Aku Pun Tidak Menghukum Engkau

(Michelle Van Loon)

Yesus mengampuni perempuan yang dituduh berzinah, namun apa yang terjadi setelah itu?

Gerombolan “orang suci” itu menyerbu rumahnya sambil meneriakkan doa-doa yang memusingkan, kata-kata mereka laksana teriakan perang. Ungkapan pujian mereka yang agung namun berlebihan kepada Yang Mahatinggi sangat kontras dengan tindakan kekerasan mereka. Pria-pria itu memeganginya dan menyeretnya seperti sekarung sampah di jalan-jalan Yerusalem. Ia berteriak dan meronta-ronta untuk melepaskan diri, tetapi tidak seorang pun berani ikut campur. Tidak ketika mereka sudah menyatakan ia bersalah. Entah ia benar bersalah atau tidak, tampaknya tak jadi soal.

Orang-orang itu lalu menerobos kerumunan yang sedang berkumpul untuk mendengarkan seorang pengkhotbah berlogat Galilea, yang berdiri di pelataran luar bait suci. Mereka lalu mendorongnya ke tengah kerumunan itu dan langsung menjauh, seakan-akan ia seorang penderita kusta. Seorang yang paling tua, pemimpin kelompok itu, mengangkat suaranya dengan penuh kemenangan dan berkata kepada pengkhotbah itu, “Guru, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam Hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?”

Hatinya yang sudah remuk tambah hancur berkeping-keping mendengar pertanyaan itu.

Ia mencuri pandang ke arah Guru itu dan melihat Dia memandang ke arah yang sama dengannya, jari telunjuk-Nya menulis di tanah. Tidakkah Dia mendengar mereka? Tidakkah Dia takut pada mereka? Gerombolan yang menyeretnya terus-menerus meneriakkan pertanyaan-pertanyaan mereka, makin lama makin keras, seakan-akan Dia tuli. Sebagian dari orang banyak yang berkumpul untuk mendengar menambahkan suara-suara mereka dalam hiruk-pikuk yang makin tak karuan.

Ketika Guru itu akhirnya bangkit, Dia berdiri sejenak tanpa berkata-kata, dan orang banyak jadi terdiam. Pada akhirnya Dia berbicara, nada suara-Nya mantap: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Dia berdiri sebentar, menatap seorang demi seorang tanpa berkedip, sebelum Dia kembali membungkuk dan menuliskan sesuatu di tanah. Dia tidak mengangkat wajah-Nya lagi. Setelah kerumunan itu bubar, Dia bangkit berdiri dan memandang perempuan itu sesaat. “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?”

Perempuan itu mungkin tertunduk dan kemudian, dengan perasaan yang seolah-olah ditelanjangi namun aman, ia menjawab: “Tidak ada, Tuhan.”

“Aku pun tidak menghukum engkau,” kata Guru itu. “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Dua orang murid Yesus datang mendekat dan memberitahukan bahwa kelompok mereka sudah diundang untuk makan. Bingung dan tak tahu harus berbuat apa, perempuan itu mulai mengikuti mereka. Mengikuti Dia. Yesus berbalik, menggelengkan kepala-Nya dan berkata dengan keramahan yang lembut, “Pergilah.”

Mungkin ia tahu bahwa jika ia ingin mengikut Dia, ia harus melakukannya di rumah, bukan dengan hanya menikmati kemurahan yang sudah diterimanya, tetapi dengan menyaksikannya kepada komunitas yang mengenal betul siapa dia dan apa yang dituduhkan para penuduhnya padanya.

Yesus sudah menyuruhnya pergi dan jangan berbuat dosa lagi. Tetapi Dia tidak menjelaskan bagaimana ia harus menjalani hidupnya. Atau, apakah Dia sudah mengatakannya?

Meskipun kisah di Yohanes 8:1-11 ini tidak terdapat dalam beberapa naskah sebelumnya, orang-orang yang menyusun Kitab Suci dalam bentuk Alkitab yang kita miliki sekarang ini telah memutuskan untuk membiarkan cerita ini tertulis dalam Kitab Suci, karena kisah ini konsisten dengan pelayanan Yesus yang terdapat dalam seluruh tulisan Injil.

