Bagaimana Menjadi Orang Kaya Yang Baik
Di Amerika Serikat, kebanyakan orang memiliki masalah-masalah “orang kaya” Pernahkan Anda berdiri di depan lemari pakaian yang dipenuhi dengan pakaian, dan bingung mencari baju mana yang hendak dipakai? Pernahkah Anda menukar mobil yang masih sangat bagus kondisinya dengan mobil baru? Pernahkah Anda membunuh waktu berbicara di telepon genggam Anda selagi berdiri mengantri untuk mendapatkan versi terbaru dari model telepon yang sama? Pernahkah Anda berbelanja hanya untuk relaksasi? Bila Anda menjawab ya terhadap salah satu dari pertanyaan-pertanyaan ini, berarti Anda adalah orang kaya.
Bila Anda masih belum yakin, hal itu karena setiap orang mengartikan kata ini secara berbeda — dan tak seorang pun dari kita menganggap bahwa diri kita memenuhi syarat. Polling Gallup baru-baru ini mendapati bahwa definisi “kaya” artinya memiliki kira-kira dua kali lipat yang dimiliki orang yang disurvey. Dengan kata lain, mereka yang memiliki penghasilan 100 juta rupiah setahun mendefinisikan “orang kaya” sebagai orang yang memiliki penghasilan 200 juta.
Moral dari cerita ini adalah: menjadi kaya adalah target yang berubah-ubah. Tak peduli seberapa banyak uang yang kita hasilkan, kita mungkin tidak akan pernah berpikir diri kita kaya. Dan itu adalah masalah, sebab penulis Perjanjian Baru memberikan instruksi yang sangat spesifik kepada orang-orang kaya seperti kita. Bahkan, Yesus lebih sering membicarakan topik kekayaan daripada tentang surga dan neraka. Jadi, ketika kita gagal mengenali kesejahteraan kita sendiri, kita kehilangan petunjuk penting tentang apa yang kita harus perbuat dengan kekayaan kita.
Berkat Besar = Tanggung Jawab Besar
Dalam surat pertama Paulus kepada Timotius, kita mendapati suatu pesan yang ditujukan kepada orang-orang kaya: “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan” ( I Timotius 6:17). Disini Paulus menyatakan apa yang Anda dan saya sudah ketahui bahwa uang dapat mengeluarkan sifat jelek dari diri seseorang.
Saat kita kaya, ada kecenderungan untuk berpikir lebih tinggi tentang diri kita daripada yang seharusnya kita pikirkan. Sangat mudah untuk memperlakukan uang seperti layaknya tembok perlindungan. Kapan pun orang kaya membutuhkan sesuatu, mereka tinggal membelinya (atau membeli jalan keluarnya). Namun uang tidak dapat melindungi kita dari segala sesuatu. Uang tidak dapat membeli keselamatan atau membeli kebahagiaan yang sejati. Uang tidak membuat kita kebal dari PHK atau bencana alam. Dan ada saat ketika uang pun tidak dapat membeli harapan.
Saya tidak berkata bahwa kita tidak perlu memiliki rencana yang melibatkan uang. Tabungan dan polis asuransi adalah hal yang baik, namun kita tidak boleh bergantung pada rasa aman palsu yang mereka tawarkan. Saya hanya berkata bahwa ketika kita memiliki uang, kita perlu mengimbangi dampaknya pada kita. Untungnya, Paulus tidak hanya mendiagnosa masalahnya; ia juga memberikan obatnya. Lihatlah di akhir kalimatnya. Ia mengatakan bahwa orang kaya seharusnya “berharap pada Allah, yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (ayat 17). Apakah Anda mengerti? Cara untuk mengimbangi efek samping kekayaan adalah dengan menaruh pengharapan kita kepada Tuhan. Pernahkah Anda berjumpa dengan orang –entah mereka adalah jutawan atau dari kelas menengah—yang tidak pernah menaruh harapan mereka pada kekayaan? Bagaimana cara mereka melakukannya?
Inilah yang selanjutnya Paulus katakan: “Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi” (ayat 18). Obat untuk penyakit affluenza, atau penyakit menjadi kaya adalah kemurahan hati! Kemurahan hati membuat kita melepaskan genggaman kita pada harta milik kita, menumbuhkan ucapan syukur, dan menyadari mengapa kita bisa menjadi kaya.
Tunggu dulu. Apakah Anda berasumsi bahwa semua kekayaan Anda adalah untuk Anda sendiri? Maaf karena saya harus membuat Anda kecewa. Kekayaan itu bukan untuk Anda sendiri.
Ada suatu kejadian dalam Lukas 12 dimana argumentasi tentang keserakahan terjadi. Karenanya, Yesus menceritakan suatu kisah untuk menjelaskan arti kata serakah. "Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya”, Yesus memulai kisahnya. Orang kaya ini memutuskan untuk merombak lumbung-lumbungnya dan mendirikan yang lebih besar dan akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangnya. Sesudah itu ia berkata kepada dirinya: “Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” (Lukas 12:16-19).
