Alat Damai Sejahtera

(Charles F. Stanley)

Di salib Yesus, apa yang dimaksudkan manusia untuk kematian dipakai Tuhan untuk memberi kehidupan.

Pikirkanlah suatu hal yang membuat Anda bangga. Mungkin Anda sudah bekerja dengan rajin untuk membangun bisnis yang berhasil dan dapat mencukupi seluruh kebutuhan keluarga. Atau mungkin anak-anak Anda sudah mencapai prestasi yang gemilang, dan Anda dapat bersukacita bersama mereka. Pada umumnya, kita merasa bangga atas suatu hal yang positif – dipromosikan dalam pekerjaan, lulus sarjana setelah bertahun-tahun belajar giat, atau kedatangan bayi baru. Kita jarang sekali berbangga atas kegagalan, keadaan yang memalukan atau kehilangan.

Tetapi itulah justru yang dilakukan Paulus ketika ia menulis kepada orang-orang percaya di Galatia. Suratnya berisi pernyataan yang mengejutkan: “Aku sekali-kali tidak mau bermegah selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Galatia 6:14). Untuk mengerti dampak perkataannya, kita perlu memahami salib dari perspektif orang-orang yang hidup pada zaman itu.

Salib adalah alat eksekusi hukuman mati — cara mengenaskan untuk mati. Orang Romawi memakainya untuk menghukum orang-orang yang memberontak terhadap kekaisaran. Bentuk hukuman mati yang sangat kejam ini dirancang untuk menjaga ketertiban dengan menanamkan rasa takut akan pembalasan. Bagi orang Yahudi yang menaati hukum Tuhan, salib adalah tanda bahwa orang hukuman yang tergantung di salib itu terkutuk (Ulangan 21:23). Tidak seorang pun pada zaman itu yang akan berbangga atas salib. Hal itu bagaikan kita bersukacita atas suntikan yang mematikan atau kursi listrik.

Sesungguhnya, bukan salib itu sendiri yang merebut hati Paulus, tetapi orang yang tergantung di atasnya dan tujuan kematian-Nya. Untuk memahami yang terjadi di salib, kita pertama-tama harus mengetahui siapakah Yesus Kristus, dan di Kolose 1:15-23, Paulus telah memberi kita deskripsi yang mengagumkan.

“Dia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan” (ayat 15). Tak seorang pun pernah melihat Bapa surgawi. Tetapi Allah Anak sudah datang ke dunia ini melalui rahim seorang perawan: Yesus datang dalam rupa manusia dengan kemuliaan yang terselubung namun dengan segenap kepenuhan ilahi. Ketika manusia memakukan Dia di kayu salib, mereka menusuk tangan dan kaki Tuhan Yang Mahakuasa.

Yesus Kristus adalah “yang sulung dari segala yang diciptakan” (ayat 15). Dalam masyarakat Yahudi, anak sulung adalah pewaris utama dari semua yang dimiliki ayahnya. Dialah yang akan memiliki otoritas dan kehormatan sebagai kepala keluarga. Demikian juga, Bapa telah memberikan kepemilikan dan otoritas atas ciptaan kepada Anak-Nya. Kristus sendiri telah menciptakan segala sesuatu yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Semua telah diciptakan untuk Dia, dan hanya Dia yang mempersatukan segala sesuatu dengan kuasa-Nya (Kolose 1:16-17).

Apakah Anda tahu apa artinya ini? Kayu yang dijadikan salib dan besi yang dijadikan paku itu ada dan dipersatukan oleh Orang yang mereka salibkan. Bagaimana mungkin Tuhan dibunuh oleh ciptaan-Nya sendiri? Tidak, bukan begitu. Yang terjadi di salib adalah pengorbanan sukarela Anak Allah bagi manusia.

Mengapa Yesus membiarkan diri-Nya disalibkan?

Pada akhirnya, alasannya adalah karena kasih-Nya pada kita. Ketika Adam berdosa, seluruh umat manusia jatuh ke dalam dosa dan maut. Hakikat diri menjadi sangat rusak, dan persekutuan Allah dengan manusia hancur. Itulah kondisi kita yang tak berdaya dan tanpa harapan yang membuat Juru Selamat datang ke dunia. Dia datang untuk mengalahkan dosa bagi kita agar kita tidak lagi terbelenggu  dan terpisah dari Tuhan untuk selamanya. Tujuan-Nya adalah memberi hidup, memperdamaikan kita dengan Bapa surgawi. Di dalam Yesus, kita kembali pulang kepada Tuhan – Bapa kita – seperti anak yang hilang kembali pulang ke rumah ayahnya dan langsung menerima pengampunan, belas kasihan dan pemulihan.

