Apakah Kebencian Benar-Benar Setimpal?

Menyimpankebencian mungkin tampak dibenarkan, tetapi bila kita melakukannya makaakanberakhir dengan kehancuran. 

Oleh: Charles F. Stanley

Jika Anda pernah pergi liburan keluarga, berpergian dengan rekan kerja, atau berada di sekitar sekelompok orang untuk waktu yang lama, Anda tahu betapa sulitnya mencegah gesekan dan stres. Karena kita adalah makhluk yang tidak sempurna, menghindari konflik, kesalahpahaman, dan permusuhan adalah hal yang mustahil. Sekalipun kita ingin memiliki hubungan yang baik-baik saja, akan ada saat-saat ketika semua upaya kita gagal. Kita akan mengecewakan dan menyakiti orang-orang di sekitar kita — bahkan mereka yang kita cintai. Dan pada gilirannya, kita akan mengalami sakit hati, penghinaan, dan perlakuan kasar yang ditimbulkan oleh orang lain.

Kita akan mengecewakan dan menyakiti orang-orang di sekitar kita — bahkan mereka yang kita cintai.

Penting bagi kita untuk belajar bagaimana menghadapi perbuatan salah dan rasa sakit yang tak terhindarkan yang kita alami dalam hidup ini, dan obat yang ditemukan di seluruh Firman Allah adalah pengampunan: “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu”(Efesus 4:32). Nasihatnya jelas: Ketika kita dianiaya, kita harus membebaskan pelaku kita — yaitu, kita tidak lagi menyimpan dendam, kepahitan, atau keluhan terhadap orang yang menyebabkan kesusahan kita. Tetapi bahkan dengan panduan yang jelas seperti itu, sulit untuk mentaatinya ketika luka itu menyakitkan. Namun, mari kita pertimbangkan apa yang dipertaruhkan jika kita memutuskan untuk tidak mentaati perintah Tuhan. 

Sikap yang tak mengampuni mempengaruhi kita secara pribadi. Tidak mengampuni seumpama racun yang menyebar ke seluruh tubuh kita. Kita tidak bisa memiliki kepahitan terhadap satu orang dan berharap itu hanya melukai satu hubungan. Seperti setetes tinta dalam segelas air, akhirnya ia akan menodai seluruh diri kita.

  • Ini mempengaruhi kita secara internal. Dengarkan apa yang Yesus katakan dalam sebuah kisah tentang seorang lelaki yang banyak diampuni tetapi menolak untuk memaafkan orang lain: “Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.”(Matius 18: 34-35). Mempertimbangkan betapa Tuhan telah mengampuni kita, kita tidak memiliki hak untuk membenci orang lain. Dalam semua upaya kita untuk “membalas dendam,” kita akhirnya tersiksa oleh kepahitan kita sendiri.
  • Ini mempengaruhi kita secara rohani. Selain menyebabkan siksaan emosional, ketidaktaatan menghambat pertumbuhan rohani kita, menghalangi pelayanan kita kepada Allah, mendukakan Roh Kudus di dalam kita, merampas buah-buah-Nya, dan memberi iblis kesempatan untuk menimbulkan kekacauan dalam hidup kita (Efesus 4:26 -32). Hanya saja ini tidak sepadan.
  • Ini mempengaruhi kita secara fisik. Dendam selalu mengubah rupa kita dan merusak kesehatan fisik dan mental kita. Konselor yang saleh sering dapat melacak depresi dan masalah emosional kepada kepahitan yang tidak tertangani. Jika kita tidak menanganinya, kita akan berakhir disakiti dua kali – pertama karena perlakuan orang lain itu dan kemudian oleh diri kita sendiri saat kita meminum racun tidak mengampuni.

Sikap kita yang tidak mengampuni mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain. Kepahitan tidak berhenti didiri kita. Ibrani 12:15 memperingatkan, “Jagalah supaya jangan ada seorang pun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.”Ketika kita membuat orang lain bergabung dengan kita dalam kebencian kita, sikap kita merusak mereka. Sesungguhnya kita menyebabkan mereka tersandung dalam perjalanan mereka bersama Kristus dengan jatuh ke dalam dosa bersama kita.

Sikap yang tidak mengampuni merusak hubungan kita dengan Tuhan.Sikap tidak mengampuni sepenuhnya bertentangan dengan pesan salib Kristus. Kristus menyerahkan nyawa-Nya supaya kita dapat menerima pengampunan, dan jumlah dosa kita terhadap Allah jauh melebihi apa yang orang lain dapat lakukan terhadap kita. Merupakan keangkuhan besar untuk berpikir bahwa pelanggaran seseorang terhadap kita tidak dapat dimaafkan sementara kesalahan kita terhadap Tuhan pantas mendapatkan belas kasihan.

