderung menganggap luka-luka mendalam dan pelik yang ditimbulkan orang lain pada kita memiliki siklus: Kita terluka, kita mengampuni, kita beranjak. Padahal kita tak pernah sama lagi setelah mengalami penderitaan. Penderitaan selalu meninggalkan bekas luka, tanda yang tak terhapuskan di jiwa kita. Pengampunan tidak menghapus tanda itu. Tetapi pengampunan memberi kita cara untuk menerima bekas luka itu dan tidak membiarkannya membuat kita pahit dan penuh dendam. Cara untuk membebaskan jiwa kita dari belenggu keputusasaan.

Yesus sebenarnya sedang mengajar Petrus untuk membangun kebiasaan bertobat. Hari lepas hari, minggu demi minggu, tahun demi tahun, sepanjang hidup. Yesus tahu bahwa bagi Petrus dan kita semua, sengatan luka-luka itu tak pernah bisa terlupakan sepenuhnya. Ia bisa kembali lagi, kadang pada saat yang paling tidak kita duga, memberi kita kesempatan untuk meneguhkan lagi pengampunan yang sudah diberikan Kristus pada kita.

Petrus semakin memahami tentang pengampunan setelah peristiwa penyaliban. Kali ini, dirinyalah yang menjadi orang yang bersalah itu. Pendukung yang sebelumnya gagah berani itu sudah menjadi pengkhianat yang pengecut, dengan menjual kesetiaan untuk penerimaan sesaat. Dan kemudian, pada pengkhianatannya yang terakhir, ia menangkap pandanganmata Tuhannya, dan airmatanya pun tak terbendung lagi. Ia sudah menyangkali Yesus dengan cara yang paling terang-terangan dan memalukan. Tetapi Yesuslah yang menyatakan pengampunan-Nya bagi Petrus ketikamereka berjalan dipantai dalam Yohanes 21, ketika,dengan cara yang tak bisa dipahami, Juru Selamat yang bangkit meminta murid itu menggembalakan umat perjanjian baru-Nya.

Ironisnya, Petrus tidak hanya menyelaraskan hidupnya denganirama pengampunan itu, tetapi ia juga setiap hari, sepanjang sisa hidupnya, mendapatkan pengampunan dari Allah sendiri. Setiap kali ayam berkokok – bagian dari suasana kehidupan sehari-hari di abad pertama itu – rasul itu akan diingatkan pada pengkhianatannya sendiri dan kasih karunia Allah yang menopangnya. Dan dengan demikian, Allah tidak melupakan. Kita tidak melupakan. Allah mengampuni, maka kita pun mengampuni.

Realitas ini—bahwa saya tidak harus mengampunidalam satu kali peristiwa besar yang menghapus ingatan-ingatan saya yang menyakitkan – sangat melegakan. Ironisnya, ingatan-ingatan itulah yang mendorong saya untuk mengampuni. Saya diingatkan padakegagalan-kegagalan saya sendiri, pola-pola ketidakpercayaan saya yang tersembunyi, dan tentang panjang sabar dan kasih setia Allah sendiri pada saya.

Mengampuni seperti  Yesus meminta  Petrus mengampuni, merupakan hal yang mustahil tanpa mengingat kembali peristiwa memalukan di pintu gerbang Yerusalem itu. Menolong diri sendiri, bermeditasi, danmelakukan ritual agama tidak dapat memindahkan kita dari kepahitan kepada kemerdekaan. Hanya dicurahkannya murka Allah kepada Anak-Nya sendiri, dan hanya ditakhlukkannya dosa dan mautmelalui kebangkitan, dan hanya keadilan yang sempurna yang dapat memberikan kerangka moral untuk kita sendiri dapat memberikan kasih karunia yang besar kepada musuh-musuh kita. “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku,”kata Yesus di Lukas 22:19.

Jelaslah bahwa hidup yang mengampuni,seiring dengan berjalannya waktu, dapatmemulihkan luka-luka kita. Saya memang masih mengingat luka-luka yang ditimbulkan orang lain pada waktu yang lalu. Tetapi menariknya, seperti halnya Petrus, meningkatnya kesadaran saya tentang betapa buruknya dosa-dosa saya sendiri terhadap orang lain, perlahan-lahan mulai mengubah kemarahan saya menjadi kesedihan terhadap mantan sahabat yang sudah sangat melukai saya itu. Dan saya menanti-nantikan saat ketika saya mengalami akhir dari tindakan-mengingat saya, saat ketika pola mengampuni yang penting itu tidak diperlukan lagi, saat ketika Yesus menghapus airmata kita dan segala sesuatu pada akhirnya menjadi baru.

Ketika saya terpicu lagi oleh pikiran-pikiran buruk dan ingatan-ingatan yang menyakitkan, saya dapat memanjatkan doa yang memohon kekuatan untuk mengampuni. Saya sudah menerima hal ini sebagai fitur, bukan virus, dalam pengalaman orang Kristen. Saya sudah tidak bertanya-tanya lagi, mengapa saya harus “melalui” hal-hal yang saya pikir tidak seharusnya saya “lalui.” Dan saya juga tidak membiarkan luka-luka saya membentuk kerak pahit di hati saya. Saya tidak perlu memikul beban perasaan atas pembalasan dendam saya sendiri.

Akan tiba saatnya ketika tujuh puluh kali tujuh itu berakhir. Ketika hati dan pikiran saya yang lemah tidak lagi mengunjungi, mengenang dan mengingat kembali kekelaman itu. Ketika terang Kristus menyinari dan menyempurnakan kita dalam kemuliaan. Pada saat itu kita akan dibuat heran dan takjub atas cara Tuhan merajut kengerian dosa menjadi permadani kasih karunia yang indah;atas cara Dia mengatasi segala luka, penderitaan, dan ketidakadilan, dan mengarahkan langkah-langkah kita yang licin menujupulang ke rumah.