Biarlah Seluruh Umat Tuhan Berkata “Amin”
(Michelle Van Loon)
Optimisme dalam menghadapi penderitaan tidak selalu merupakan hal yang baik.
Suatu hari pemimpin kelompok Pemahaman Alkitab saya—seorang wanita cantik bernama Barbara—mengumumkan bahwa ia didiagnosis mengidap kanker payudara dan akan mulai menjalani perawatan minggu berikutnya. Ia meredam bisik-bisik penuh kekhawatiran dan kesedihan dengan senyuman dan pernyataan kemenangannya: “Saya tidak takut! Tuhan berdaulat!”
Barbara melanjutkan, “Jangan khawatirkan diri saya, teman-teman. Saya baik-baik saja.” Ia memandang ke seluruh ruangan dengan penuh harap dan berkata, “Tuhan itu baik—setiap waktu!” Suasana hening sejenak sebelum akhirnya dua orang wanita memberikan respons yang ia nantikan: “Tuhan baik, setiap waktu.”
Barbara mengangguk. “Mari kita ucapkan sebagaimana yang kita yakini, teman-teman. Bersama-sama: Tuhan itu baik, setiap waktu …”
Sebagian besar peserta kelompok meneriakkan jawaban itu seakan-akan kami sedang mengucapkan yel-yel penyemangat: “Tuhan baik, setiap waktu!” Meskipun saya setuju dengan perasaan teologis itu, saya tidak ikut dalam sorak-sorai di pagi hari itu.
Ketika saya sendiri menerima diagnosis medis yang mengubah-hidup beberapa tahun sebelumnya, saya sangat terguncang dan dibuat kacau oleh berita itu. Saya perlu cukup waktu untuk memasukkan informasi itu ke kepala saya dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengobatan yang terus berlangsung dalam hidup saya. Saya tahu bahwa setiap orang memproses berita sulit dengan cara berbeda-beda. Setiap kita membawa sejarah pribadi, perjalanan iman, tingkat ketangguhan dan tipe kepribadian yang unik dalam menghadapi tantangan-tantangan. Barbara adalah pribadi yang ceria dan penuh semangat dan mungkin itu yang membuatnya dapat menerima berita itu dengan tenang. Namun ada sesuatu dari peristiwa itu yang membuat saya merasa gelisah.
Ketika saya berbicara dengan Barbara setelah Pendalaman Alkitab itu untuk memberi dukungan dan empati, ia menegaskan bahwa hanya ada satu “jawaban tepat” untuk orang Kristen dalam hal menghadapi segala penderitaan dengan setia. Saya katakan padanya saya tahu bahwa menerima berita tentang diagnosis kanker bisa menjadi pukulan yang mengejutkan.
“Aku menganggap semuanya itu sebagai kebahagiaan, seperti yang diharapkan kitab Yakobus untuk kita lakukan,” jawabnya. “Tidak ada yang aku takutkan.” Ia melanjutkan dengan mengatakan pada saya bahwa diagnosis kankernya justru telah membuka kesempatan-kesempatan baru untuk ia bisa bersaksi kepada beberapa petugas medis di rumah sakit saat ia menjalani pemeriksaan. “Membagikan Kabar Baik adalah segalanya, bukan? Inilah satu kesempatan lagi bagi kemuliaan-Nya.”
Saya bukannya tidak setuju, tetapi saya juga tidak dapat tidak merasa bahwa ia tidak menceritakan seluruh kisahnya kepada saya. Saya mencoba lagi dengan pertanyaan lain. Saya ingin melampaui yang di permukaan itu, untuk berbicara padanya dengan lebih jujur. Saya bertanya, “Bagaimana suami dan anak-anakmu menghadapi hal ini? Ini tantangan untuk seluruh keluargamu.”
Lagi-lagi ia mengacuhkan saya dan menjawab, “Tidak ada yang terlalu sulit bagi Tuhan. Kami semua memercayai-Nya.”
Saya memberinya pelukan, menawarkan untuk sekali dua kali membawakan makanan untuk keluarganya, lalu melangkah pergi sambil bertanya-tanya, apakah ada yang kurang pada iman saya, karena saya tidak menyikapi diagnosis saya dengan kepercayaan diri yang sama seperti yang ditunjukkan Barbara. Saya mengingatkan diri saya bahwa membanding-bandingkan adalah jebakan dan itu bukan kontes – tetapi ada sesuatu yang lain tentang berlangsungnya pagi itu yang membuat saya gelisah. Saya hanya tak bisa menyebutkannya pada hari itu.
Ketika Barbara menghadapi tantangan kemoterapi pada minggu-minggu berikutnya, ia tetap menampilkan wajah ceria dan mengutip ayat Alkitab di depan orang-orang dalam mengarungi perjuangannya. Saya tidak meragukan imannya sedikit pun. Tetapi ketika saya mendengarkan orang-orang di kelompok PA membicarakan tentang Barbara, saya sadar bahwa ia sedang menyampaikan banyak tentang bagaimana seharusnya iman itu dan bagaimana seharusnya respons orang Kristen yang “kuat” terhadap penderitaan. Saya bisa katakan banyak wanita-wanita di kelompok kami yang merasa seperti saya, merasa seakan ada yang kurang dalam diri atau iman mereka.
