Ceritakanlah Kisah Saya

(Jamie A. Hughes)

Mengapa semua orang membutuhkan mentor 

Saya tidak pernah memiliki mentor/pembimbing, tetapi hal ini tak membuat saya berhenti membayangkan bagaimana rasanya memiliki seseorang yang berkomitmen mencurahkan hikmat dan nasihat yang baik dalam hidup saya. Dalam skenario yang saya ciptakan, mentor/pembimbing saya – seorang wanita yang lebih dewasa, anggun dan bersemangat—duduk sambil minum teh bersama saya di sebuah ruang bermandikan cahaya matahari yang dipenuhi buku-buku dan mungkin juga satu atau dua ekor kucing gendut. Kami minum sambil membahas pertanyaan-pertanyaan saya, yang ditanggapinya dengan senyum penuh pengertian sebelum memberikan nasihat bijak nan berharga. Dan saya pulang dengan perut kenyang makan camilan dan minuman, dan merasa benar-benar diperhatikan, dipercaya dan dikasihi.

Meskipun saya belum sampai mengalami momen yang hangat dan nyaman itu, saya bersyukur bisa mendapat kesempatan mengobrol dengan penulis Keith R. Anderson, presiden emeritus Sekolah Teologi dan Psikologi Seattle. Beliau telah membuat saya merasa didengarkan dan juga dihargai melalui sambungan telepon jarak jauh dari Atlanta ke Phoenix itu. Saya dapat mendengar suara burung yang berkicau di pepohonan – dan sesekali suara jet yang berdesing meninggalkan pangkalan udara setempat – ketika ia duduk di pekarangannya, menyampaikan pandangan-pandangan tentang pentingnya mentoring atau kepembimbingan dalam kehidupan orang Kristen.

Jamie Hughes:

Menurut Anda mengapa sangat penting bagi orang Kristen untuk dibimbing dan membimbing orang lain? Mengapa kepembimbingan itu sangat sulit bagi kita, terutama karena sudah dicontohkan dengan sangat baik oleh Kristus sendiri?

Keith R. Anderson:

Satu pertanyaan yang saya renungkan selama 30 tahun terakhir ini adalah, Bagaimana Yesus melatih para pengikut-Nya bagi Kerajaan Allah? Bagaimana Dia melakukan pemuridan? Saya mengajukan pertanyaan ini kepada para pemimpin, pendeta, seluruh jemaat, dan yang menarik bagi saya, mereka selalu berkata, “Yesus mengajar, Yesus melakukan mukjizat.” Mereka menyebutkan jawaban-jawaban standar, tetapi ada dua hal yang sangat jarangsekali disebut: Yesus makan bersama dengan orang lain dan sering berada dalam komunitas bersama orang lain. Ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk melakukan tugas tertentu, Dia mengutus mereka berdua-dua, bukan seorang diri saja. Dan saya kira hal inilah yang sedang kita abaikan saat ini. Individualisme sudah begitu kuat di dalam budaya gereja – sedemikian kuatnya sampai kita percaya bahwa kita dapat hidup beriman sendirian. Ini tidak benar; kita hidup beriman bersama-sama. Itu sebabnya mentoring atau kepembimbingan sangatlah penting. Saya membutuhkan orang lain untuk menolong saya memahami kisah saya. Kita semua begitu. Ini hal mendasar dalam kehidupan kita sebagai manusia, dan saya kira hal ini juga merupakan cara Yesus dalam melakukan pemuridan. 