Saya heran dengan minimnya perintah spesifik yang diberikan Yesus kepada perempuan ini. Dia tak merasa perlu memberinya daftar tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sebagai perempuan Yahudi yang tinggal di Yerusalem, ia setidaknya sudah mengetahui prinsip-prinsip dasar tentang apa itu dosa, karena ia dituduh melanggar Hukum Ketujuh (Keluaran 20:14).

Selain itu, ia mungkin tidak terlalu paham tentang Hukum Taurat, meskipun para penuduhnya tentu paham betul. Hukum Taurat menetapkan bahwa hukuman mati harus dilakukan terhadap pasangan – yang laki-laki maupun yang perempuan – yang kedapatan melakukan tindakan perzinahan (Imamat 20:10; Ulangan 22:22). Selanjutnya, Hukum Taurat mewajibkan orang yang menyaksikan perbuatan dosa itu menjadi orang-orang pertama yang melempari batu. Perkataan seorang saksi saja tidak cukup, dibutuhkan minimal dua orang yang benar-benar mengetahui perilaku intim pasangan yang berzinah itu (Ulangan 17:6-7). Meskipun hukuman mati dengan dirajam ini berarti orang banyak ikut menghukum, supaya tidak ada yang harus bertanggung jawab atas hilangnya nyawa seseorang, kewajiban melempar batu pertama kali hanya dimiliki para pendakwa saja.

Dalam kasus perempuan yang tidak disebutkan namanya ini, semua ini tidak penting bagi penantangnya. Penyergapan mereka di pagi dini hari itu hanyalah sebuah trik sederhana dan mudah. Mereka percaya Yesus sedang mempermainkan Hukum Taurat dengan menyembuhkan orang pada hari Sabat, makan semeja dengan orang-orang berdosa, dan menarik orang banyak yang ingin sekali mendengar perkataan-Nya. Untuk menjatuhkan Yesus, para ahli agama ini dengan senang hati mengorbankan ketaatan mereka pada Hukum Taurat, yang mereka klaim harus dihargai.

Professor W. Hall Harris III berkata tentang kisah ini, “Para ahli Torat dan orang-orang Farisi tentu berpikir mereka akan mendapati Yesus dalam situasi “serba salah” yang klasik – mereka bisa mendapati Dia bersalah dalam apa pun yang Dia lakukan atau katakan. Jika Yesus menegakkan hukum Taurat dan memerintahkan agar perempuan itu dilempari batu, mereka dapat memiliki tuduhan untuk membawa-Nya ke hadapan Pilatus (karena hukuman mati tidak boleh dilakukan oleh otoritas Yahudi), dan ini bisa digabungkan dengan suara-suara populer yang menyatakan Dia sebagai Raja. Sebaliknya, jika Yesus tidak menghormati hukum Taurat, Dia akan kehilangan kepercayaan orang banyak.”

Saya akui bahwa kebiasaan saya saat membaca teks ini seIama bertahun-tahun adalah seperti ini:  “Kalian orang-orang Farisi pasti tidak mengira akan ada jawaban seperti ini! Oh, dan hey, perempuan, berhentilah berhubungan seks dengan laki-laki yang bukan suamimu.” Jadi mungkin Anda tidak terkejut mengetahui bahwa untuk waktu yang lama saya bergumul dengan anggapan bahwa dosa-dosa kebiasaan saya bisa saja “mengeksploitasi” kasih karunia Tuhan pada saya. Saya dapat mendengar suara-suara penuduh saya, musuh jiwa saya, dengan keras dan jelas. Akibatnya, saya bisa menjadi orang Farisi yang keras terhadap diri saya sendiri dan terkadang menerapkan harapan-harapan yang tidak realistis pada orang lain. Mungkin juga saya secara diam-diam menyimpan simpati tertentu bagi para pendakwa perempuan itu, para pemegang otoritas yang sangat peduli dengan perilaku yang pantas.