Yesus menjelaskan hal ini dalam instruksi-Nya mengenai doa: “Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami … Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga.Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Matius 6:12; Matius 6: 14-15).

Ketika seseorang percaya kepada Kristus sebagai Juruselamatnya, semua dosanya diampuni. Dan sejak saat itu, orang percaya itu harus berjalan dalam ketaatan di hadapan Allah. Itu tidak berarti dosa secara eksklusif adalah hal di masa lalu; melainkan, ketika kita berbuat salah, kita harus mengakui dan menerima penyucian (I Yohanes 1: 9). Tetapi jika kita membiarkan dosa tidak mengampuni tetap ada, kita dapat mengharapkan Bapa surgawi untuk mendisiplinkan kita (Ibrani 12:7-11).

Sudah waktunya untuk membiarkan sikap tidak mengampuni pergi. Menyimpan dendam tidak sebanding dengan semua konsekuensi mengerikan ini. Sebaliknya, atasi kebencian itu, dan keluarlah dari penjara itu danjadilah merdeka.

  • Akui itu sebagai dosa. Seringkali kita ingin menganggap sikap yang tidak mengampuni sebagai perjuangan mulia untuk keadilan: Kita telah diperlakukan dengan tidak adil; pelakunya harus membayarnya. Namun kita tidak akan pernah ingin Tuhan mengambil pendekatan itu terhadap Firman-Nya mengatakan, “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. ” (Efesus 4:31). Meskipun apa yang dilakukan terhadap kita adalah dosa, kita harus mengakui bahwa sikap kita untuk tidak mengampunipun adalah dosa.

Ketika rasa sakitnya dalam, prosesnya mungkin akan panjang.

  • Bertobatlah darinya. Anda tidak perlu “membalas dendam.” Serahkan kebutuhan itu ke dalam tangan Tuhan, dan mintalah Dia untuk mencabutnya dari hati Anda. Langkah awal ini penting, tetapi Anda juga harus menyadari bahwa ketika rasa sakitnya dalam, prosesnya mungkin akan Namun, Anda selalu dapat memberikan rasa sakit Anda kepada Tuhan, bersyukur kepada-Nya bahwa Dia telah mengampuni Anda untuk semua pelanggaran Anda, dan mintalah Dia untuk memungkinkan Anda melakukan hal yang sama terhadap orang lain.
  • Berdoalahbagi orang yang menyakiti Anda. Ini adalah salah satu hal yang menurut saya paling membantu dalam mengubah sikap saya terhadap mereka yang telah menyakiti saya. Itu pun sesuatu yang Kristus perintahkan agar kita lakukan: “Mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.” (Lukas 6:28). Sungguh menakjubkan bagaimana Tuhan melembutkan hati kita saat kita mengubah rasa sakit kita menjadi doa.
  • Kasihi dan berbuat baiklah kepada orang yang telah menyakiti Anda. Sekali lagi Yesus berkata, “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; ” yang pada dasarnya adalah Aturan Emas: Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka. (Lukas 6:27; Lukas 6:31) . Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan pernah dapat mewujudkan ini, tetapi sebagai orang percaya, kita memiliki kuasa Roh Kudus, yang memungkinkan kita melakukan apa pun yang diperintahkan Allah kepada kita. Menunjukkan kebaikan kepada orang yang bersalah kepada kita mungkin merupakan jalan yang Tuhan ingin gunakan untuk rekonsiliasi. Namun, entah itu terjadi atau tidak, hal itu masih merupakan berkat bagi kita untuk dapat melepaskan kepahitan kita dan menggantikannya dengan kebaikan.

Telah dikatakan bahwa kita tidak pernah lebih seperti Kristus daripada ketika kita mengampuni orang lain. Rasa sakit dan pelanggaran yang kita derita seharusnya dilihat, bukan sebagai penyebab kemarahan dan kebencian, tetapi sebagai kesempatan untuk mempercayai Tuhan dan membiarkan Dia mengubah kita. Jika kita menyerahkan rasa sakit kita kepada Tuhan, mengetahui bahwa Dia memiliki maksud yang kudusatasnya, maka kita akan meminum damai sejahtera dan sukacita-Nya alih-alih meminum racun kepahitan.