Berbelas Kasihan
(Mike Cosper)
Ke mana pun Yesus pergi, Dia menunjukkan belas kasihan ilahi. Dan teladan-Nya meminta kita melakukan hal yang sama.
Sebenarnya bisa dikatakan tidak banyak orang yang seperti Ebenezer Scrooges (tokoh dalam novel Charles Dickens yang berhati dingin dan egois-Red),yang senang hidup tanpa pernah berpikir tentang berbelas kasihan. Belas kasihan adalah kebajikan yang dihargai hampir di seluruh dunia, namun tampaknya kurang banyak ditemukan. Lintasan berita-berita (atau tulisan-tulisan di medsos) pada umumnya membuat orang merasa dunia mestinya dapat berbuat lebih dalam hal ini. Tetapi mengapa terdapat kesenjangan? Mengapa hal yang jelas-jelas dapat menolong dunia kita yang kacau balau ini sulit ditemukan?
Mungkin akan menolong jika kita mendefinisikan dulu arti kata belas kasihan, yang ternyata lebih sulit dari mengucapkannya. Meski belas kasihan hampir serupa dengan empati, keduanya tidak persis sama. Sesungguhnya, kesenjangan antara dibutuhkannya belas kasihan dan kurangnya belas kasihan di dunia terletak pada perbedaan cara kita memahami kedua kata itu.
Untuk mengawalinya, kita perlu melihat yang dikatakan Alkitab, dan teladan Yesus sendiri, pastinya. Ketika menghadapi orang banyak – orang-orang miskin dan sakit, orang-orang berdosa yang letih dan hancur hati – Yesus selalu bersikap lembut.
Renungkanlah Matius 9. Pasal ini dimulai dengan Yesus yang berjumpa dengan orang lumpuh dan berkata kepadanya, “Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni” (Matius 9:2). Perkataan ini sangat menggusarkan hati para ahli Taurat, sehingga Yesus kemudian berkata, “Manakah yang lebih mudah, mengatakan ‘Dosamu sudah diampuni’ atau ’Bangunlah dan berjalanlah’?” (Matius 9:5). Dan, di ayat berikutnya, untuk menunjukkan bahwa Dia memang berkuasa untuk mengampuni dosa, Yesus menyuruh orang lumpuh itu mengangkat tilamnya dan berjalan. Dan orang itu melakukannya, membuat orang banyak keheranan dan takjub.
Setelah itu, orang-orang Farisi mengganggu Yesus. Mereka bertanya kepada para murid-Nya, “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (Matius 9:11). Yesus menjawab dengan sebuah peribahasa yang sering dikutip dan merupakan ikhtisar puitis tentang belas kasihan: “Bukan orang sehat yang memerlukan dokter, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Matius 9:12-13).
Di dalam dua contoh pertama ini, kita melihat belas kasihan Yesus terutama berkaitan dengan orang yang hancur hati dan letih lesu. Dia mulai dengan mengampuni dosa si orang lumpuh, dan menyebut para pemungut cukai dan orang berdosa sebagai “orang sakit.” Dia menyadari betul kehancuran hati dan jiwa mereka.
Sikap ini ada bahayanyajika dianggap sebagai dasar penghakiman, seolah-olah belas kasihan timbul semata-mata karena memandang orang lain sebagai orang berdosa. Padahal pandangan Yesus, saya yakin, lebih dari itu. Dia memandang mereka sebagai makhluk sebagaimana yang dimaksudkan. Manusia yang diciptakan segambar dengan Allah – yang dimaksudkan untuk kemuliaan, berkembang, dan hidup di dunia yang harmonis dan indah. Belas kasihan Yesus adalah belas kasihan Sang Pencipta, yang melihat ciptaan-Nya yang rusak dan cemar akibat kehadiran dosa. Kita tidak dimaksudkan untuk berdosa dan sakit. Kita tidak dimaksudkan untuk menderita kehinaan akibat kelumpuhan. Kita tidak dimaksudkan untuk direndahkan karena prostitusi, kecanduan alkohol, kerakusan, atau penyembahan berhala. Seperti dikatakan C.S. Lewis, jika Anda pernah melihat manusia sebagaimana ia dimaksudkan, Anda akan tergoda untuk memujanya. Namun betapa jauhnya kita dari rancangan yang semula ini.
