Di Mana Gerejaku?
(Leigh McLeroy)
Keluhan orang Injili yang menua
Di gereja Injili superbesar tempat saya menghabiskan sebagian besar hidup saya di usia 20-30-an, sekelompok kecil orang dewasa “senior” berkumpul di lantai atas setiap hari Jumat untuk menyisipkan brosur serangkaian program dan kegiatan gereja ke dalam buletin ibadah mingguan; yang satu pun dari acara itu tidak melibatkan mereka. Mereka melakukan tugas yang berguna bagi gereja, tetapi yang menjalankan tugas-tugas pelayanan nyata di lantai bawah adalah generasi saya. Saya tak pernah menyangka bahwa pengalaman mereka itu suatu hari akan menjadi pengalaman saya.
Saya dan teman-teman bertumbuh dewasa sebagai bagian akhir dari generasi “baby boomer”(generasi kelahiran tahun 1946-1964). Kami tinggal dan bekerja di Bible Belt (wilayah Sabuk Injil atau daerah-daerah di Amerika Serikat yang didominasi orang Protestan Injili konservatif) pada saat pertumbuhan gereja dikejar dengan semangat yang menyala-nyala. Kebanyakan dari kami bertemu di gereja yang sangat terkenal ini; gereja tempat kami beribadah dan bersosialisasi ketika masih bujangan; gereja tempat kami menikah dan membangun keluarga, membina karier, membesarkan anak-anak, dan memegang jabatan-jabatan kepemimpinan di usia 30-40-an. Hidup kami berputar di sekitar gereja. Kami membaca dan mempelajari Alkitab, mendengarkan khotbah yang ramah terhadap orang-orang yang belum percaya dari minggu ke minggu, melakukan perjalanan misi, mengajar Sekolah Minggu dan Sekolah Injil Liburan, memberikan perpuluhan, mendukung acara-acara penggalangan dana besar, dan melayani dalam kepanitiaan-kepanitiaan yang tak terhitung banyaknya.
Sampai akhirnya kami juga menghilang.
Beberapa penelitian tampaknya menunjukkan bahwa para baby boomersedang “kembali” ke gereja, tetapi tidak demikian dengan sebagian besar baby boomeryang saya kenaI. Kami sedang bertanya-tanya mengapa tempat pertumbuhan yang dulu pernah menambatkan kami sekarang tampaknya menganggap kontribusi-kontribusi kami tidak penting dan kebutuhan-kebutuhan kami tidak relevan. Dan kami menghadapi kenyataan bahwa kami juga memiliki andil dalam menciptakan keadaan yang kami keluhkan ini.
Kami “sarang-sarang kosong” Injili telah ikut melahirkan – secara kiasan maupun sebenarnya – generasi pengunjung gereja bermental-konsumen yang memiliki ekspektasi-ekspektasi tinggi dalam hal relevansi, kurang toleransi terhadap hal-hal rutin, dan standar-standar yang melambung dalam mewujudkan kesempurnaan. Kami sudah memberi banyak kepada jemaat kami, itu benar. Tetapi kami juga sudah meminta banyak dari mereka sebagai balasannya. Kehausan jiwa muda kami akan banyaknya aktivitas-aktivitas yang diprogramkan, persahabatan-persahabatan sebaya, dan kesempatan-kesempatan untuk memimpinmembuat kami semakin kokoh dalam arus utama gereja yang berpola pikir berkembang. Tetapi sekarang kami tidak lagi berada dalam masa membangun kerajaan. Jika dulu kami mengutamakan khotbah yang sangat aplikatif dan mudah dilaksanakan, sekarang kami lebih menikmati pengalaman yang otentik daripada kegiatan yang hingar-bingar, dan lebih menghargai kesempatan-kesempatan yang mendalam untuk pemuridan. Kami sudah menua. Kami agak “terhilang.”
Dan ternyata ada banyak yang seperti kami dari yang mungkin Anda sadari.
Andrew dan Stephanie (bukan nama sebenarnya) menikah di gereja yang mempertemukan mereka – gereja tempat mereka membangun keluarga yang bertumbuh dan melayani selama puluhan tahun. Sekarang mereka adalah “sarang kosong” yang berhasil, yang tinggal tidak jauh dari gereja yang sama—tetapi mereka sudah jarang datang ke gereja itu. Keyakinan mereka tidak goyah, tetapi relasi mereka dengan gereja itu sudah berubah.
Meskipun mereka pernah membuat dan mendukung program-program yang dinikmati jemaat lain di gereja itu, mereka sekarang hanya muncul di kelas Sekolah Minggu, bertemu beberapa teman lama, dan meninggalkan ibadah di gereja sama sekali. Mereka berkata, masalahnya bukanlah begitu banyaknya perubahan atau kurang perubahan; tetapi bagi mereka gereja sekarang lebih terasa sebagai monumen daripada “movement” (gerakan)sebagaimana yang pernah mereka pikirkan.