Jamie:
Menurut Anda, mengapa kita masih terus bergumul dengan dorongan-dorongan “individualitas yang kasar” dalam Kekristenan?
Keith:
Sebagian adalah karena kita cenderung mengajar dan mengkhotbahkan tentang orang-orang dalam Alkitab. Saya dibesarkan di gereja yang membicarakan tokoh-tokoh Perjanjian Lama dengan sangat disederhanakan. Tetapi ketika saya semakin besar dan mulai membaca sendiri cerita-cerita itu, saya mendapati bahwa mereka bukanlah para pahlawan yang gagah berani, sebagian besar dari mereka. Mereka adalah manusia biasa, orang-orang dengan segala kelemahan yang juga mencari cara di tengah semuanya itu untuk mencapai level kesetiaan tertentu kepada Allah. Kita cenderung mengajarkan semacam kepahlawanan yang tak berguna. Para murid juga tentu saja tidak sempurna, tetapi mereka setia dan taat.
Jamie:
Anda tidak melihat relasi kepembimbingan seperti pemahaman pada umumnya. Anda percaya ini adalah tugas “membaca kehidupan sebagai sebuah cerita.” Apa yang Anda maksudkan dengan hal ini?
 Keith:
Di dalam 2 Korintus 3:3, Paulus berkata, “Kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia.” Setiap kita adalah surat yang ditulis oleh Kristus. Inilah yang saya maksudkan dengan membaca kehidupan sebagai sebuah cerita.
                Keyakinan saya Alkitab adalah cerita yang sudah diselesaikan oleh Allah. Kita saat ini cenderung membacanya dalam khotbah, pendalaman Alkitab, ibadah, liturgi, dan sejarah, padahal Alkitab juga aktif dan dinamis. Alkitab adalah hal-hal yang dilakukan Allah.

Saya ingat ketika saya masih di kelas-kelas awal seminari, saya diajar bahwa Injil Lukas adalah tulisan tentang yang dilakukan Yesus sebagai pengajar, penyembuh, saat penyaliban, kebangkitan serta kenaikan-Nya ke surga. Dan kitab Kisah Para Rasul adalah tulisanyang kedua, tentang apa yang Yesus terus lakukan melalui Roh Kudus dan gereja. Jadi membaca kisah saya berarti membaca tentang apa yang sedang terus Allah lakukan. Bagi saya, ini betul-betul teologi yang baik – melihat apa yang sedang Allah tuliskan dalam kisah kita.

Jika Allah tersembunyi di segala tempat – jika Dia “datang pada kita menyamar sebagai hidup kita,” seperti kata Paula D’Arcy – maka membaca kisah kita sangatlah penting untuk spiritualitas kita. Itulah inti pemuridan. Allah datang dalam seluk-beluk kehidupan, dan pembimbingan rohani adalah salah satu cara yang kita pelajari untuk memperhatikan apa yang sedang terus Allah lakukan.

Jamie:

Yang Anda katakan membuat saya teringat pada lagu Walt Whitman, “Song of Myself” (Lagu tentang Diriku)—“Jika kau menginginkan aku lagi, carilah aku di bawah sol sepatumu.” Bagi saya, kata-kata lagu itu selalu menjadi pengingat untuk tidak mengabaikan hal-hal yang saya pikir saya mengerti. Yang Anda cari tidak berada jauh “di luar sana”, tetapi sedekat kotoran di bawah kaki Anda. Saya kira kita mengabaikannya ketika kita berusaha mencari di luar kisah-kisah kita, di luar diri kita sendiri, karena Allah sedang menyatakan diri-Nya kepada kita semua dengan cara-cara yang sangat unik namun universal.

Keith:

Bahayanya bagi kita sebagai murid-murid adalah abstraksi (sesuatu yang abstrak, teoritis, dan tidak praktis). Abstraksi, sejauh yang saya perhatikan, adalah musuh spiritualitas kita. Yesus datang pada kita dalam rupa manusia, dan dalam keunikan kemanusiaan-Nya itulah Dia menyatakan keilahian-Nya pada kita. Bagaimana saya bisa mengenal Dia? Saya perlu pengajaran yang baik. Saya perlu beribadah. Saya perlu belajar memperhatikan semua hal itu. Tetapi jika semua itu tetap dalam bentuk yang abstrak, saya benar-benar keliru menangkap esensinya. Karena Kristus datang pada kita dalam kehidupan, dalam hal-hal yang paling umum dan praktis.

