Di Atas Altar

(Joshua Ryan Butler)

Apa artinya membawa persembahan yang sempurna bagi Tuhan?

“Persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup”—nasihat Paulus kepada jemaat di Roma terdengar indah, tetapi apa artinya ini sebenarnya? Ketika kita mendengar kata persembahan di gereja, banyak dari kita yang langsung terpikir tentang keranjang atau kantong kolekte yang diedarkan di sepanjang bangku gereja untuk mengumpulkan uang persembahan. Tetapi kata “persembahan” sebenarnya mengandung sejarah Perjanjian Lama yang kaya dengan berbagai penerapannya yang lebih luas. Kata ini tidak hanya dapat membantu kita memahami bagaimana  seharusnya kita hidup pada masa kini, tetapi juga dapat menolong kita mengerti siapa Yesus dan apa yang telah Dia perbuat bagi kita.

MEMBERIKAN YANG TERBAIK KEPADA TUHAN

Tiga jenis persembahan (korban) dijelaskan dalam tiga pasal pertama kitab Imamat, yang masing-masing memiliki signifikansi yang berbeda. Yang pertama ada “korban bakaran” (olah): Pembawa persembahan akan memilih satu hewan ternaknya yang terbaik (“seekor jantan yang tidak bercela”), meletakkan tangannya di atas kepala hewan korban itu, dan kemudian menyembelihnya. Imam akan memercikkan darah hewan korban itu ke sekeliling mezbah, mengatur potongan-potongan daging korban di atas altar, lalu menyalakan api untuk membakarnya. Setiap tindakan itu memiliki makna.

Ketika daging itu dibakar, kitab Imamat menyatakan bahwa “aroma yang harum” dari korban api-apian itu menyenangkan Tuhan (Imamat 1:9,13,17). Persembahan korban itu sendiri merupakan cara seseorang memberikan yang terbaik dari dirinya kepada Tuhan – sebagai ungkapan syukur atas siapa Tuhan dan apa yang telah diperbuat-Nya,dan sebagai seruan doa permohonan kepada-Nya. Sebagai contoh, Nuhmempersembahkan “korban bakaran” yang pertama di Kejadian 8, setelah Tuhan menyelamatkan keluarganya dari air bah dan membawa mereka ke dalam dunia kehidupan yang baru. Ketika Tuhan mencium “aroma yang harum” dari persembahan itu, Tuhan berjanji tidak akan membinasakan dunia dengan air bah lagi.

Mengapa orang yang mempersembahkan korban meletakkan tangannya di atas kepala hewan itu? Tindakan ini bukanlah untuk memindahkan dosa kepada binatang itu, karena yang boleh menyentuh altar hanyalah hal-hal yang kudus. Dan hanya ada satu bagian di kitab Imamat yang menunjukkan pemindahan dosa kepada binatang—yaitu kambing jantan penanggung salahyang dilepaskan dari mezbah ke padang gurun (Imamat 16:21-22). Tetapi di sini tujuan meletakkan tangan pada korban bakaran itu adalah untuk menyamakan diri dengannya dan menyerahkannya sebagai pengganti yang berkualitas untuk melayani menggantikan si pembawa persembahan.

Demikian juga, Yesus adalah pengganti kita yang sempurna, “seorang manusia/laki-laki yang tak bercela,”yang tanpa dosa taat sepenuhnya kepada Bapa. Ketika Dia pergi ke salib, Dia menyerahkan diri-Nya “di atas altar” dan membiarkan darah-Nya terpercik ke sekeliling mezbah. Dia menyerahkan diri-Nya“sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Tuhan” (Efesus 5:2). Ketika kita meletakkan tangan kita pada Yesus, menyamakan diri kita dengan-Nya melalui iman, kita membawa yang terbaik untuk dipersembahkan – yaitu, Dia yang sudah diberikan untuk kita – dalam penyembahan oleh karena siapa Tuhan dan apa yang telah Dia perbuat.

KOMITMEN YANG KOKOH

Berikutnya, di Imamat 2ada “korban sajian,” yang seringkali disertai dengan korban curahan/ minuman anggur (lihat Bilangan 15:1-5). Kata Ibrani yang digunakan untuk korban sajian ini, minchah, juga bisa berarti “hadiah, upeti, atau persembahan” dan berkaitan dengan pemberian ucapan terima kasih kepada Tuhan sebagai Raja. Seperti halnya persembahan korban sebelumnya, umat Tuhan memberikan yang terbaik dari yang mereka miliki – kali ini berupa sajian roti berkualitas tinggi dari tepung terbaik.

Pembawa persembahan akan menuangkan minyak ke atas persembahannya, membubuhi kemenyan dan membawanya kepada imam. Mengapa kemenyan? Sebagaimana halnya pada korban bakaran, korban sajian ini juga memiliki penekanan mendatangkan “aroma yang harum” bagi Tuhan (Imamat 2:2,9,12). Bayangkan aroma roti panas yang baru dikeluarkan dari oven untuk menemani sajian keluarga.