Yesus memandang orang lumpuh dan pelacur dengan mata yang sama dan berkata, Ini bukanlah kehidupansebagaimana yang dimaksudkan untuk mereka. Hal itu menghancurkan hati-Nya dan – yang lebih penting – menggerakkan-Nya untuk bertindak. Dia mengampuni dan menyembuhkan orang lumpuh itu. Dia mendekat kepada orang berdosa itu.
Dan di sini kita mulai dapat mendefinisikan belas kasihan itu. Lebih dari empati, belas kasihan adalah gerakan perasaan dan pikiran kita yang mengidentikkan atau menyamakan diri dengan penderitaan orang lain. Atau lebih tepatnya bisa dikatakan bahwa, belas kasihan adalah empati yang lebih dalam – yang tidak hanya duduk di pinggir dan melihat, sekalipun dengan penuh perasaan, penderitaan orang lain. Belas kasihan itu bertindak. Ia tidak bisa hanya duduk diam saja. Ia menyembuhkan. Ia bergerak kepada orang yang menderita. Ia membuat dirinya berisiko demi kepentingan orang lain. Perhatikanlah kembali teladan Yesus: Dalam kedua situasi itu, Dia mengabaikan reputasi-Nya, mengusik perasaan para pemimpin agama, pertama dengan menunjukkan keberanian untuk mengampuni dosa, dan kedua, dengan mengusik rasa “kepantasan” mereka ketika Dia makan bersama “orang-orang berdosa.”
Matius 9 selanjutnya menunjukkan beberapa peristiwa mukjizat lagi. Yesus membangkitkan seorang anak perempuan dari kematian. Dia menyembuhkan perempuan yang sakit pendarahan selama 12 tahun. Dia mencelikkan mata dua orang buta, dan mengusir setan dari orang yang menjadi bisu. Dan mendekati akhir perikop, kita membaca ayat-ayat ini:
“Maka heranlah orang banyak, katanya: ‘Yang demikian belum pernah dilihat orang di Israel.’
Tetapi orang Farisi berkata: ‘Dengan kuasa penghulu setan Ia mengusir setan.’
Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.
Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: ‘Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu’.” (Matius 9:33-38).
Belas kasihan Yesuslah yang menggerakkan-Nya untuk menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, dan memberkati orang berdosa dengan kehadiran-Nya. Belas kasihan-Nyalah yang membuat-Nya berani berisiko dengan berada di antara orang sakit dan berdosa. Dan belas kasihan ini adalah bagian dari pemberitaan tentang “Injil Kerajaan.”
Di sepanjang kitab-kitab Injil, Yesus menyampaikan pesan yang sama: Injil kerajaan. Kerajaan Allah. Kerajaan surga. Bukan suatu tempat nun jauh di sana, tempat kita bermain harpa ketika kita meninggal. Tetapi di sini, saat ini, di antara kita. Di dunia orang berdosa, orang sakit, dan ya, bahkan orang Farisi. Itulah kerajaan yang dapat disambut atau dicemooh, tetapi yang di dalam Yesus menjadi terealisasi secara nyata.
Jika Anda ingin tahu surga itu seperti apa, lihatlah apa yang terjadi ketika Yesus hadir. Inilah kerajaan di mana kematian, sakit penyakit dan kegelapan tidak ada lagi. Inilah kerajaan di mana semua orang disambut, betapa pun terpinggirkan, miskin, sakit dan berdosanya mereka. Inilah tangan Allah yang bekerja di dunia – sentuhan yang mulai memperbarui dunia.
Dan sepertiyang ditunjukkan Matius 9, inilah kerajaan yang gerakannya adalah menunjukkan belas kasihan Allah: “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala” (Matius 9:36). Renungkanlah sejenak perkataan ini: “lelah dan terlantar.” Keadaan yang memprihatinkan, namun bukangambaran yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Kita kebanyakan tidak menggambarkan diri kita seperti ini. Melainkan, jika ada kesempatan, kita berusaha sedapat-dapatnya menampilkan diri kita sebagai orang yang kompeten dan berani, entah itu di kelas, pertemuan atau media sosial.
Dunia sekitar kita mengatakan, kita harus menyembunyikan kelemahan dan menunjukkan kelebihan kita kepada orang banyak. Tetapi Yesus melihat semuanya dan mengetahui bahwa jika kita bersikap lebih jujur, kita juga menggambarkan diri kita sebagaimana yang Dia gambarkan – kita dibuat lelah oleh dunia yang berkata kita harus kompeten dan berani, padahal dalam banyak hal kita sebenarnya merasa tidak berharga. Kita harus lebih muda, lebih langsing, lebih pandai, lebih sehat. Anak-anak kita harus berperilaku lebih baik. Pernikahan kita harus lebih bahagia. Pekerjaan kita harus lebih memuaskan. Di setiap sudut kehidupan kita sehari-hari, kita mendengar suara yang mengganggu yang berkata bahwa apa pun yang kita miliki, kita tidak cukup.