Namun, malam itu, orang kaya ini meninggal. “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah”, kata Yesus (Lukas 12:21). Supaya lebih jelas: Yesus tidak menolak gagasan untuk mengumpulkan kekayaan. Ia mencela pemikiran yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang ditempatkan di tangan kita hanyalah untuk keuntungan kita sendiri. Anggapan untuk mengkonsumsi, demikianlah saya menamakannya, menghalangi kita untuk bersikap dermawan. Hal itu juga membuat kita tidak dapat sungguh-sungguh bersyukur. Memberikan uang dapat menjadi hal yang sangat sulit dilakukan bahkan terkadang terasa seperti tidak bertanggung jawab. Hal itu terjadi karena kita melihatnya sebagai uang kita. Kita lupa bahwa segala sesuatu adalah milik Tuhan sejak semula.
Saat Anda melihat harta milik Anda 100 persen adalah milik Tuhan, maka kemurahan hati memiliki ruang untuk berkembang. Lebih mudah untuk memberi sesuatu saat barang itu bukan sepenuhnya milik Anda. Namun, bahkan dengan pemikiran seperti ini, kita masih digoda untuk menaruh pengharapan kita pada kekayaan kita. Untuk mempraktekkan kemurahan hati secara teratur, kita perlu mengikuti beberapa prinsip yang sederhana.
Tiga P
Ijinkan saya untuk memperkenalkan kepada Anda cara menetralisir efek samping kekayaan dan memupuk rasa ucapan syukur.
P yang pertama adalah prioritas.
Kemurahan hati tidak akan terjadi kecuali Anda membuatnya sebagai prioritas. Bila Anda menunggu sampai Anda merasa kaya, Anda tidak akan pernah memulainya. Bahkan bila Anda merasa miskin—bahkan bila Anda sedang memikirkan tagihan telepon yang lewat batas pembayaran atau bagaimana Anda dapat membayar uang sekolah—Anda dapat mulai menjadi murah hati saat ini juga. Sebab, ironisnya, kemurahan hati tidak tergantung pada banyaknya uang yang Anda berikan.
Cara terbaik untuk memprioritaskan kemurahan hati ialah menjadikan hal memberi sebagai hal paling pertama yang Anda lakukan dengan uang Anda setiap bulan. Sebelum membayar tagihan kredit. Sebelum belanja keperluan rumah tangga. Kapanpun Tuhan menyediakan pemasukan bagi Anda, maka biarlah tindakan pertama Anda ialah mengakui darimana uang itu berasal.
P kedua adalah persentasi.
Anda ingat komentar Yesus tentang persembahan sang janda? Ia berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya” (Markus 12:43-44). Persentasi jauh lebih berarti daripada jumlah uangnya. Pikirkan seperti ini: bila Warren Buffett memberi $1000 untuk amal dan seorang tuna wisma memberi $1, siapakah yang memberi dengan jumlah yang lebih besar? Alkitab banyak berbicara tentang 10 persen, jadi disitulah saya merekomendasikan untuk memulainya. Beberapa orang tidak menyukai gagasan ini; memikirkannya saja membuat mereka tidak nyaman. Bila Anda ingin melindungi diri Anda dari efek samping affluenza, hal terpenting adalah mulailah sekarang dari hal yang kecil—bahkan bila itu hanya 1 persen.
P ketiga adalah progresif.
Menjadi progresif artinya sejalan dengan waktu Anda menaikkan persentasenya. Bila Anda telah memberi jumlah yang sama bahkan setelah pendapatan Anda bertambah, maka cobalah untuk menaikkannya menjadi 11 persen, kemudian 12, dan seterusnya. Inilah alasannya: sangatlah mungkin membangun kekebalan terhadap kemurahan hati dengan pemberian yang rutin.
Saya harap hal ini tidak terdengar seolah-olah Tuhan ingin mengambil semua uang Anda dari Anda. Dia adalah pemberi, bukan pengambil. Ia tidak mengutus Anak-Nya Yesus untuk mengumpulkan dari setiap orang yang berutang kepada-Nya. Ia mengutus Yesus untuk memberikan hidup-Nya bagi Anda. Dengan memanggil Anda untuk mengakui Dia sebagai pemilik dari harta benda Anda, Ia ingin memberikan kepada Anda kebebasan yang datang saat Anda melepaskan genggaman Anda atas harta Anda.
Entah kita berpikir kita kaya atau tidak, kita melayani Allah yang menyediakan dengan berlimpah. Ia dimuliakan saat kita menyadari berkat-berkat kita dan mengembalikannya kepada Dia melalui ucapan syukur. Pada akhirnya, segala yang kita miliki adalah milik-Nya, dipercayakan kepada kita untuk dikelola dengan baik. Karena itu, memberilah tanpa merasa terpaksa! Sebab di dalam memberilah kita menunjukkan makna sesungguhnya dari kemurahan hati Kristus kepada dunia.