“Pada beberapa hari Minggu,” kata Andrew, “kami hanya mengundang tiga atau empat pasutri untuk berkumpul dan menonton tayangan pelayanan ibadah dari luar kota bersama kami.” Mereka juga sudah mengunjungi gereja-gereja lain di kota mereka, tetapi merasa tidak ada yang pas. “Kami tahu ini bukanlah rencana jangka panjang yang dapat terus kami jalankan,” kata Stephanie, “tetapi untuk saat ini beginilah yang kami lakukan.”
Mereka ingin menemukan komunitas dan melakukan pelayanan, tetapi hari-hari ini gereja mereka sedang berada di sekeliling kegiatan-kegiatan semacam itu, bukan di pusatnya. “Saya sekarang bergabung di kelompok Pemahaman Alkitab pada hari kerja yang terdiri dari ibu-ibu seusia saya dari banyak gereja yang berbeda,” kata Stephanie. “Kami sudah bersama-sama selama beberapa tahun sekarang ini. Dan saya memimpin kelompok kecil untuk wanita-wanita muda seusia putri saya, dengan memakai materi dari Jen Wilkin dan pengajar-pengajar lain. Kelompok pemudi ini sekarang menjadi fokus utama pelayanan saya.”
Andrew ikut dalam kelompok Pemahaman Alkitab yang dulu ia mulai di kantornya, tetapi merindukan relasi-relasi yang pernah ia alami selama puluhan tahun bersama orang-orang di gereja itu. “Generasi kami tampaknya bergereja sesuai menu,” ia mengaku, “tetapi kami tidak meninggalkan gereja sama sekali.”
Patrice adalah wanita tidak menikah yang merawat kedua orangtuanya yang lanjut usia sampai mereka masing-masing meninggal beberapa tahun lalu. Sebagai pensiunan eksekutif perusahaan yang masih diminta bekerja paruh waktu, ia pernah terlalu aktif di satu gereja sejak usianya 20-an. Ia masih tercatat sebagai anggota gereja itu tetapi mengaku tidak banyak dari teman-teman lamanya yang masih setia mengunjungi gereja itu, begitu pula dirinya.
Karena ibadah gereja disiarkan secara langsung, tahun ini ia mulai beribadah sendiri di rumah – sekalipun tempat tinggalnya tidak jauh dari gereja. “Gereja itu membuat sangat mudah untuk tinggal di rumah saja,” katanya. “Saya tahu maksud mereka sebenarnya bukan begitu, tetapi di dunia seperti sekarang ini, segalanya memang berlangsung seperti itu. Ada banyak seminar daring untuk belajar. Anda dapat mengikuti perkuliahan atau kursus-kursus secara online. Bahkan di gereja, ada banyak pilihan akses, dan kita mendapatkan banyak manfaat dari semua itu.”
Seperti Andrew dan Stephanie, Patrice tidak melepaskan imannya atau kesempatan beribadah tertentu dari gerejanya. Tetapi yang “pas” tidak lagi seperti yang pernah ia rasakan sebelumnya.
“Saya masih melayani bersama kelompok-kelompok misi dan fokus melayani dengan cara tertentu,” katanya. “Saya hanya tidak hadir secara pribadi. Saya membaca Alkitab dan melakukan saat teduh pribadi. Tidak datang ke gereja tidak mengubah fokus saya untuk mengasihi dan melayani Tuhan dengan cara terbaik yang saya ketahui.”
Meskipun Patrice tidak memutus sama sekali ikatannya dengan jemaat, ia tampaknya menyesali pemisahan kelompok dewasa lajang dari kelompok pasutri yang pernah ia rasa cocok dengan gaya hidupnya. “Yang akan saya sukai sekarang adalah,” katanya, “adanya kelompok yang tidak mempermasalahkan apakah Anda menikah atau tidak. Jika Anda tidak menikah, dan Anda makin menua, ‘kelompok lajang’ di gereja tidak selalu terasa sebagai tempat yang paling aman.”
Saya sendiri, 15 tahun yang lalu saya meninggalkan gereja tempat saya bertemu Andrew, Stephanie, dan Patrice. Gereja yang saya kunjungi setahun kemudian berbeda dengan gereja sebelumnya itu. Gereja ini kecil – anggotanya tidak lebih dari 300 orang – dan meliputi ras, tingkat ekonomi dan budaya yang sangat berbeda-beda. Tidak semua orang melihat atau berpikir seperti saya – sebuah fakta yang saya terima, dan begitu pula dengan banyak orang lainnya yang bergabung menjadi anggota gereja itu.