Jamie:

Banyak orang Kristen memandang pertumbuhan rohani seperti mereka menghadapi sepiring brokoli. Mereka tahu belajar itu baik bagi mereka, jadi mereka melakukannya. Tetapi mereka benar-benar tidak menikmati apa pun. Tetapi, Anda percaya pada “endless curiosity” (rasa ingin tahu yang tak ada habisnya). Ini berbeda dengan belajar informasi hanya untuk mendapatkan informasi semata. Dapatkah Anda menjelaskan hal ini lebih lanjut?

Keith:

Cerita yang baik membuat saya terlibat, dan saya kira Allah menulis cerita-cerita yang baik di dalam diri kita semua. Itu sebabnya saya berkata kepada orang-orang, “Jika Anda tidak ‘ingin tahu’ tentang orang lain, jangan coba-coba menjadi mentor, karena Anda akan sangat ‘menderita’!” Menjadi mentor itu tidak sulit, tetapi perlu belajar mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar baik dan tidak cepat menghakimi yang sedang dikatakan. Sebagai mentor, yang sangat banyak saya lakukan adalah mendengarkan, menunggu dan mengalami kejutan tentang hal itu, dan kemudian menikmati yang saya pelajari. Rasa ingintahu adalah sebuah cara untuk terlibat – benar-benar terlibat – dengan kisah orang lain maupun kisah Anda sendiri.

Jamie:

Anda percaya bahwa “informasi bukanlah formasi/pembentukan.” Apa perbedaan di antarakeduanya dan mengapa kita harus lebih mementingkan yang satu daripada yang lainnya?

Keith:

Jadi, informasi adalah langkah esensial menuju formasi, tetapi Paulus berkata kepada Timotius, Kamu perlu berlatih untukberibadah/kesalehan. Paulus tidak berkata, Kamu perlu menulis disertasi tentang kesalehan, atau, Kamu perlu memiliki pengetahuan yang abstrak tentang kesalehan. Tidak, tetapi ia berkata, Kamu perlu mempraktikkannya. Kamu perlu berlatih dalam hal itu. (Baca 1 Timotius 4:7-8). Bagi saya, informasi adalah cara saya belajar Alkitab. Saya menghafalkannya. Saya memegangnya dalam jarak tertentu dan tidak diajar untuk memperhatikan hal-hal yang lebih besar tentang yang sedang Allah kerjakan, seperti, Apa yang sedang Dia kerjakan dalam kehidupan raja-raja itu? Dan, bagaimana saya harus melibatkan spiritualitas, cerita dan kemanusiaan saya sendiri dalamcerita-cerita yang saya baca?

Ketika saya masuk kuliah, saya mendapat seperangkat buku tentang bertumbuh dalam kedewasaan Kristen. Semuanya berisi teori – semuanya informasi yang abstrak. Dan coba terka apa hasilnya? Sampai membaca buku terakhir, saya tidak terbentuk(formed) sama sekali. Kita terbentuk melalui keterlibatan dengan hidup kita sendiri dan kisah-kisah kita sendiri. Transformasi, sebagian, terjadi karena informasi, tetapi transformasi bukanlah tujuan dari informasi. 

Jamie:

Ada manfaattertentu dengan mengetahui hal-hal (informasi) tentang Alkitab karena kitab itu juga ditulis pada waktu dan tempat tertentu, tetapi pada saatnya, Anda benar-benar harus mewujudkan iman Anda dan berkata, “Seperti inilah cara aku hidup. Aku akan memeriksa dan mengakui sepenuhnya ortopraksiku (tindakanku yang benar) maupun ortodoksiku (keyakinanku yang benar).” 

