Bisakah Kita Bercakap-Cakap?

(C. Christopher Smith)

Kita mendengar suara Allah lebih jelas ketika kita saling mendengarkan.

Tubuh manusia kita adalah simfoni yang indah dariberbagai bagian/ anggota tubuh yang berbeda-beda. Telinga tidak seperti jari kaki, dan bulu mata tidak sama dengan limpa, tetapi semua bagian ini dan berbagai anggota tubuh lainnya tersusun dengan rapi dan berfungsi dengan serasi untuk kesehatan dan kestabilan seluruh tubuh. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Ilmu pengetahuan modern menegaskan bahwa di setiap levelkeberadaan kita, dari protein-protein, gen-gen, saraf-saraf, tulang-tulang, kita ini ada sebagai percakapan berlapis dan kompleks dari ribuan bagian tubuh yang sangat berbeda-beda.

Ketika tubuh kita masihsangat muda dan belum dewasa, sebagian anggotanya belum bisa berbicara atau berfungsi dengan baik bersama-sama. Bayi yang sehat akan mencapai tahap awal kehidupannya ketika ia menyadari bahwa tangan dan kakinya adalah bagian tubuhnya juga, dan dapat digerak-gerakkan jika ia mau. Kemudian, ketika tubuhnya semakin bertumbuh dan dapat melakukan gerakan-gerakan secara teratur, anak itu akan dapat melakukan tindakan-tindakan yang makin terampil dan tepat: merangkak, melangkah, berjalan, sampai akhirnya mengembangkan keterampilan-keterampilan fisik yang dibutuhkan untuk melakukan olahraga tertentu atau memainkan alat musik dengan baik.

Di ujung lain kehidupan, penyakit dan kematian ditandai dengan kacaunya percakapan-percakapan tubuh: Kita kehilangan kemampuan untuk melakukan hal-hal tertentu dengan anugerah yang sama yang pernah kita terima. Sistem sirkulasi getah bening kita, yang melindungi kita dari patogen-patogen berbahaya, perlahan-lahan kehilangan kemampuannya untuk menangkal, dan pada sebagian orang, sel-sel kanker membuat telinga yang tuli menjadi pesan-pesan tubuh untuk berhenti berbagi. 

Menjadi dewasa sebagai Tubuh Kristus

Tubuh kita adalah hasil pekerjaan tangan Allah yang luar biasa, namun apa yang dapat kita pelajari dari tubuh kita ini tentang panggilan untuk menjadi dewasa dalam identitas kita sebagai tubuh Kristus? Gambaran alkitabiah tentang gereja inisudah sangat kita kenal, tetapi seberapa sering kita sungguh-sungguh memikirkan apa artinya menghidupi iman kita di dalam tubuh ini? Meskipun rasul Paulus tidak memiliki akses ke semua ilmu pengetahuan modern yang mengetahui seluk-beluk tubuh manusia, ia pernah menulis dengan jelas tentang bagaimana kita sebagai orang Kristen sudah disatukan dengan satu sama lain di dalam satu tubuh Kristus:

“Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Andaikata kaki berkata: ‘Karena aku bukan tangan, aku tidak termasuk tubuh,’ jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Dan andaikata telinga berkata: ‘Karena aku bukan mata, aku tidak termasuk tubuh,’ jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh?Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, di manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, di manakah penciuman?Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya.Andaikata semuanya adalah satu anggota, di manakah tubuh?Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh” (1 Korintus 12:14-20).

Kita diciptakan segambar dengan Allah Tritunggal, yang menjadi ada sebagai percakapan yang penuh perhatian dan kekal di antara ketiga Pribadi Allah. Hidup berkelimpahan yang Tuhan mau kita miliki  di dalam Kristus (Yohanes 10:10) adalah persis seperti kehidupan percakapan Trinitas ini. Tetapi untuk memiliki hidup yang berkelimpahan ini bukan perkara mudah. Sejak Adam dan Hawa memutus persekutuan mereka dengan Allah di Taman Eden, perpecahan menjadi kekuatan yang sangat merusak. Kain membunuh Habil. Yakub menipu Esau dan terasing darinya. Barnabas dan Paulus berbeda pendapat dan berpisah jalan. Jemaat Korintus bertengkar dan terpecah-belah mengikuti pemimpin yang mereka sukai (1 Korintus 1). Di abad 21, perpecahan tampak semakin jelas: perpecahan politik, perpecahan ekonomi, perpecahan rasial dan etnis, perpecahan antar generasi, semua perpecahan berlapis di atas satu sama lain, membuat kita makin jauh dari kehidupan yang sesuai dengan tujuan kita diciptakan.

