Bagaimana Menggapai Kasih Tuhan
(C. Lawrence)
Tentang Beban Perfeksionisme
Perfeksionisme adalah bentuk perbudakan yang terjadi pada orang yang mencari nilai dan keberhargaan dirinya dengan kemampuannya berprestasi. Seorang perfeksionis cenderung takut mengakui kesalahan – karena hal itu akan mereduksi nilai atau keberhargaan dirinya. Karena itu ia akan berjuang keras untuk menguasai dan mengendalikan setiap aspek hidupnya. Ini seringkali berarti menetapkan standar-standar yang tidak realistis yang tak mungkin dicapai atau dipertahankan…. Sobat, Anda sebenarnya tak perlu mencari cara tertentu, memiliki banyak uang, sukses, atau sempurna dalam penampilan, untuk dikasihi. Bahkan usaha-usaha Anda untuk membuktikan keberhargaan diri Anda justru bisa membuat orang menjauh.
Perjalanan memancing itu mungkin saja tak pernah terjadi jika bukan karena adanya satu benda: alat pancing oranye bergaris putih. Alat itu adalah satu-satunya bukti yang saya miliki di tahun-tahun selanjutnya untuk mendukung kesan imajinasi saya yang samar-samar: tidur di rumah mobil, jauh dari rumah untuk pertama kalinya; wajah muda paman saya yang berkumis… Paman dan bibi saya ini yang mengajak saya melakukan perjalanan ke danau, dan alat pancing itu adalah hadiah mereka. Tetapi sebagaimana yang sering terjadi pada memori masa kecil, imajinasi itu lebih kuat dari yang benar-benar saya ingat. Saya bisa membayangkan memegang ikan yang tertangkap, lalu badannya yang keperakan dan dingin tergelincir dari jari-jari tangan saya dan masuk ke dalam ember. Api yang menerangi langit bulan Juli ketika paman saya memisahkan daging dari tulang ikan itu dengan pisau pembersihnya. Namun semua itu adalah mimpi – bayangan sesaat dalam kehidupan lainnya yang hanya ada karena hal-hal yang terjadi setelahnya.
Selama berminggu-minggu setelah perjalanan itu, saya berdiri di halaman belakang rumah orangtua saya, yang dikelilingi rumah-rumah lain dan bidang-bidang tanah lapang yang belum dibangun. Kaki saya menapak di tepi sungai bayangan, dan tangan saya melempar berulang-ulang ke rerumputan yang kering — mencoba menyempurnakan teknik memancing saya. Tetapi mengapa? Karena saya tak pernah pergi memancing lagi setelah perjalanan itu, tidak pernah lagi sampai saya menjadi jauh lebih dewasa dan alat pancing oranye bergaris putih itu sudah lama dibuang. Ada sesuatu yang mendesak saya untuk mengulang-ulang gerakan itu. Sesuatu tentang melakukan dengan benar yang lebih penting daripada memancing ikan yang sebenarnya.
Alat pancing itu hanyalah contoh pertama. Saya melakukan tindakan hiper-fokus obsesif itu dalam berbagai versi lainnya lagi selama tahun-tahun berikutnya — memukulkan bola tenis ke pintu garasi sampai permukaannya penuh lingkaran debu; berlatih sepak bola di halaman belakang sampai kaki saya sakit; belajar meluncur dengan sepatu roda sampai banyak memar; dan menghaluskan jari-jari tangan dengan bermain gitar tunggal. Jam demi jam, pengulangan demi pengulangan — saya sudah melakukan variasi tertentu dalam tarian sepanjang hidup saya ini.
Saya ingin tampil baik dalam apa pun yang saya kerjakan. Tak ada yang salah dengan hal itu—dari luar, tentunya. Dan tak ada yang menyangkal bahwa menguasai tugas-tugas dan aktivitas yang saya sukai memperkaya pengalaman saya dalam hal-hal itu; menambah kepuasan saya, dan dalam kasus-kasus tertentu, bahkan membuat saya menghasilkan uang. Namun, selama 40 tahun hidup saya, saya bisa tegaskan bahwa kesempurnaan itu tetap elusif, sulit digapai, seperti usaha menangkap ikan di rerumputan yang baru saja dipotong. Kecenderungan ini banyak berperan dalam berbagai pengalaman saya yang positif, tetapi juga membuat saya membayar harga di sepanjang jalan, dan imbasnya sangat besar pada kehidupan dalam diri saya. Ada saat-saat ketika ekspektasi-ekspektasi yang saya canangkan untuk diri saya sendiri merembet ke orang lain, meski tanpa disadari, dan membuat jarak/kerenggangan dalam relasi-relasi saya. Dengan cara berliku tertentu, obsesi saya untuk menjadi sempurna—tujuan yang tak pernah dapat kita realisasikan dalam berbagai aspek kehidupan —berubah menjadi beban yang tak pernah sepakat ditanggung oleh orang-orang yang saya kasihi.
Saya enggan mengakuinya, tetapi di balik semua tindakan, penampilan, pencapaian – dan pengejaran yang sah akan keunggulan dan sukacita dalam pekerjaan yang diselesaikan dengan baik – ada pertanyaan menggelisahkan tentang kelayakan-kasih saya. Dan kekurangan yang saya rasakan di sana adalah kekurangan yang menggerogoti kemampuan saya untuk bertumbuh dalam komunitas, mulai dari peran saya sebagai suami dan ayah, yang kemudian meluas ke teman-teman dan rekan kerja saya juga.
Dengan alasan-alasan yang belum saya pahami sepenuhnya, saya harus mengakui bahwa saya masih berusaha mendapatkan kasih dan perhatian dari Tuhan dan orang lain, yang pada akhirnya berujung pada kerinduan terbesar dari semuanya — untuk dipandang dan dikasihi apa adanya. Tidak kurang, dan tidak lebih. Tetapi menjadi layak untuk dikasihi bukanlah hal yang seperti menangkap ikan. Ini bukan tentang berusaha mendapatkan yang saya inginkan tetapi tentang membiarkan diri saya dipakai — menyerahkan segala peralatan saya yang tidak mencukupi, keterampilan saya yang tidak memadai, dan hanya melangkah ke dalam air untuk menerima kesejukannya. Untuk membiarkan permukaannya menudungi kepala saya sampai saya muncul lagi memandang matahari bersinar yang menerpa wajah saya yang tersenyum dan damai. Betapa jauh lebih baiknya jika bisa memandang ke sekitar dengan perspektif ini dan melihat semua orang yang saya kasihi sama-sama “nyemplung” — tidak terbebani oleh rantai perfeksionisme diri saya maupun mereka — tetapi bermain air, dengan penuh kegembiraan dan kemerdekaan.