Penulis dan guru besar William Barclay menulis bahwa penggunaan otoritas yang tepat harus bertujuan untuk mencari rehabilitasi pelaku kesalahan, dan ia menambahkan, “Otoritas apa pun yang hanya peduli dengan hukuman adalah salah; otoritas apa pun yang dalam pelaksanaannya membuat orang yang bersalah merasa putus asa atau marah, adalah gagal. Fungsi otoritas bukanlah menyingkirkan orang berdosa dari semua masyarakat yang baik, apalagi menghabisinya; otoritas adalah untuk membuatnya menjadi orang baik. Orang yang memegang otoritas harus seperti dokter yang bijak; satu-satunya kerinduannya haruslah untuk menyembuhkan.”

Yesus terbukti telah menjadi tabib yang bijak di pelataran bait suci pada pagi hari itu. Dia menegakkan Hukum Taurat dengan sempurna, sembari menunjukkan keterampilan ahli bedah-Nya dengan memisahkan perempuan itu dari kehidupan lamanya. Kasih karunia-Nya yang menarik mengubah segala sesuatu dan memberikan yang benar-benar dibutuhkan oleh wanita itu untuk berjalan di jalan-Nya. Yesus memintanya untuk melakukan lebih dari sekadar menjauhi dosa. Dia meminta perempuan itu menghidupi kemurahan yang sudah ia terima. Dia memintanya untuk mengampuni —dan terus mengampuni—sebagaimana ia sudah diampuni. Satu-satunya cara untuk ia dapat meninggalkan kehidupan dosanya adalah dengan mengampuni laki-laki yang sudah membuatnya dituduh berbuat zinah, para penuduhnya, dan dirinya sendiri.

Pikirkan hal ini: Setiap kali ia mendengar bisik-bisik tetangga, ia harus mengampuni mereka dari besarnya kesempatan kedua yang diberikan Yesus kepadanya. Setiap kali ia berpapasan di jalan dengan salah seorang penuduhnya, ia harus menjatuhkan “batu-batu” yang menggodanya untuk dilempar tinggi-tinggi. Setiap kali ia mendengar nama laki-laki yang membuatnya berkaitan dengan perzinahan, ia harus merangkul kemurahan yang sudah ia terima. Setiap kali ia melihat masa lalunya sendiri terpantul lagi di sebuah cermin, ia harus ingat bahwa ia sudah diberi hidup baru oleh Dia yang mengenal betul siapa dirinya yang sebenarnya.

Saya sadar bahwa selama bertahun-tahun menanamkan ajaran tentang “jangan berbuat dosa lagi” dalam hidup saya sendiri telah mengajar saya untuk fokus pada performa keagamaan saya. Dalam melakukannya, saya telah membuat kasih karunia menjadi jauh kurang menakjubkan dari yang sebenarnya. Saya mengabaikan kekuatan perintah sederhana Yesus kepada perempuan yang baru saja menerima penangguhan hukuman matinya. Yesus mengirimnya kembali ke komunitas lamanya untuk menjaIani kehidupan baru – kehidupan yang tidak terlihat seperti performa keagamaan yang tak bernyawa, tetapi kehidupan yang dibentuk oleh kenyataan bahwa ia sudah diselamatkan.

Bukan keinginan untuk tidak berbuat dosa lagi yang mengubah wanita ini, atau yang mengubah saya atau Anda. Ahli fiIsafat Peter Kreeft pernah berkata, “Memercayai kasih karunia Tuhan berarti memercayai kasih Tuhan pada kita, bukan kasih kita pada Tuhan.” Kebanyakan kita menghidupi pengampunan Tuhan yang kita terima setidaknya di antara orang-orang yang percaya bahwa kita sudah bersalah dalam perilaku moral tertentu: para anggota keluarga, rekan kerja, tetangga, diri kita sendiri. Memercayai kasih-Nya berarti merasakan ketakutan yang pahit atas hukuman yang pantas kita terima untuk menikmati sepenuhnya manisnya kata-kata Yesus yang diucapkan langsung pada kita: “Aku pun tidak menghukum engkau.”