Apakah Kegelisahan Itu Dosa?

(Michelle Van Loon)

Ketika saya kehabisan alasan untuk pindah—tetapi masih merasakan dorongan untuk berkemas—saya tahu ada sesuatu yang salah di dalam diri saya.

Membuang kardus-kardus yang sudah saya pakai bongkar-muat barang-barang sampai lima kali selama 15 tahun terakhir ini merupakan deklarasi saya bahwa kami pada akhirnya selesai pindah-pindah. Ditambah, kardus-kardus itu sendiri benar-benar sudah tidak kuat untuk dibuat pindahan lagi.

Tetapi setelah tiga tahun tinggal di tempat yang disebut suami saya sebagai rumah pensiun, saya mendapati diri saya bertanya-tanya, apakah saya agak kurang berpikir panjang dengan kardus-kardus saya itu. Saya merasa diri saya memimpikan alamat kami selanjutnya sebelum saya mengingatkan diri bahwa yang ini kemungkinan akan menjadi tempat persinggahan terakhir kami di dunia. Kepindahan-kepindahan kami sebelumnya terjadi karena kebutuhan: pindah kerja, pemilik menjual rumah yang kami sewa, penjualan cepat pada saat pasar perumahan merosot. Tidak ada alasan kuat untuk pindah lagi.

Meskipun saya berkata saya benci berpindah-pindah setiap beberapa tahun, saya sudah menjadi terbiasa untuk menantikan hal baru dan lebih baik berikutnya dalam kehidupan saya, entah itu teman baru atau kode pos yang berbeda. Saya sudah lama menganggap hal ini sebagai kekuatan—saya biasanya dapat beradaptasi dengan cepat dengan semua perubahan yang menandai hidup saya.

Tetapi peninjauan selintas saya yang terus-menerus tentang dunia ada sisi gelapnya juga. Saya mendambakan kehidupan, kesuksesan atau kesanggupan yang saya pikir pasti dinikmati orang lain (dan saya tidak punya). Santo Agustinus telah mengamati dengan sangat baik, “Engkau telah menciptakan kami untuk-Mu, dan hati kami gelisah sebelum dapat menemukan kelegaan di dalam-Mu.” Roh Kudus memakai kata-kata itu untuk berbicara pada saya tentang kecemburuan yang berkontribusi pada kurangnya kepuasan saya.

Saya mulai menyadari bahwa berfokus pada segala hal lain – mencari tempat tinggal baru, mengenal komunitas baru, mencari sebuah gereja, membangun persahabatan baru – membuat saya terhindar dari masalah yang lebih dalam dan juga rasa sakit akibat perpisahan-perpisahan itu. Sebagaimana pernah dikatakan seorang pekerja sosial pada saya, “Sulit bagi kesedihan untuk mencekal target yang terus bergerak.”

Tak adanya rencana kepindahan di depan mata membuat saya harus menghadapi patah hati yang telah saya tumpuk dari sekian banyak kepindahan dan menghadapi kebiasaan saya yang selalu melihat ke depan demi kebahagiaan saya. Selama 15 tahun, jiwa saya telah terbiasa dengan ritme—dan jebakan—dari kehidupan yang agak tidak menentu.

Saya merenungkan semua ini bersama seorang sahabat yang bijak saat ia berkata bahwa bisa jadi sebagian kegelisahan saya adalah anugerah Tuhan. Ibrani 11:1-40 kadang disebut barisan para Pahlawan Iman karena menuliskan tentang orang-orang terkenal yang bertindak dalam pengharapan akan janji-janji Tuhan yang belum digenapi. Melakukan hal itu membuat tercerabut beberapa dari mereka yang disebutkan namanya, membuat beberapa yang lain gelisah, merenggut banyak kenyamanan dari mereka —dan dalam beberapa kasus, nyawa mereka.

Ayat 13 menyimpulkan iman mereka kepada Tuhan seperti ini: “Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini.” Menjadi orang asing membuat orang-orang beriman ini mengalami hidup yang gelisah, yang membuat mereka terus bergerak menuju masa depan yang hampir tak dapat mereka lihat. Tidak menetap di suatu tempat adalah efek samping dari berfokus pada rumah mereka yang sesungguhnya—penyatuan dengan Tuhan.

Anda bisa mengatakan hal yang sama tentang Yesus. Baik Matius 8:20 maupun Lukas 9:58 menunjukkan bagaimana Yesus menggambarkan tahun-tahun perjalanan-Nya bersama para murid: “Rubah mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya.” Tahun-tahun pelayanan-Nya yang aktif dihabiskan dengan mengembara dari satu kota ke kota lain—tetapi dengan maksud dan tujuan. Namun, Yesus tentu merindukan rumah.

Bukan suatu kebetulan jika orang-orang seperti Nuh, Abraham, dan Musa mendapat tempat di barisan para pahlawan iman. Kepercayaan mereka kepada Tuhan tidak membuat mereka mencari kehidupan yang nyaman dan mapan. Kehidupan yang tampak gelisah bagi orang lain belum tentu merupakan hal yang buruk. Bahkan, bisa jadi itu adalah hasil dari hati yang sepenuhnya berkomitmen mencari Tuhan.

Di dalam buku Mere Christianity, C. S. Lewis menulis tentang kesulitan manusia yang unik ini: “Jika saya menemukan dalam diri saya keinginan yang tak dapat dipenuhi oleh apa pun di dunia ini, satu-satunya penjelasan yang logis adalah saya diciptakan untuk dunia yang lain.” Bagi saya, sungguh kabar baik jika dunia yang dibicarakan Lewis tidak mengharuskan saya untuk mengepak dan membongkar kardus-kardus pindahan untuk sampai ke sana.

Saya telah menjadi pengikut Yesus selama hampir lima dasawarsa, dan meskipun jiwa saya yang gelisah terkadang memendam ketidakpuasan, saya kini menyadari nilai dari sifat peziarahan saya. (Saya juga merasakan kekerabatan dengan para murid Yesus, yang, ketika mereka menjawab panggilan-Nya untuk mengikut Dia, mendapati hidup mereka benar-benar tercerabut). Tetapi, entah saya secara fisik menetap di satu tempat atau berpindah-pindah, panggilan-Nya adalah yang selalu akan saya ikuti.