Dari Pemimpin Ke Pemimpin

(Cara Meredith)

Dulu saya berpikir peran terpenting yang dapat saya lakukan adalah di panggung gereja – ternyata tidak.

Saya merasa seperti dilanda angin topan – seakan-akan dengan satu hentakan saja, segala sesuatu dalam hidup saya hancur berantakan. Saya benar-benar telah meninggalkan pelayanan penuh-waktu. Apa yang saya pikirkan?

Ketika saya meninggalkan pekerjaan saya sebagai Direktur Kaum Muda di sebuah lembaga Kristen, rencananya adalah untuk merawat bayi laki-laki saya dan mengejar karier sebagai penulis. Tetapi saya tidak menyadari betapa eratnya kemelekatan identitas saya sebagai orang Kristen dengan yang saya lakukan dalam jabatan itu. Dan ketika saya tidak lagi memegang jabatan penting atau memiliki sekumpulan pengikut yang mencari jawaban-jawaban dari saya, saya menjadi ragu apakah saya pernah menjadi pemimpin yang sesungguhnya.

Saya merasa tugas sehari-hari yang sekarang menggambarkan kehidupan saya tidak lagi sesuai dengan ciri-ciri serupa Kristus yang selama ini saya lakukan dalam pelayanan gereja. Saya terpancang pada atribut-atribut luar yang memberi banyak penghargaan pada bakat-bakat saya—kemampuan saya dalam menarik banyak orang dan menggerakkan pasukan, yang semuanya untuk kemuliaan Tuhan. Tetapi ketika yang ada tinggal hanya saya dan bayi laki-laki saya dalam kesunyian? Siapa dan dengan sebutan apa saya selalu dipanggil tiba-tiba saja serasa tidak sesuai dengan diri saya saat ini.

Pemimpin tidak hidup dengan tumpukan popok-popok kotor dan peralatan makanan bayi; ia  tampaknya tidak berada di antara Target yang sedang dicapai dan waktu-waktu memberi makan tengah malam, dengan interupsi-interupsi sebagai orangtua yang seringkali mengacaukan setiap rencana yang sudah disusun dengan sempurna.

Naluri saya mengatakan mungkin ada yang berbeda dalam hal yang selalu saya pikirkan tentang pemimpin Kristen dan Yesus sendiri. Tetapi dari mana harus memulai ketika semua yang Anda ketahui sudah terbalik-balik?

Di dalam Lukas 10, seseorang bertanya, “Siapakah sesamaku manusia?” dan Yesus menjawab pertanyaan itu secara tidak langsung, dengan memberikan cerita lain: Ketika ada seorang yang dirampok, dipukuli dan ditinggalkan setengah mati di tepi jalan, orang-orang yang seharusnya menyikapi dengan kemurahan tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya menyeberang ke sisi jalan yang lain dan meneruskan perjalanan mereka untuk melakukan hal-hal yang lebih penting.

Barangkali kesamaan antara cerita itu dan situasi saya saat inilah yang mulai menyadarkan saya: pemimpin seperti Kristus dapat diinterupsi. Bagaimanapun, sikap murah hati selalu lebih memilih orang daripada ketenaran atau keterikatan pada jadwal. Dan bukankah ini yang saya lakukan saat ini sebagai seorang ibu? Saya cenderung menanggapi interupsi-interupsi karena sisi kemurahan hati saya selalu memilih untuk merawat orang yang tidak dapat merawat dirinya sendiri.

Dalam bukunya, Strength to Love, Dr. Martin Luther King Jr. menulis bahwa Orang Samaria yang Murah Hati itu, tidak bertanya seperti imam dan Orang Lewi: “Jika aku berhenti untuk menolong orang ini, apa yang akan terjadi padaku?” Melainkan, ia bertanya, “Jika aku tidak berhenti untuk menolong orang ini, apa yang akan terjadi padanya?”

Kemurahan hati tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi memikirkan orang lain, dan memilih untuk memberikan waktu, tenaga dan melakukan tindakan-tindakan kasih yang tanpa pamrih. Ketika hal ini terjadi, kemurahan hati menunjukkan sejumlah pembalikan besar, yang semuanya menegaskan lagi kepemimpinan yang seperti Kristus. Kepemimpinan yang menumbangkan definisi-definisi pemimpin yang dibentuk oleh budaya ketenaran, uang dan pendidikan. Dan pemimpin ini tidak dinilai dari kehebatannya dalam berbicara di depan umum, menulis atau kelihaian berbisnis, tetapi dari bagaimana ia bersikap murah hati bersikap terhadap orang yang membutuhkan.

Di dalam kitab-kitab Injil, kuasa Yesus tidak hanya tampak dalam hal-hal yang dapat Dia lakukan secara kasat mata – bagaimana Dia dapat menunjukkan karunia-karunia kepemimpinan ke luar yang sangat sering kita hargai di atas segala hal lain di gereja-gereja masa kini. Tetapi kuasa-Nya juga tampak—dan mungkin terutama—nyata dalam tindakan-tindakan belas-kasihan-Nya: dengan membungkuk, menulis di tanah, dan memberi undangan yang tulus dari bawah pohon ara. Kuasa-Nya tampak dalam kemurahan hati-Nya, yang mengalir dari kasih yang sempurna, dalam menyikapi pengemis buta di pinggir jalan maupun orang Farisi yang berpendidikan. Kuasa-Nya adalah dengan melepaskan kuasa itu sendiri.

Lalu bagaimana orang bertumbuh dalam kemurahan hati? Meskipun saya tidak selalu tahu bagaimana caranya, saya kira hal itu dapat dimulai ketika kita memahami kebutuhan kita sendiri akan kemurahan dan bahwa Tuhan terus-menerus memberikannya, bahkan pada saat kita tidak memintanya. Saya bertanya-tanya apakah itu dimulai dengan memahami diri sendiri sebagai orang yang membutuhkan pertolongan – yang dirampok, dipukuli dan dibiarkan mati oleh keganasan dosa. Seperti halnya saya, jika saya tidak mengalami kehilangan jabatan kepemimpinan, saya tentu tidak akan menemukan kepemimpinan yang lebih benar dan lebih menyerupai kepemimpinan Kristus – dengan menjadi seorang ibu. Saya harus melepaskan kuasa saya. Dan pada akhirnya, di situlah tepatnya tempat untuk saya mendarat.