Bagaimana Aku Hidup Bersama Ibu Mertua?

(Kayla Yiu)

Dengan menyerahkan kamar tamuku secara permanen, aku tak tahu seberapa banyak yang akan kudapatkan.

Pertama kali saya dan ibu mertua bercakap-cakap secara nyata, saya sedang mengantarnya ke rumah sakit untuk menengok suaminya, yang baru saja didiagnosa menderita leukemia dan menolak dirawat. Saya mengemudi sambil berpura-pura percaya diri, seakan-akan saya tahu gedung yang mana, tempat parkir yang mana, sisi mana yang benar

Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata dan bantuan Terjemahan Google, ia berkata pada saya bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan mengutip satu ayat dari kitab Wahyu. Apakah ia sedang berusaha menghibur saya ataukah dirinya sendiri? Bagaimanapun, saya tidak yakin saya akan setuju dengannya. Mungkin ia memiliki kejelasan tentang situasi itu, suatu pemahaman yang saya tidak punya. Pikiran saya berkecamuk dengan tenggat waktu pekerjaan yang terlewat, suara tangis bayi yang sakit yang terngiang-ngiang, dan pikiran-pikiran seperti Uh, kita tak punya apa-apa lagi untuk dimakan malam ini. Yang kami sama-sama tahu pasti adalah suaminya orang yang keras kepala, tahan sakit dan ia akan mati karena kanker ini.

Ia akan mati dan istrinya akan tinggal sendirian di rumah yang mereka tempati bersama – sebuah kondominium seluas 132 meter persegi yang merupakan rumah terbaik yang bisa kami beli untuk diberikan kepada mereka. Sendirian dan tak dapat menyetir. Sendirian tanpa tahu bagaimana cara membeli bahan makanan dan pergi ke gereja. Suaminya akan mati dan ia akan kehilangan supir, penerjemah, penasihat keuangan dan sahabat terdekat.

Segalanya tidak akan baik-baik saja.

***

Saya sudah merasa sebelumnya bahwa suatu hari kelak mertua saya kemungkinan akan tinggal bersama kami. Mereka tak pernah memiliki banyak, dan suami saya punya banyak – termasuk tanggung jawab ekstra sebagai anak sulung.

Saya tidak tahu mengapa kemungkinan itu tidak pernah mengganggu saya. Mungkin karena saya tahu orangtua itu telah meninggalkan segalanya di negara asal mereka, dan berharap anak-anak mereka bisa sukses di negara ini. Mungkin karena saya tahu mereka sudah mengalami hal-hal yang oleh banyak orang dewasa akan dianggap sebagai penghinaan, termasuk pelecehan, dan entah bagaimana saya ingin menyembuhkan mereka. Mungkin karena saya mencintai anaknya dan ingin mendukungnya. Atau mungkin itu adalah fakta bahwa hari kepindahan selalu terasa sangat lama.

Dua bulan setelah perjalanan yang sangat penting itu (dan empat tahun usia pernikahan kami), ayah mertua saya meninggal di kondominium itu. Dan dua minggu kemudian, ibu mertua saya pindah ke kamar “tamu” rumah kami.

***

Awalnya, ia hanya tinggal di kamarnya. Apakah dukacita yang menahannya diam saja di sana? Atau fakta bahwa ia merasa terasing di rumah anaknya, dan tinggal bersama wanita yang tidak terlalu dikenalnya?

Akhirnya, ia mulai berlama-lama membersihkan dapur setelah makan malam. Atau keluar kamar untuk menyambut putri saya yang baru pulang dari tempat penitipan anak. Atau melap kursi anak setelah makan camilan yang berantakan. Dan sebelum saya menyadarinya, ibu mertua saya sudah menjadi peri pribadi saya, yang menyelesaikan semua pekerjaan yang terlalu sering harus dikerjakan seorang ibu yang bekerja: menaruh sampah di tempat sampah sementara saya memasak, membawa piring kotor ke tempat cucian, menyingkirkan mainan yang terlupakan. Saya akan duduk di lantai bersama putri saya dan tiba-tiba merasa rambut saya dikepang. Atau jika suami saya menyebut saya sakit kepala, akan ada jari-jari yang memijat titik-titik di kepala dan leher saya.

