Akibatnya Bisa Berbeda-Beda
(John VandenOever)
Meskipun akibat dosa yang diderita berbeda-beda, rencana Tuhan tetap tidak berubah.
Saya pernah mengenal satu keluarga Kristen yang memiliki pandangan aneh tentang penawaran kartu kredit yang biasa kita temukan dalam surat yang dikirim via pos. Terbawa perasaan sebagaimana layaknya banyak orang yang sedang menari dalam pusaran utang, mereka menafsirkan hal itu sebagai pesan dari Tuhan bahwa mereka seharusnya pergi berlayar dengan kapal pesiar. Hal itu kedengarannya mungkin sangat lancang, tetapi pada kenyataannya betapa sering kita juga membuat keputusan yang terburu-buru, hanya memikirkan diri sendiri dan tanpa iman percaya. Sebagai orang percaya kita tahu bahwa firman Tuhan itu benar, bahwa Dia akan mencukupi semua yang kita perlukan, dan bahwa jalan-Nya adalah yang terbaik, tetapi betapa sering pilihan-pilihan kita sebenarnya menunjukkan ketidakpercayaan?
Dalam khotbahnya yang berjudul “Getting Ahead of God” (Mendahului Tuhan), Dr. Stanley mengingatkan kita tentang keseriusan hal ini ketika Dia berkata,
Entah itu suara kita sendiri atau suara orang lain, kita harus selalu waspada agar kita mengikuti Tuhan dan bukan pikiran manusia. Terkadang kita tidak tahu bagaimana Tuhan akan memenuhi yang Dia janjikan, sehingga kita lalu memutuskan untuk menolong-Nya dengan cara tertentu atau memenuhinya sendiri. Tetapi, jika kita tidak menunggu Tuhan, hidup kita tidak akan selaras dengan-Nya dan kita akan menanggung akibat-akibatnya.
Kita semua pernah mengalami akibat dosa kita yang menyakitkan, dan baru setelah kita diperbarui oleh kasih karunia, kita dapat menyerahkan kembali hidup kita kepada Kristus. Tetapi saya sering bertanya-tanya, mengapa akibat ketidaktaatan bisa begitu beragam, terutama dalam sejarah bangsa Israel.
Ambillah contohnya kisah Sarah, Uza, dan Zakharia. Karena tidak percaya, Sarah mencoba menolong Tuhan dengan mengatur kelahiran seorang anak melalui hambanya (Kejadian 16); Uza memegang tabut Tuhan dan menahannya supaya tidak tergelincir (2 Samuel 6); dan Zakharia meragukan janji Tuhan yang akan memberinya seorang anak pada masa tuanya (Lukas 1). Akibat keraguannya, Zakharia menjadi bisu, tetapi ia tetap hidup dan dapat menikmati anugerah berupa anak yang diberi nama Yohanes. Dosa Sarah mendatangkan kesusahan besar dalam hidupnya dan pada bangsa Israel, namun ia dihormati sebagai salah satu pejuang iman (Ibrani 11). Tetapi Uza, yang sepintas tampaknya memiliki motif yang benar, langsung mati.
Perbedaan ini mungkin tampak mengejutkan, tetapi semua itu menunjukkan pada kita bahwa kita memang tidak boleh mengandalkan pikiran manusia dalam upaya melayani Tuhan. Selalu ada tujuan yang lebih besar dan sempurna dalam pekerjaan Tuhan di antara kita. Meskipun kita diselamatkan untuk hidup dalam ketaatan, pilihan-pilihan kita tidak mengikat Tuhan pada hasil tertentu. Ketika kita berdoa, “Jadilah kehendak-Mu,” kita bukan mempersilakan Tuhan melakukan yang Dia kehendaki, tetapi kita menyerahkan diri kepada pekerjaan yang sudah Dia rancangkan.
Dalam kasus Uza, kita melihat Tuhan dalam kekudusan dan kesempurnaan-Nya berhadapan dengan bentuk kelancangan manusia yang mematikan. Tabut perjanjian akan dipindahkan, tetapi Uza, di bawah komando Daud, mengabaikan peraturan dengan membawa tabut itu di atas kereta. Ketika ia memegang tabut itu untuk menahannya agar tidak tergelincir, Uza entah bagaimana tampaknya berasumsi bahwa tangannya cukup bersih untuk menyentuh lambang kehadiran Tuhan yang suci kudus itu. Tetapi ia sangat salah, dan ia harus membayar asumsinya itu dengan nyawanya. Dengan tindakan ini, Tuhan mengirim pesan yang menggema ke seluruh Israel: biar bagaimanapun, kekudusan Tuhan harus diingat dan dihormati.
Meskipun Sara dan Zakharia tidak harus membayar ketidakpercayaannya dengan nyawanya seperti Uza, mereka sebenarnya tidak lebih baik dari Uza. Setelah mendengar rencana Tuhan yang luar biasa untuk memberikan anak kepada mereka, mereka meragukan perkataan Tuhan. Dan seperti Uza, Sarah berusaha mencari solusi dengan tangannya sendiri.
Dosa Sara dan Zakharia membawa akibat yang menyakitkan bagi mereka, tetapi tidak mengubah rencana Tuhan bagi keturunan mereka – yang sudah ditentukan jauh sebelumnya. Melalui anak-anak itu, Tuhan akan memberikan kelepasan bagi umat-Nya, membebaskan mereka dari kuk perbudakan secara fisik maupun secara rohani. Anak yang dijanjikan kepada Sara akan menjadi bapa bangsa Israel dan, pada akhirnya, menjadi nenek moyang Juru Selamat yang menebus dosa kita. Dan anak Zakharia akan menjadi nabi yang diutus untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan.
Orang-orang yang dipanggil oleh Bapa dikasihi-Nya (Roma 8:28-30). Dan kasih kita, yang dimampukan oleh Roh Kudus, akan membuahkan kesetiaan, kepercayaan dan kepuasan besar bagi kita, ketika Tuhan dimuliakan. Meskipun kita tidak selalu mengerti mengapa kita harus mengalami kehilangan dan kesusahan-kesusahan tak terduga, kita harus tetap setia melayani Dia, bersabar menantikan solusi-Nya, dan tidak mengandalkan kekuatan kita sendiri.