Apakah Anda Mendengarkan?

(Tim Rhodes)

Dalam hal membagikan iman, kita terlalu sering melupakan unsur yang penting.

Pada suatu musim panas di awal tahun 2000-an, ribuan remaja Kristen Injili disebar ke beberapa mal di Atlanta. Orang-orang percaya yang masih muda dan bersemangat itu baru saja menyelesaikan seminar beberapa hari untuk belajar cara mempertahankan dan membuktikan iman mereka. Dan, untuk mempraktikkan cara-cara yang baru mereka dapatkan, mereka berbondong-bondong ke ruang-ruang publik dengan semangat yang menyala-nyala dan kudus.

Saya tahu karena saya termasuk salah satu dari mereka. Semangat saya yang menggebu-gebu membuat saya menjadi target demografis seminar itu: Saya bukan saja akan pergi untuk berbicara dengan banyak orang dengan mudah, tetapi seperti kebanyakan remaja, saya juga merasa yakin bahwa saya mengetahui segala sesuatu.

Kami bercakap-cakap singkat dengan beberapa pengunjung yang ramah; setiap interaksi membuat kami semakin bersemangat. Ketika memandang ke gerai makanan, kamimelihat seorang bapak berusia sekitar 50-an, duduk sendirian dan sedikit kusut. Ia hampir tidak menyadari ketika kami menyerbu ke mejanya dan tiba-tiba saja memulai percakapan dengannya.

Namun sebelum kami mendapat kesempatan untuk melanjutkan percakapan monolog kami, bapak itu menarik napas panjang, mengalihkan pandangan dan berkata, “Tidak hari ini, anak-anak.”

Dan hanya dengan perkataan itu, semangat saya yang menggebu-gebu itu langsung surut sepenuhnya.

Ada sesuatu yang berbeda dari bapak ini. Ia tidak merespons karena merasa terganggu atau kecewa, tetapi karena kelelahan saja. Meskipun kami sudah disiapkan untuk ditolak, tetapi pada saat akan mengalaminya, reaksi kali ini berbeda. Seperti tidak ada orang yang mempersiapkan kami.

Lama sesudah kejadian itu, saya menyadari bahwa strategi seperti yang kami jalankan membuat orang yang melakukannya merasa seakan-akan mereka sedang melakukan hal besar, tanpa perlu menyadari di mana orang-orang itu sedang berada atau bagaimana keadaan mereka pada saat itu. Bahkan ketika berhubungan dengan teman-teman saya sendiri yang belum percaya, saya sering gagal berdialog dengan tujuan belajar dari mereka—untuk menemukan apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan mereka, dan yang lebih penting, apakah mereka memiliki orang-orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu bersama mereka.

Dengan dasar pemikiran ini, saya memutuskan untuk mengadakan riset dengan melakukan survei terhadap 50 orang yang tidak percaya.Meskipun mereka semua memiliki anggota keluarga atau teman yang Kristen, sekitar 70 persen mengatakan bahwa mereka tidak nyamanberbicara dengan orang-orang itu mengenai agama. Ketika ditanyakan apa yang menjadi alasannya, kata-kata seperti “menggurui,” “defensif,” dan “permusuhan” selalu muncul. Karena takut ditolak oleh orang yang dikasihi atau orang-orang yang memiliki otoritas, banyak dari mereka yang terpaksa bersikap diam saja. Seorang responden berkata, “Mereka tidak mendengarkan untuk mengerti—mereka mendengarkan untuk merespons.”

Dalam survei yang sama, saya bertanya, apa yang mereka butuhkan agar mereka dapat lebih nyaman berbicara dengan teman atau anggota keluarga yang Kristen itu. Yang menyedihkan, beberapa mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah dapat benar-benar merasa nyaman. Tetapi mayoritas jawaban menunjukkan beberapa kerinduan yang sangat mendasar dan lazim – kerinduan untuk dihargai, dialog terbuka, tidak dihakimi, dan lebih banyak dimengerti.

Pertanyaan-pertanyaan terakhir saya berkaitan dengan diri mereka sendiri: Pertanyaan-pertanyaan seputar iman apa saja yang mereka miliki, apakah tentang Tuhan, keyakinan, atau orang percaya lain?Jawaban mereka kebanyakan berada pada kategori-kategori yang luas. Sebagian berkata, mereka sudah tidak memiliki pertanyaan lagi,atau sudah terlalu lelah untuk merumuskan sesuatu. Mereka sudah melakukan penyelidikan sendiri dan tetap tidak percaya, atau mereka sudah memiliki terlalu banyak pemimpin iman yang meremehkan kegelisahan-kegelisahan mereka yang sah.

Yang lain memiliki pertanyaan-pertanyaan tertentu tentang ajaran Kristen – yang seringkali berhubungan dengan ketegangan antara kehendak bebas dan rencana Tuhan, dan mengapa semua manusia harus bertanggung jawab atas pilihan pribadi Adam dan Hawa. Juga banyak dari mereka yang mengungkapkan keraguan yang kuat tentang keakuratan Alkitab atau menyebutkan ketertarikan pada hubungan antara agama dan politik.

Beberapa orang memiliki pertanyaan tentang orang Kristen—terutama mengapa sebagian dari mereka merasa tidak apa-apa jika menyerang orang yang tidak memiliki keyakinan yang sama, atau mengapa mereka tidak berpegang pada keyakinan mereka sendiri seteguh standar pertanyaan yang mereka kenakan pada orang lain. Banyak responden bertanya-tanya mengapa percakapan-percakapan mengenai topik ini harus menjadi sangat defensif dan argumentatif jika orang percaya benar-benar memiliki iman sebagaimana yang mereka nyatakan mereka miliki.

Barangkali kejutan terbesar dari seluruh usaha itu adalah bahwa bagi banyak orang, tindakan sekadar mengisi kuesioner tanpa nama tampaknya menjadi sebuah pengalaman katarsis (melepaskan diri dari ketegangan). Sementara membaca paragraf demi paragraf kisah-kisah dan penjelasan-penjelasan mereka saya jadi bertanya-tanya, apakah mereka menulis ini karena mereka diminta untuk mengungkapkan pikiran-pikiran mereka dan mereka tahu ada seseorang di pihak lain yang tertarik dan mendengarkan mereka.

Bagi saya sendiri, melakukan survei ini memberi saya wawasan-wawasan baru, bukan saja tentang orang-orang yang berpartisipasi, tetapi juga tentang orang-orang Kristen di sekitar mereka. Terkadang saya menyadari, kita sudah meleset dengan tidak menjadi pendengar yang dapat didekati. Dan meskipun kita sangat ingin membagikan sudut pandang kita dan mengapa kita memiliki pengharapan, kesediaan kita untuk mendengar dan benar-benar mendengarkan — untuk memperhatikan, mengerti—sama pentingnya dengan perkataan kita. Saya yakin di sinilah ketulusan kesaksian kita akan diuji dan terbukti berarti.