Ahli politik Robert D. Putnam dalam bukunya yang terkenal,Bowling Alone, menyatakan bahwa banyak kelompok sosial—dari perkumpulan pemain bowling, gereja-gereja, sampai organisasi-organisasi kemasyarakatan – yang berangsur-angsur meninggalkan paruhan kedua abad 20, secara efektif juga sedang meninggalkan pemahaman mereka tentang bagaimana bercakap-cakap dan bekerja sama dengan satu sama lain. Munculnya media sosial di abad 21 hanya memperparah perpecahan itu. Tetapi kita bukan tanpa harapan.

Belajar bercakap bersama

Hampir 25 tahun yang lalu, gereja saya, seperti juga banyak gereja Injili lainnya pada masa itu, mengalami kemerosotan drastis dalam pelayanan ibadah Minggu malam kami. Namun, meski kami tahu ibadah malam kami tak ayal akan terhenti, jemaat kami tidak mau berhenti untuk berkumpul pada Minggu malam. Seseorang mengusulkan agar kami duduk melingkar di salah satu ruang serba guna dan bercakap-cakap saja.

Salah satu pertanyaan paling awal yang kami percakapkan bersama, yang muncul dari khotbah, pelajaran Sekolah Minggu, atau hal-hal lain dari kehidupan bersama kami adalah, “Apakah Injil itu?” Saat kami meninjau kembali, pertanyaan ini mungkin bukan topik pemula yang baik, karena melukai identitas kami sebagai orang Injili dan merupakan topik yang hampir semua orang memiliki keyakinan kuat.

Sementara kami bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membahas setiap topik dari berbagai sudut, kami dengan cepat menemukan bahwa kami tidak tahu bagaimana cara berbicara bersama dengan baik. Percakapan-percakapan awal kami sangat bergejolak; orang kadang berteriak kepada satu sama lain, atau lebih seringnya, saling memukul dengan kata-kata kasar. Konflik yang terjadi membuat sebagian orang meninggalkan gereja, dan yang lain menghindari percakapan-percakapan Minggu malam kami.

Tetapi minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun, kami terus melakukan percakapan, dan sebagaimana apa saja yang dilakukan secara teratur, kami mulai menjadi lebih baik dalam berbicara. Teriakan dan kata-kata kasar akhirnya sirna. Kami sungguh-sungguh belajar mendengarkan dengan lebih saksama dan menerima satu sama lain dengan segala harapan dan ketakutan kami, dengan segala pertanyaan dan keyakinan kami yang kokoh, dengan mimpi-mimpi dan kegagalan-kegagalan imajinasi kami. Kami berubah, namun tidak selalu dengan cara yang Anda duga. Tidak banyak, kalau pun ada, yang pikirannya berubah secara drastis; tetapi perubahan besar terjadi dalam kemampuan kami untuk mengenal dan memercayai satu sama lain – bahkan ketika kami tidak sepaham.

Perlu saya jelaskan bahwa percakapan-percakapan kami bukanlah sekadar sendagurau yang kosong. Percakapan-percakapan itu telah membuat kami mampu bertindak lebih jauh dan dengan cara-cara yang lebih anggun di lingkungan kami. Kepercayaan yang kami bangun melalui praktik percakapan mingguan telah mendorong kami untuk melakukan banyak hal yang seringkali tak terpikirkan oleh gereja-gereja. Ketika anggota gereja – seperti keluarga saya sendiri – ingin tinggal di lingkungan kami dan berbagi hidup sehari-hari dengan gereja di sini, kami membantu mereka untuk membeli rumah atau mengusahakan rumah sewaan. Kami sudah memulai beberapa bisnis yang terus berkembang karena kemampuan bercakap-cakap kami yang meningkat (yang, di antara banyak hal lain, membantu kami dalam menghadapi situasi-situasi sulit).

Percakapan dan tindakan sudah menjadi hal yang menyatu bagi kami, tetapi percakapan kami tidak hanya tentang melakukan sesuatu. Sesungguhnya, kami secara intensional sudah menegaskan bahwa pertemuan Minggu malam bukanlah pertemuan bisnis – kami tidak akan membuat keputusan-keputusan tentang sumber daya atau masalah-masalah kehidupan bersama kami lainnya pada saat itu. Kami kebanyakan berbicara tentang Firman, secara langsung maupun tidak langsung. Sekali-sekali, kami berfokus pada ayat tertentu, yang mungkin dikhotbahkan pada hari itu, dan mencoba memahami maksudnya. Lain kali, Alkitab selalu menjadi acuan kami ketika kami membahas suatu topik atau pertanyaan-pertanyaan yang lebih luas. 

