Cara Bertanding “Orang Kristen”
(Daniel Darling)
Panggilan untuk berpegang teguh pada yang benar – dengan cara yang benar
Pendeta saya mempunyai kata-kata yang sering ia ulang-ulang. “Ini bukan 10,” katanya, yang artinya, hal yang sedang dibahas mungkin saja penting tetapi bukan yangterpenting. Itulah tindakan yang ia ajarkan pada saya yang saya terapkan dalam relasi-relasi saya – dengan istri saya, anak-anak saya dan rekan-rekan kerja saya – untuk mengurangi gesekan.
Saya tidak tahu bahwa hal inilah yang secara spesifik ada dipikiran Paulus ketika ia menuliskan surat-suratnya kepada Timotius dan Titus. Tetapibanyak pakar percaya bahwadalam tulisan-tulisan terakhirnya kepada jemaat Tuhan, rasul itu mengajarkan keseimbangan yang sehat antara keberanian berpegang teguh pada doktrin yang benar dan sikap yang lemah lembut.
Tipe orang yang berbeda perlu mendengar penekanan yang berbeda dari keseimbangan ini. Sebagian dari kita yang sudah sepatutnya cemas dengan kemungkinan penyimpangan teologis di gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen perlu mendengar penekanan Paulus yang berulang-ulang tentang kelemahlembutan sebagai sifat baik yang diperlukan. Dengarkan, misalnya, betapa sering pemikiran ini muncul:
Di dalam daftar persyaratan sebagai penilik jemaat: “… Bukan pemarah melainkan peramah, pendamai… “ (1 Timotius 3:3).Di dalam nasihat tentang manusia alkitabiah: “Kejarlah …. kelemahlembutan” (1 Timotius 6:11). Tentang kepemimpinan: “Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. … dan dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang suka melawan” (2 Timotius 2:24-25). Dalam mengajar umat Tuhan yang terlibat perselisihan dan permusuhan, “Ingatkanlah mereka supaya …jangan memfitnah, jangan… bertengkar, hendaklah mereka selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang” (Titus 3:1-2).
Paulus tidak hanya menasihati orang-orang muda ini, ia juga memberikan contoh dengan teladannya. Ia berlaku ramah, katanya kepada jemaat di Tesalonika, “sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya” (1 Tesalonika 2:7). Dan perkataankelemahlembutan dankeramahan pun bertebaran di dalam surat-surat Paulus. Yang menarik, nasihat ini diberikan oleh orang yang dikenal dengan olahraga tinjunya. Paulus benar-benar tidak ragu-ragu ketika harus berhadapan dengan guru-guru palsu, mengusir setan-setan dan menentang penyembahan berhala pada zaman itu. Ia menegur. Ia menasihati. Ia menyampaikan pewahyuan, seringkali dengan kata-kata keras kepada umat Tuhan.
Tetapi, ia juga menekankan keramahan dan kelemahlembutan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Pertama-tama, saya kira Paulus mengatakan kebenaran, bukan sebagai orang yang berusaha “menjatuhkan” lawan bicaranya atau mempermalukan orang yang tidak sepaham dengannya. Ia bahkan tidak bersukacita ketika mendapati dan membongkar dosa dan kebobrokan dalam jemaat, seperti orang yang ingin mendapat pujian atau dianggap pahlawan—motivasi yang tampaknya banyak dimiliki oleh orang-orang yang ingin menjadi “nabi-nabi” di gereja masa kini.
Tidak, Paulus tidak menyukai pertarungan-pertarungan semacam ini. Satu-satunya cara ia terlibat konflik adalah dengan airmata dan dukacita yang tulus. Demikian jugalah seharusnya dengan kita. Jika dan ketika kita dipanggil untuk melayani dengan kata-kata keras, hal itu seharusnyakita lakukan karena kita mengasihi orang yang disasar dengan kata-kata keras itu.
Kedua, Paulusselalu melakukannya dengan kerendahan hati. Ia berulang-ulang menghadapi polemik-polemiknya dengan kesadaran akan keberdosaan dan kelemahannya sendiri. Ia tidak berdiri di atas orang-orang percaya yang jatuh dengan sikap arogan – ia duduk bersama mereka dengan belas kasihan dan kasih. Betapa sering perdebatan dan ketajaman rohani kita tidak bertujuan untuk mengejar kekudusan gereja atau kasih persaudaraan. Kita sering “memukul” supaya terlihat benar. Kita memegang senjata kebenaran dengan ceroboh, tanpa terlalu mempedulikansiapa orang yang kita hajar dan lukai dalam rangka mengejar tepuk tangan. Paulus menegur dengan kelemahlembutan yang tepat.
Yang terakhir, dan kemungkinan yang terpenting, Paulus tahu konflik yang bagaimana yang berarti. Ia memerintahkan Timotius untuk “bertanding dalam pertandingan iman yang benar” (1 Timotius 6:12). Bertanding, bukan dalam pertandingan-pertandingan murahan, remeh-temeh dan tidak penting, tetapi bertanding dalam pertandingan-pertandingan terpenting dan kekal. Pilihlah dengan bijak hal-hal yang untuk itu Anda siap kehilangan persahabatanyang mendalam. Pikirkan baik-baik sebelum Anda mengetik semburan kata-kata kasar atau tulisan panjang lebar di media sosial. Renungkanlah tujuan perdebatan Anda dengan anak remaja Anda. Tanyakan diri Anda apa yang tampaknya sedang dikatakan Paulus pada Anda: apakah ini pertandingan yang baik?
Banyak dari kita membayangkan, di tengah perbantahan, bahwa kita adalah seperti nabi Yeremia yang sedang mengatakan kebenaran kepada para pendengar yang tidak mau mendengar. Atau seperti nabi Elia di gunung Karmel atau Martin Luther di dalam persidangan Dewan Worms. Padahal, mungkinkah kita justru seperti Tobia dan Sanbalat yang mengacau dan berusaha menghalangi Nehemia dari pekerjaan Tuhan, atau seperti seorang bidat di Titus 3:10, atauanggota jemaat yang suka bertengkar di Yakobus 4:1?
Ada godaan—yang sangatbesar di zaman yang membingungkan ini—untuk tidak bertanding. Tetapi Paulus tidak menasihati kita untuk bersikap seperti itu. Keramahan bukanlah sekadar bersikap manis. Keramahan tidak mengabaikan dosa yang sudah lalu atau kurang berani berdiri teguh padaajaran Kristen yang benar. Namun, keberanian juga bukan berarti menjadi orang yang bersuara paling keras di tengah ruangan atau berkomentar paling pedas di media sosial. Orang Kristen harus bertanding, tetapi kita harus melakukannyadengan senjata-senjata surgawi seperti kelemah-lembutan, keramahan dan kasih karunia. Dan kita tidak memilih pertandingan hanya sekadar untuk berolahraga; kita hanya bertanding dalam pertandingan-pertandingan yang baik.