Damai dalam segala hal

Ketika Juru Selamat kita tergantung di salib, Tuhan mengubah benda yang dirancang sebagai alat kematian itu menjadi alat damai sejahtera. Di sanalah Yesus Kristus melakukan rekonsiliasi antara Tuhan yang kudus dan manusia berdosa. Eiréné—kata Yunani untuk “damai sejahtera”—berarti “diikat bersama,” dan itulah tepatnya yang Bapa lakukan bagi orang-orang yang bertobat dari dosa dan percaya kepada Anak-Nya. Dia mengikatkan kita pada diri-Nya dalam kehidupan kekal-Nya. Suatu ikatan damai sejahtera yang tak pernah putus—tak ada suatu apa pun dan siapa pun yang dapat merebut kita dari tangan-Nya yang kekal dan mahakuasa. Kita tidak akan dapat dihukum, karena Tuhan sendiri yang telah membenarkan kita.

Kuasa salib, yang memperdamaikan kita dengan Bapa, berlangsung sepanjang kehidupan orang Kristen dalam proses pengudusan. Ini merupakan sarana Tuhan dalam menjadikan kita serupa dengan gambaran Anak-Nya. Kita memiliki perdamaian dengan Tuhan (peace with God) dan juga damai sejahtera Tuhan (peace of God) yang menjaga hati dan pikiran kita ketika kita dengan taat memercayai Kristus sebagai Kepala tubuh-Nya, yaitu gereja (Kolose 1:18).

Damai sejahtera salib bahkan menjangkau sampai melampaui kehidupan di dunia ini. Kristus memperdamaikan kita melalui kematian-Nya agar kita kedapatan “kudus tak bercela dan tak bercacat” ketika kita berdiri di hadapan Tuhan (Kolose 1:22). Karena Yesus Kristus adalah “yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati” (Kolose 1:18), kita juga memiliki janji kebangkitan kepada hidup yang kekal. Kelak kita akan sepenuhnya bebas dari dosa, berdiri di hadapan Juru Selamat kita dengan tubuh kemuliaan yang kekal.

Salib Kristus bukan saja mendamaikan Tuhan dengan manusia, tetapi juga dengan seluruh ciptaan. Pelanggaran Adam dan Hawa telah membawa kutuk yang meliputi segala sesuatu, yang digambarkan Roma 8:19-21 seperti ini: “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah akan dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditakhlukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri tetapi oleh kehendak Dia yang telah menakhlukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan dan kemuliaan anak-anak Allah.”

Jelas visi Alkitab tentang kemerdekaan belum sepenuhnya terealisasi di dunia ini. Jika kita memandang ke sekeliling, bumi tampak masih mengerang dengan gempa bumi, badai topan, kekeringan dan bencana-bencana lainnya. Bumi masih menunggu pemulihan seutuhnya. Menurut Kitab Suci, hal itu akan terjadi ketika anak-anak Allah yang dimuliakan dinyatakan bersama-sama dengan Kristus, ketika Dia datang kembali mengambil kedudukan-Nya yang sah—Raja dari segala raja dan Tuhan dari segala tuan, pewaris utama dari seluruh ciptaan.

Mengingat semua ini, tak heran jika Paulus mau bermegah dalam salib Kristus. Namun pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri kita masing-masing adalah: Apakah aku bermegah atas salib? Yang lebih penting, sudahkah aku menerima yang Dia perbuat bagiku dengan rela menyerahkan diri-Nya untuk disalibkan? Inilah pilihan terpenting yang harus kita putuskan dalam kehidupan ini. Pilihan lainnya adalah tetap terasing dan terpisah dari Tuhan yang kudus – Bapa yang sedemikian mengasihi kita sampai Dia mengambil inisiatif untuk memperdamaikan kita dengan diri-Nya melalui penyaliban Anak-Nya.