Menyikapi isu-isu yang memecah-belah

Berbicara bersama – benar-benar berbicara dengan sungguh-sungguh – dapat menolong gereja-gereja dalam menyikapi isu-isu sulit yang dapat memecah-belah kita; tetapi langsung melompat ke isu-isu yang memecah-belah itu tanpa berlatih sebelumnya tidaklah bijaksana. Grandview Calvary Baptist Church,sebuah Gereja Baptis Kanada di Vancouver, British Columbia, mendapati bahwa percakapan dapat menolong dalam menghadapi masalah-masalah tentang seksualitas. Sebagai jemaat perkotaan yang anggotanya memiliki beragam keyakinan tentang ketertarikan dan relasi dengan sesama jenis, gereja Grandview pernah mengutus beberapa anggota senior mereka untuk mengadakan retret bersama – sebagai waktu/kesempatan untuk mendoakan, mendengarkan dan membicarakan tentang perbedaan-perbedaan mereka. Roh Kudus berkarya luar biasa di antara peserta retret itu, membuat mereka semakin dekat dalam kebersamaan itu. Ketakutan dan kecemasan yang mereka bawa ke dalam retret itu hilang. “Kami mungkin tidak sependapat,” kata seorang peserta, “tetapi saya dapat mengikuti rapat-rapat gereja kami dan mengetahui bahwa kami bisa saling mendukung.” Pengalaman kelompok ini terus berlanjut dan menolong gereja itu dalam bercakap-cakap dan membuat keputusan-keputusan tentang isu-isu seksualitas.

Retret itu mungkin tidak akan membawa dampak setransformatif itu, jika Grandview tidak tekun melakukan latihan-latihan bersama sebagai komunitas. Salah satu latihan ini adalah “listening prayer” (doa yang mendengarkan), yang sudah mereka terapkan dalam banyak situasi, termasuk dalam rapat jemaat tahunan yang diadakan secara rutin. Bagi Grandview, listening prayerberarti membawa masalah tertentu yang berkaitan dengan kehidupan bersama gereja, lalu dalam kelompok-kelompok yang hanya terdiri dari beberapa orang, mendengarkan dalam keheningan apa yang Tuhan sampaikan kepada mereka tentang masalah itu; dan kemudian menceritakan dan mendiskusikan apa yang mereka yakini sebagai perkataan Tuhan – pertama-tama dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil dan kemudian sebagai jemaat. Listening prayer adalah sebuah cara bercakap-cakap dengan Tuhan dan memperhatikan bagaimana Dia akan memimpin kita. Cara ini juga memberi ruang kepada orang-orang yang berbeda untuk mendengarkan Allah dengan cara yang berbeda dan mengetahui lewat percakapan itu apa yang dimaksudkannya bagi jemaat itu.

Membayangkan masa depan Tubuh kita

Percakapan juga dapat menolong kita membayangkan seperti apa kehidupan bersama kita di masa depan. Appreciative Inquiry (AI) adalah metode percakapan yang dikembangkan di dunia bisnis tetapi sudah digunakan juga di banyak gereja. Proses AI membimbing sebuah organisasi, melalui refleksi dan percakapan tentang masa lalunya, untuk menyoroti bagian-bagian yang paling memberi daya dalam sejarahnya. Organisasi itu lalu ditantang untuk memakai kisah-kisah ini dengan membawa anggota ke masa depan yang mereka harapkan. Mark Lau Branson sudah menulis buku yang sangat bagus tentang metode AI untuk gereja-gereja—Memories, Hopes, and Conversations. Di dalam buku itu, ia menjelaskan tentang jemaatnya, First Presbyterian Church di Altadena, California, yang menggunakan AI untuk mengenali warisan Jepang-Amerika mereka yang kaya. Metode AI juga menolong mereka mengenali sebuah langkah ke depan yang meliputi memperhatikan dengan baik para lansia Jepang-Amerika yang sudah mengabdikan hidup mereka di gereja itu selama puluhan tahun. Percakapan-percakapan AI di gereja First Presbyterian membawa mereka kepada identitas yang lebih melekat sebagai komunitas, dan hubungan yang lebih mendalam dengan satu sama lain sebagai anggota satu tubuh/gereja itu.

Jika gereja-gereja kita ingin sehat dan dewasa menuju kepenuhan dalam Kristus (Efesus 4:13), kita harus betul-betul saling mengenali – keyakinan-keyakinan kita, segala kekuatan dan kelemahan kita – agar kita dapat bekerja dengan lebih berkasih karunia bersama-sama. Kita perlu berjuang memperbanyak kasih karunia dan pengampunan, karena mau tak mau kita akan saling melukai satu sama lain dalam proses ini. Tak ada jalan pintas di sini, dan tak ada cara untuk mempercepat dalam menjadi yang Allah rancangkan untuk kita, tetapi hasilnya akan sebanding dengan usaha kita. Melalui semua ini, kita akan siap untuk memberi kesaksian tentang praktik bercakap-cakap, bukan saja di gereja-gereja tetapi juga di dalam keluarga, lingkungan, tempat kerja dan semua komunitas di mana kita berada. Dunia kita yang terpecah-pecah memerlukan kehadiran tubuh Kristus yang memulihkan, tetapi apakah kita sudah siap menerima pemulihan itu dan segala sesuatu yang menyertainya?