Namun, tidak seperti roti zaman sekarang, bangsa Israel tidak memakai ragi dalam pembuatan korban sajian, tetapi diharuskan memakai garam. Mengapa? Ketentuan ini mungkin terdengar aneh bagi kita, tetapi penjelasan terbaiknya adalah bahwa di dunia kuno, ragi diasosiasikan sebagai kerusakan dan peragian/pengkhamiran, sementara garam diasosiasikan sebagai pengawetan/ pemeliharaan. Contohnya, garam dalam persembahan korban muncul dua kali lagi di Perjanjian Lama, yang keduanya dihubungkan dengan komitmen Tuhan untuk memelihara perjanjian-Nya: dengan imam-imam dari keturunan Harun (Bilangan 18:19) dan dengan raja-raja dari keturunan Daud (2 Tawarikh 13:5). Garam menunjukkan pemeliharaan Tuhan atas umat-Nya, sedangkan tidak beragi berbicara tentang penolakan-Nya terhadap hal yang membuat perjanjian itu rusak/dikhamiri.

Selanjutnya, ada “korban keselamatan/perdamaian” di Imamat 3. Dikenal sebagai selamim, korban persembahan ini memiliki aturan yang sama seperti korban bakaran, tetapi di sini penekanannya pada hubungan yang erat dengan Tuhan. Korban persembahan ini merupakan tanda bahwa ada perdamaian antara pembawa persembahan dengan Tuhan ketika mereka berpesta dalam persekutuan dengan satu sama lain.

Setelah ini, di beberapa pasal kitab Imamat selanjutnya ada ketetapan-ketetapan tentang korban penebus dosa dan penebus salah – yang merupakan cara mengungkapkan “penyesalan/permohonan ampun” kepada Tuhan atas dosa-dosa yang dilakukan – dan penyucian  bangsa itu dari kecemaran. Lalu bagaimana semua ini mengarahkan kita kepada Yesus?

PRIBADI YANG MENJADI PERSEMBAHAN KITA

Seperti pada “korban bakaran,” Yesus adalah pengganti kita yang tak ternilai harganya, yang melalui-Nya kita bersyukur pada Tuhan. Dan seperti pada “korban keselamatan/pendamaian,” Dia memperbarui/memulihkan persekutuan kita dengan Bapa. Pada Perjamuan Malam Terakhir, Yesus menyamakan diri-Nya dengan “korban sajian,” sebagai roti dan air anggur dari makanan yang dipersembahkan; dan Dia memakainya untuk menetapkan “perjanjian baru oleh darah-Ku” (Lukas 22:20)—yang menggemakan korban-korban persembahan yang sudah menjadi tanda perjanjian lama di Keluaran 24:8 dan harapan perjanjian baru yang disampaikan di Yeremia 31:31.

Bapa mengutus Yesus “sebagai korban penebus dosa,” kata Paulus, agar Dia dapat menjadi  “jalan pendamaian karena iman dalam darah-Nya” (Roma 8:3Roma 3:25). Dan Yesaya, nabi  Perjanjian Lama, menantikan Mesias yang akan datang, yang akan diterima Bapa sebagai “korban penebus salah… seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian” untuk diremukkan bagi dosa dan kejahatan kita dan menanggung segala pemberontakan kita (Yesaya 53:7,10). Yesus menggenapi semua korban persembahan di Perjanjian Lama.

Di dalam Kristus, kita juga mempersembahkan kembali hidup kita sebagai persembahan  kepada Tuhan. Ini berarti gaya hidup menyembah yang menempatkan Dia sebagai yang utama, ketika kita “senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Tuhan, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya” (Ibrani 13:15). Ini juga berarti mencerminkan karakter-Nya di dunia ini ketika kita menunjukkan Siapa Dia yang memanggil kita untuk “jangan… lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Tuhan” (Ibrani 13:16). Oleh karena kemurahan Bapa yang begitu besar di dalam Kristus, kita mempersembahkan kembali seluruh keberadaan diri kita dan segala kepunyaan kita kepada Tuhan dalam puji-pujian yang tak terbendung.

Paulus memandang hidupnya sendiri “sudah dicurahkan sebagai korban curahan” dalam pelayanan pemberitaan Injil dan berharap buah pelayanannya bagi orang-orang non-Yahudi akan menjadi “persembahan yang berkenan kepada Tuhan” (Filipi 2:17; Roma 15:16). Demikian pula, kita pun perlu menunjukkan kasih Yesus yang menyerahkan-diri itu kepada keluarga, rekan kerja dan sesama kita dengan mempersembahkan tubuh kita sebagai “persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Tuhan” (Roma 12:1). Tanpa syarat, kita harus menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Dia yang sudah mengorbankan diri-Nya bagi kita.