Dan jika kita jujur, kita mungkin juga akan menggambarkan diri kita sebagai orang terlantar. Karena, banyak hal dalam kehidupan ini berada di luar kendali kita. Mendengar salah satu masalah ini saja sudah bisa membuat kita kewalahan, dan suara-suara yang mengusik itu bisa melemahkan. Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, kita hanya punya dua pilihan sikap: Berpura-pura atau berserah.
Berpura-pura yang saya maksudkan adalah kita bisa memakai semacam “pernis” sosial. Kita dapat berlaku seolah-olah kita memiliki segalanya, dan menutupi keluarga dan karier kita sampai dunia yang mengamati memandang ke arah kita dan menemukan yang ingin dilihatnya: kehidupan yang lebih serasi, lebih bahagia dan lebih produktif. Kita dapat memakai kebahagiaan dan kebersamaan itu sebagai topeng dan melangkah bersamanya sepanjang hari. Inilah sesungguhnya cara orang-orang Farisi – ketaatan yang sangat cermat terhadap serangkaian tuntutan luar. Jika yang mereka pakai adalah serangkaian hukum dan peraturan agama, yang kita kenakan lebih sosial, tetapi keduanya sama-sama berdasarkan penampilan luar.
Kelemahan sikap ini tampak jelas dalam kecaman Yesus terhadap orang Farisi. Dia menyebut mereka seperti “kuburan yang dicat putih” (Matius 23:27), dari luar kelihatan bersih, tetapi dalamnya penuh kematian dan kenajisan. Jalan ketaatan luar adalah jalan derita tersembunyi. Dan juga jalan yang menghalangi kita dari belas kasihan. Kita benar-benar tidak bisa berbelas kasihan pada orang lain jika kita belum menyelesaikan kehancuran dan kesedihan di dalamdiri kita sendiri.
Mari perhatikan kembali Matius 9. Di sepanjang cerita, ada sekumpulan penonton yang tidak sepakat. Mereka terkejut melihat Yesus mengampuni dosa, keberanian-Nya dalam menyembuhkan, dan kenyamanan-Nya untuk bergaul dengan orang berdosa. Ini bukan sekadar penilaian kasuistik, tetapi ketidaksenangan pribadi yang mendalam. Ketakutan yang bermanifestasi dalam amarah dan kedengkian. Racun yang membuat dunia berkonflik dengan dirinya dan mengenyahkan belas kasihan dan empati.
Ketidaknyamanan yang menimbulkan ketakutan pada orang asing, pengungsi, berbeda warna kulit, sakit, miskin, orang berdosa dan hancur.
Jika Anda ingin tahu mengapa dunia kurang berbelas kasihan, lihatlah tidak jauh-jauh dari orang-orang Farisi. Lihatlah orang-orang yang perilaku luarnya membentuk kehidupan mereka dan percaya bahwa kehidupan Anda juga seharusnya seperti itu. Jika belas kasihan adalah empati yang tergerak untuk bertindak, kebalikannya adalah kedengkian ketika melihat sesuatu yang asing atau mengejutkan. Kedengkian terhadap apa pun yang tidak sesuai dengan dunia kita yang nyaman yang penuh aturan.
Untuk menjadi orang-orang yang berbelas kasihan, kita terlebih dulu harus menyadarikeadaan kita sebagai orang yang sangat membutuhkan. Untuk mengasihi orang sakit, saya harus menyadari bahwa saya sakit. Untuk mengasihi orang yang hancur, saya harus menyadari bahwa saya hancur. Untuk mengasihi orang yang membutuhkan, saya harus mengenali kebutuhan-kebutuhan mendalam diri saya sendiri.
Hanya setelah itu kita dapat melihat Yesus – yang berjalan di dunia yang ditandai dengan cahaya terang, hidup dan pemulihan – dan memahami yang Dia lakukan, memahami kebaikan kerajaan Allah yang luar biasa. Hanya setelah itu kita dapat bergerak kepada orang-orang yang paling menderita dan hancur. Hanya setelah itu kita dapat benar-benar mengerti arti dari kata belas kasihan.