Sebelum ini, saya berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan, pernikahan dan waktu bersama putri saya – yang perkembangannya tak bisa saya ikuti dan membuat setiap hari seperti ekspedisi liar. Pada malam hari saya akan berbaring di tempat tidur dalam keadaan sangat kacau, bertanya-tanya bagaimana saya akan menjalani hari selanjutnya.

Satu bulan menikmati suasana baru ini, saya hamil lagi, dan kelelahan serta rasa mual di trimester pertama melanda rumah seperti badai tak terduga, menjungkirbalikkan sedikit kenormalan yang tersisa setelah meninggalnya ayah mertua. Saya sulit untuk mengimbanginya, tetapi ibu mertua saya tidak. Saya selalu ingat saat-saat ia menatap mata saya dan berkata dengan tegas, “Pergilah tidur siang.”

Dan yang membuat saya merasa sangat dimanjakan adalah ketika ia bangun untuk menenangkan putri saya yang sedang sakit dan menangis tengah malam. Saya dan suami begitu lelah dan saya tak percaya bahwa saya memiliki seseorang yang akan menjalani malam-malam seperti itu untuk kepentingan saya.

Tetapi sekarang setelah ia tinggal bersama kami, hal yang membayang-bayangi saya adalah, Seperti apa kehidupan di hari-hari terakhirnya? Barangkali ia akan menua dengan nyaman, tetapi bagaimana jika tidak?

***

Awal tahun ini saya mendapat kehormatan untuk bertemu dengan ibunya, yang sudah berusia 90 tahun dan tinggal bersama seorang cucu perempuan. Nenek-mertua saya ini menyenangkan—dan juga menantang. Selama kami berkunjung, saya dan suami akan mendengar teriakannya di depan TV pada jam-jam yang tidak biasa, berganti-ganti dalam bahasa China atau Jepang. Suatu kali ia masuk ke kamar kami ketika kami sedang tidur dan menyalakan semua lampu. Lain kali, ia meneriakkan kata-kata kasar kepada cucunya karena tidak mengizinkan cucunya mengunjungi seorang saudara yang sudah meninggal bertahun-tahun.

Apakah itu masa depan saya? Saya bertanya-tanya. Dan jika tidak, apakah itu hanya versi sulit lainnya dari cerita itu? Ada banyak hal yang tidak menyenangkan dalam menjadi tua. Tetapi meskipun kenyataan itu mungkin akan menakutkan, saya tahu akan ada keindahannya juga. Saya tahu hal itu ketika saya melihat ibu mertua saya yang baru saja menjadi janda tertawa-tawa bersama putri saya, sambil memasang wajah-wajah lucu di sekitar meja makan. Tak ada tawa cucu perempuan yang dapat membuat suaminya hidup kembali, memberinya rumah sendiri, mengajarinya mengemudi, atau membangun kepercayaan dirinya untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Tetapi tawa itu benar-benar membuatnya tersenyum, dan membuat hari-hari menjadi sedikit lebih cerah.

Jika hidup bersama ibu mertua mengajarkan saya sesuatu, maka itu adalah bahwa ketika sesuatu menjadi usang, hal itu memang sudah usang. Tak ada yang bisa menutupi kenyataan bahwa waktu bisa begitu kejam, merenggut rasa aman dan nyaman. Tetapi ada juga kelebihannya – yang bukan dengan cara mencentang kotak bersyukur. Ada suatu kekayaan yang mewah dan nyata dengan bergerak di sepanjang bagian-bagian hidup kita yang sunyi. Lubang-lubang di hati kita tetap ada, tetapi bunga-bunga tumbuh bermekaran di sekelilingnya.

Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur” (Matius 5:4)—bukan “Berbahagialah orang yang berdukacita karena suatu hari mereka akan dihibur—dan saya percaya pada-Nya. Kesembuhan itu di sini dan saat ini. Kita tak perlu menunggu sampai hidup kita berakhir untuk mengalaminya. Dan perkataan-Nya terbukti benar setiap kali saya melihat ibu mertua saya yang berdukacita mengajari putri saya bahasa Mandarin.