Seringkali ada garis tipis antara mempertahankan pola pikir optimis dengan yang dikenal sebagai positivitas yang toksik atau tidak sehat. Tekanan untuk hanya menunjukkan emosi-emosi positif dan menekan yang negatif ini dapat membungkam kejujuran dan mungkin juga mempermalukan orang yang sedang menderita. Bagian yang rumit tentang mengenali positivitas toksik adalah memakai kata-kata menghibur yang familiar dalam menyikapi realitas manusia yang sulit. Kedengarannya mungkin seperti empati padahal sebenarnya itu cara pembicara menghindari atau tidak terlibat secara berarti dengan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan.
Di dalam gereja, hal ini bisa muncul dalam bentuk kata-kata klise rohani yang manis (“Jangan takut kehilangan pekerjaan. Tuhan pasti mengurusnya!”) atau kata-kata rohani yang berlebihan (“Jangan ucapkan apa pun yang negatif. Bagaimanapun, hidup dan mati dikuasai oleh lidah”). Banyak dari kita belajar dari gereja bagaimana seharusnya jawaban yang “benar” atas permasalahan-permasalahan sulit. Karena kita tak ingin mengusik ketenangan orang lain, kehilangan dukungan mereka, atau membuat mereka menganggap kita kurang beriman, ada godaan untuk bersembunyi di balik penampilan luar yang “berkilau”.
Gereja yang memiliki norma positivitas toksik menyampaikan bahwa bersikap jujur yang tepat tentang pergumulan, keraguan dan kelemahan itu tidak aman. Padahal ketidakjujuran itu bisa sangat melukai jiwa kita, apalagi ketika kita sedang menghadapi cobaan berat. Dan pada akhirnya, gereja dengan budaya penampilan rohani bukan tempat yang aman, menyembuhkan atau kudus bagi siapa pun.
Kita juga tidak menemukan perilaku ini di halaman-halaman Kitab Suci. Perhatikan kejujuran perasaan raja Daud, misalnya. Ia berbicara terbuka kepada Tuhan ketika ia takut (Mazmur 6:3-4), letih lesu (Mazmur 6:7), putus asa (Mazmur 13:2), dan merasa bersalah (Mazmur 51:1-19). Ia menulis mazmur-mazmur ratapan dan juga mazmur-mazmur sukacita dan penyembahan agar dapat berjuang menemukan kembali harapan. Ia tidak menghilangkan bagian-bagian yang kacau dan tidak enak dalam kisahnya agar ia dapat menampilkan citra rohani yang berkilau di hadapan Tuhan dan orang lain.
Kata-katanya yang menginspirasi menunjukkan bahwa diri kita yang sangat manusiawi diterima di hadapan Tuhan. Yesus meneguhkan hal ini ketika Dia menerima orang yang ragu-ragu dan bergumul di sepanjang pelayanan-Nya. Dia sendiri juga tidak menyaring perasaan-perasaan-Nya. Dia menangisi Lazarus (Yohanes 11:1-44), menunjukkan kemarahan yang benar ketika para penukar uang berbisnis di bait suci (Markus 11:15-17), meratapi Yerusalem (Lukas 19:41-44), dan sangat tertekan dengan hal-hal yang akan Dia hadapi di salib sampai peluh-Nya menjadi seperti darah (Lukas 22:44).
Setiap kita berbeda-beda dalam menyikapi masalah. Sebagian dari kita adalah orang-orang cerah ceria dengan “gelas setengah penuh” (optimis). Sementara yang lain melihat gelas itu hampir kosong. Apa pun kecenderungan kita, Tuhan mengasihi kita apa adanya, menjumpai kita di tempat kebutuhan kita, dan tidak terganggu oleh pergumulan atau kebingungan kita.
Saya prihatin dengan yang disampaikan Barbara kepada wanita-wanita di kelompok PA itu, tetapi saya tidak cukup mengenalnya dengan baik untuk berbicara dari hati ke hati selama ia menjalani pengobatan. Jadi saya memutuskan untuk berbicara langsung di kelompok itu tentang pengalaman saya sendiri saat menghadapi diagnosis yang sulit.
Saya menceritakan betapa takutnya saya mendengar perkataan dokter dan mengatakan bahwa pada saat yang mengejutkan dan mengguncangkan itu, saya bertanya-tanya apakah saya dapat memercayai Tuhan untuk menolong saya menghadapi tantangan itu. Saya tidak tahu apa yang bisa saya harapkan dari kelompok itu, tetapi bersyukur, pengakuan saya memunculkan pembahasan yang berarti yang berlanjut selama berminggu-minggu di kelompok itu tentang sifat iman dan keraguan.
Kami menemukan bahwa kejujuran melahirkan optimisme yang menyehatkan, yang membuat beberapa dari kami (termasuk saya) terkejut. Itu adalah pengharapan yang otentik—yang terjadi karena dilihat dan diketahui oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan yang sama dengan kita. Pengharapan yang dimaksudkan Tuhan untuk kita bagikan kepada orang lain pada saat sukacita maupun sengsara (Roma 5:3-5).
Beberapa bulan kemudian, Barbara melaporkan bahwa ia sudah bersih dari kanker, dan saya ikut merayakannya bersama-sama. Ya, Tuhan itu baik setiap waktu—meskipun kita ragu dan cemas, meskipun kita merasa terhilang dalam ketakutan, kedukaan, kesedihan, atau seratus perasaan jujur manusiawi lainnya. Dan Dia selalu ada untuk menemani kita ketika kita mencari jalan menuju pengharapan.