Bagaimana Menjadi Persembahan Yang Hidup
(Charity Singleton Craig)
Harga persembahan hidup kita kepada Tuhan
Ketika mendengar kata “pengorbanan,” yang kita pikirkan biasanya tentang melepaskan sesuatu yang kita perlukan yang kita serahkan untuk kebaikan orang lain. Orang tua mengorbankan waktu tidurnya untuk merawat anak yang sakit. Seseorang mengesampingkan kariernya demi pasangannya. Kakek-nenek melepaskan rencana-rencana pensiun mereka untuk merawat cucu. Seringkali, pengorbanan kita untuk orang lain itu kecil. Harganya relatif murah. Tetapi sekalipun besar, seperti keluar dari pekerjaan demi merawat orangtua yang sudah renta, pengorbanan itu tidak sampai mengambil nyawa kita. Dan seperti itulah tepatnya yang dipikirkan para pembaca surat Paulus di abad pertama ketika ia memerintahkan di Roma 12, “Persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Tuhan, itu adalah ibadahmu yang sejati.” Mereka tahu harganya, karena sebagian besar dari mereka kemungkinan sudah ikut ambil bagian dalam tatacara pengorbanan tertentu.
Orang-orang Yahudi pembaca surat Paulus akan membawa korban persembahan ke bait suci pada hari raya atau peringatan tertentu, seperti ketika orangtua Yesus mengorbankan dua ekor burung merpati setelah kelahiran-Nya. Meskipun orang Kristen mula-mula tidak lagi membawa korban persembahan setelah kebangkitan Yesus, upacara pengorbanan orang Yahudi masih berlangsung sampai bait suci dihancurkan pada tahun 70 M. Bahkan orang Romawi yang beralih ke Yudaisme pasti tidak asing dengan penyembahan berhala yang berupa pengorbanan binatang. Kenyataannya, memakan daging yang dipersembahkan kepada berhala menjadi hal yang kontroversial di antara orang Kristen di Korintus. (Baca 1 Korintus 8:1-13, 10:1-33).
Tatacara pengorbanan orang Yahudi sangat ritualistik dan penuh aturan yang kaku. Hewan tertentu dipersyaratkan untuk pengorbanan tertentu—terkadang jantan, terkadang betina, dan selalu harus yang tidak bercacat. Selain itu, meskipun siapa saja dapat membawa korban persembahan ke bait suci, tetapi hanya imam yang boleh mempersembahkannya di atas mezbah.
Saat membaca ayat bacaan kita dari Roma 12:1, kita sering berfokus pada penggunaan kata “yang hidup,” seolah-olah rasul itu sedang membuat perbedaan khusus di sini. Padahal dalam hukum Yahudi, semua hewan korban memang dibawa ke bait suci dalam keadaan hidup. Dengan pengertian ini, setiap persembahan berarti adalah persembahan yang hidup. Setelah hewan kurban itu diserahkan, imam akan menyembelihnya, seringkali dengan memotong-motongnya menjadi beberapa bagian dan memakai darahnya untuk berbagai keperluan upacara. Terkadang, para iman diperbolehkan memakan daging korban itu. Pada saat lain, hewan kurban itu dibakar habis atau dibuang. Makna sebenarnya dari persembahan korban adalah bahwa setelah pengorbanan itu dilakukan, korban itu menjadi tak ada gunanya lagi bagi orang yang membawanya, selain untuk satu tujuan ini: penyembahan.
Ketika kita mempersembahkan diri kita kepada Tuhan, kita menyerahkan semua yang kita miliki untuk menyembah Dia. Ketika meminta kita untuk “mempersembahkan tubuh [kita] sebagai persembahan yang hidup dan yang kudus,” Paulus tahu bahwa itu adalah permintaan yang besar. Begitu pula para pembacanya. Tetapi Paulus juga tahu bahwa persembahan itu akan diterima oleh Tuhan yang besar yang memiliki belas kasihan yang besar. Tuhan yang layak atas semua yang kita miliki.