Keith:

Ya. Dan salah satu guru terbaik kita dalam hal ini sebenarnya adalah membaca Alkitab sebagai kisah-kisah, bukan sebagai informasi yang kitaharap dapat kita ceritakan kembali pada ujian berikutnya. Kita mempersempit jarak antara kita dan Alkitab, dan membiarkan suara Allah terdengar dari situ. Saya membaca tentang Yakub dan mengetahui bahwa ia penipu, tetapi jika saya membandingkan kisahnya dengan kisah saya, saya akan diajak untuk memeriksa penipuan saya sendiri. Ini bukansekadar permainan moralitas. Ini adalah, Bagaimana saya mendengarkan yang sedang terus Allah katakan dalam cerita saya? Dan itu sebabnya mentoring itu penting. Saya memerlukan orang lain untuk membimbing saya melakukan hal itu.

Seorang rekan kerja saya pernah berkata – yang awalnya saya anggap agak aneh – “Saya adalah satu-satunya orang yang tidak pernah melihat wajah saya.” Maksudnya adalah, kita memerlukan cermin orang lain untuk membuat kita dapat melihat dan memahami diri kita sendiri. 

Jamie:

Bagaimana pembacaan Alkitab kita memengaruhi kemampuan kita dalam membaca kisah-kisah orang lain maupun kisah kita sendiri? Adakah saling memengaruhi di antara keduanya?

Keith:

Di dalam bukunya, Spirituality of the Psalms, Walter Brueggemann menulis tentang tipologi dalam kitab Mazmur. Menurutnya, ada mazmur-mazmur tentang orientasi, disorientasi, dan orientasi baru. Ketika saya membaca buku ini di seminari, saya merasa agak tergoncangdan mengalami suatu perubahan yang lain, karena saya tidak lagi dapat meratakan Alkitab atau pengalaman-pengalaman Daud dan para penulis mazmur lainnya. Saya dipaksa berkata, “Ada perbedaan di sini.”

Pada saat orientasi, segala sesuatu masuk akal. Semuanyaberjalan lancar.Pada saat disorientasi, ada kebingungan. Suatu krisis telah terjadi, sesuatu sedang berproses. Dan sesudah itu, ada saat untuk orientasi baru dan pengarahan kembali. Dengan mempersempit jarak, saya tak dapat membaca dan mendengarkan Alkitab dengan satu cara pun. Maksud saya, hal itu menakutkan. Saya akan kehilangan sangat banyak hal.

Ketika saya remaja, setiap hari Rabu malam di gereja Baptis kami yang kecil ada kesempatan untuk bersaksi. Saya bisa mengingat seorang pria yang sudah kami doakan bertahun-tahun, memohon agar Allah memulihkan hubungannya dengan istrinya. Rekonsiliasi itu akhirnya terjadi dan itu adalah sebuah cerita yang indah. Tetapi masalahnya, di gereja saya, cerita-cerita hanya memiliki peristiwa “sebelum” dan “sesudah.” Tidak pernah ada testimoni tentang orang-orang yang sedangdalam disorientasi. Hanya orang-orang yang sudah kembali kepada orientasi baru. Jadi kami tidak belajar apa yang harus dilakukan dengan rasa malu, pelecehan, kegagalan dan kehancuran. Yang kami tahu hanyalah bagaimana memuji Allah setelah kenyataan itu.

Ketika saya membimbing orang lain dan mendengarkan kisah mereka, saya tidak dapat langsung mendorong mereka ke saat kemenangan dan keberhasilan. Saya tidak baik pada mereka jika saya melakukan hal itu, karena mereka masih dalam proses. Kisah mereka masih berlangsung. Kebanyakan yang kita lakukan dalam pembimbingan yang baik adalah menolong orang mendengarkan seluruh bagian-bagiandari kisah mereka. Alkitab menolong kita melakukan hal itu – melihat bagaimana segala sesuatubekerja bersama-sama. Saya tidak pernah ingin meratakan Alkitab atau meredam suara Allah yang hidup, karena Dia selalu memiliki sesuatu untuk dikatakan dalam hidup saya dan Anda.