Cara Tubuh Percaya

(Ashley Hales)

Kehidupan pikiran menyatu dengan pengalaman kita bersama Tuhan, tetapi mempertahankan iman memerlukan lebih banyak lagi.

Flusedang melanda. Ketika saya mendengar anak saya yang berusia 4 tahun merintih dan bersin-bersin,saya meninggalkan ruangan saya yang tenang dan beringsut ke tempat tidur putri saya yang sedang demam, dan berbaring di dekatnya. Ia melingkarkan lengannya ke leher saya dan berkata pada saya bahwa ia mengasihi saya. Inilah panggilan sebagai orangtua: untuk selalu hadir bagi anak-anak kita dengan tubuh, jiwa dan pikiran. Namun, hal ini tidak mudah. Sementara ia berbaring dengan gelisah, pikiran saya menerawang ke daftar tugas-tugas yang belum selesai dikerjakan. Kecemasan menyelinap dan saya menarik napas dalam-dalam. Saya berdoa untuk tubuh kecilnya yang gelisah dan pikiran saya sendiri yang gelisah. Saya memandangi raut wajahnya dan rambut ikalnya yang menempel di dahinya.

Ketika ia tertidur, saya menyelinap ke luar kamar. Ada banyak sekali pekerjaan yang menunggu. Sebanyak saya mengambil kesempatan untuk sepenuhnya hadir mendampinginya, saya masih tetap melakukan kesibukan-kesibukan seperti menyiapkan makan malam, menjadwalkan pertemuan-pertemuan, membereskan rumah – semuanya pekerjaan yang baik dan penting.

Namun saya juga bertanya-tanya apakah saya sudah membuat keputusan yang tepat. Daftar tugas saya – terutama tugas menulis dan menjadi pembicara—dapat memberi saya kesempatan lolos dari keperluan-keperluan mendesak. Tetapi apakah saya lebih memilih hal itu daripada putri saya? Apakah saya merasa paling menjadi diri sendiri ketika saya memanjakan pikiran saya, daripada memakai tubuh saya untuk melayani orang lain? Apakah saya memahami diri saya terutama sebagai pikiran, sehingga yang paling menjadi “diri saya” adalah pikiran-pikiran saya? Meskipun saya tahu bahwa hadir mendampingi anak yang sedang sakit merupakan cara menunjukkan kasih, saya merasa tubuh saya sepertinya kurang penting, tidak “cukup rohani” untuk dipakai mengasihi orang lain. Sementara, pikiran dan jiwa tampaknya lebih dirancang untuk merawat secara rohani.

Baru-baru ini seorang wanita bertanya, apa yang mungkin Tuhan katakan kepada jiwa saya, dan saya menjawab singkat. Saya bisa saja mengatakan padanya semua yang saya ketahui dari bacaan teologi dan Alkitab, atau apa yang Tuhan katakan tentang diri-Nya sendiri. Saya bisa saja mengutip doa-doa, atau bahkan menceritakan bagaimana perasaan saya tentang hal itu. Tetapi saya tidak memiliki kosa kata untuk jiwa saya.

Masalahnya adalah: Karena Tuhan sudah membuat diri-Nya menjadi daging, tubuh kita berharga. Karena napas hidup sudah diembuskan kepada manusia, diri kita bukan sekadar dorongan hati, otot-otot, dan perasaan—jiwa kita berharga. Karena kita dipanggil untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, pikiran dan kekuatan kita, maka cara kita berpikir, berlogika dan memahami itu berharga – dengan kata lain, pikiran kita berharga. Semuanya itu—setiap bagian diri kita yang mulia itu—berharga.

Namun meskipun diri kita menyatakan kebenaran itu, secara fungsional kita cenderung masih hidup seakan-akan tubuh kita lebih rendah pada daftar prioritas kita. Tubuh tampaknya menjadi rumah yang mengganggu bagi jiwa kita yang sudah diselamatkan. Tubuh itu lemah dan hancur. Kita memasukkan tubuh ke dalam kategori “daging”—pola-pola dosa yang menjauhkan kita dari Tuhan.

Tetapi Tuhan mengembuskan napas hidup ke dalam debu tanah untuk menciptakan manusia. Pada permulaan zaman, Dia berdiri seperti seorang ayah yang bangga dan menyebut dunia yang diciptakan-Nya itu baik. Mengapa tubuh kita tidak berharga?

Kitab-kitab Injil penuh dengan jalan berdebu—ketika Yesus meludah ke mata orang buta, atau ketika Dia memecah-mecahkan roti dan lebih dari cukup untukpergi berkeliling. Wanita yang sakit pendarahan menyentuh ujung jubah-Nya dan disembuhkan. Yesus memandang ke sekitar dan Dia memakai biji-bijian, gandum, sekam, benih, jala, domba dan kambing untuk mengajar tentang kerajaan Tuhan.  Zakheus memanjat pohon ara—benda yang ada di bumi—untuk bertemu Tuhan dalam ruang dan waktu. Yesus meninggalkan kita dengan makanan—roti dan anggur—untuk mengingat dan memperingati cerita Injil. Dalam kematian-Nya, yang mencucurkan darah dan air, Dia menderita cucukan duri dalam daging-Nya, tusukan paku di tangan-Nya. Dan melalui kebangkitan-Nya, tubuh-Nya dimuliakan.

Jelaslah bahwa tubuh kita memiliki sesuatu yang dapat mengajar kita tentang mengalami Tuhan. Jelaslah bahwa dunia materi dapat membawa kita lebih dalam kepada kebenaran-kebenaran Injil yang memperkaya pikiran dan jiwa kita. Kita harus bersukaria dengan kata-kata benda, karena mengetahui orang-orang, tempat-tempat dan benda-benda itu akan memberikan kosa kata untuk iman kita.

Bagaimana mempraktikkan iman yangberwujud—iman yang merawat (dan bukan yang mengabaikan) tubuh sebagai cara mengenal Tuhan? Selain mengangkat tangan dan suara kita dalam ibadah penyembahan pada hari Minggu, atau mengikuti komuni—bagaimana kita mengenal Tuhan melalui tubuh kita sepanjang minggu?

Saya melakukan jalan kaki secara teratur, menggerakkan anggota tubuh saya, mensyukuri cahaya matahari yang menerpa wajah saya, dan sementara saya berjalan, saya berdoa dan berpikir – tubuh, pikiran dan jiwa saya bekerja bersama-sama. Jantung saya berdegup lebih keras ketika saya mendaki bukit, dan saya diingatkan bahwa saya dikasihi oleh Bapa yang lemah lembut.

Ketika putri saya bangun pada hari itu, gelisah dalam keadaan sakitnya, saya kembali merangkak ke tempat tidurnya. Saya memakai tubuh saya untuk bercerita tanpa kata-kata, agar ia mengerti melalui tulang-tulangnya bahwa saya mengasihinya – sehingga melalui kasih saya, ia juga bisa mengerti bahwa Kasih itu sendiri sudah menjadi daging dan menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi dirinya. Saya menyelimutinya dengan tubuh sayaagar ia dapat merasakan keamanan dari kasih itu, yang tak pernah meninggalkannya.