Di sana saya bertemu dengan Mac dan Reneeyang, seperti saya juga, tertarik bergabung di gereja ini terutama karena keberagamannya, ibadahkombinasinya dan pengajaran Alkitabnya. Kami sudah mengalami masa-masa berada di gereja Baptis yang “monokromatik” —mereka orang kulit hitam dan saya orang kulit putih – di mana kami jarang bertemu dengan orang-orang dari latar belakang suku atau sosial ekonomi yang berbeda.
Mac adalah penatua di gereja kami. Renee, seorang guru sekolah, terlibat dalam pelayanan anak dan kaum wanita. Bersama orang-orang lainnya yang sebaya dengan kami, kami mengambil bagian dalam kelompok-kelompok kecil dan mendampingi orang-orang percaya baru secara formal. Saya mengajar kelas Pemahaman Alkitab Minggu pagi selama beberapa tahun sampai jam belajar itu berubah menjadi sekolah “pemerlengkapan dan pengutusan” dengan kelas-kelas tentang menjadi orangtua, mengatur keuangan, hidup bertetangga, dan keterampilan-keterampilan praktis lainnya. Gereja makin lama makin muda, dan karena pasangan-pasangan seusia saya mulai pada melarikan diri, saya merasa diri saya seperti golongan menengah ke atas yang kokoh,pusat multi-budaya bagi aktivisme sosial, dengan Injil yang dipadankan yang hampir-hampir tidak saya kenali. Saya akan meninggalkan gereja yang berusaha memenuhi semua kebutuhan satu kelompok sampai menjadi terfokus hanya pada beberapa orang saja.
Kami sedang melakukan hal-hal yang baik, tetapi hal-hal yang semua instansi nirlaba kecil juga dapat melakukannya dengan baik. Saya merasa seperti dinosaurus. Ketika saya harus meminta izin untuk mengajar kelas Sekolah Minggu dengan memakai Alkitab sebagai acuan, dan bukan tentang bagaimana membuat tulisan di blog, saya tahu bahwa waktu saya sudah habis.
Mac dan Renee pergi sebelum saya dan kembali bergabung dengan gereja yang sebagian besar anggotanya berkulit hitam. “Gereja itu bukan gereja idaman saya,” kata Renee, “atau Mac.” Gereja itu lebih besar jumlah pengunjungnya, kata mereka, dan lebih banyak orang yang seusia dengan mereka – tetapi lebih sedikit anggota yang terlibat secara mendalam.
“Tidak ada gereja yang sempurna,” Mac berkata. Dan tentu saja ia benar. Ketika masih lebih muda, kita mungkin lebih bisa mengabaikan hal-hal yang terasa kurang pas di gereja, karena sebagian besar kebutuhan kita sudah terpenuhi.
Saya yakin kebanyakan generasi saya yang pernah setia pergi ke gereja masih bersedia memberikan waktu, tenaga dan dana untuk kerajaan. Tetapi kami masih menahan hati kami untuk melihat arah perhatian gereja. Kami pernah sangat berkobar-kobar ketika api semangat kami dinyalakan, dan kami tidak tahu bagaimana kami bisa bergairah seperti itu lagi. Jika kami dipaksa untuk tetap terlibat dalam jemaat – sekalipun itu berarti merasa sangat tidak pas—atau pergi mencari tempat ibadah dan pelayanan yang baru, kebanyakan dari kami akan memilih untuk tidak memilih sama sekali. Kami sudah akan puas hanya dengan pengalaman “tambal sulam”yang kami rasa tidak cukup.
“Satu dasar gereja adalah Yesus Kristus, Tuhannya,” bunyi syair lagu rohani lama. “Gereja adalah ciptaan baru-Nya yang oleh Air dan Firman: dari surga Dia datang dan mencari mempelai-Nya yang kudus; dengan darah-Nya Dia menebus dan mati baginya.”
Jika kita milik Yesus, dapatkah kita menghindari komitmen kepada gereja-Nya dan betul-betul merasa puas?
Beberapa tahun lalu, seorang teman marinir kapal dagang, yang mendengar kekecewaan saya tentang episode ‘sekarang dilupakan’ dalam politik gereja tertentu, berkata pada saya dengan telapak tangan terangkat, “Saudaraku, mabuk atau sadar.” Saya langsung mengerti. Ikatan keluarga dimaksudkan untuk menanggung segala penghinaan atau ketidakadilan dengan kasih karunia yang mantap dan sabar. Seperti Yesus yang menanggung kita sebagai saudara-saudara-Nya di hadapan Bapa yang sepenuhnya benar.
Kita dapat merindukan saat-saat dan hal-hal yang lebih sederhana dan mudah, atau, terluka dan terlalu menjaga hati kita sendiri dan hati orang-orang lain yang lemah; kita juga dapat mengambil risiko untuk terlibat kembali di gereja. Bukan dengan perasaan yang diharapkan akan terasa baik —melainkan dengan perasaan yang mantap untuk mengabdi dengan tekun. Bukan karena apa yang dapat gereja berikan untuk kita, tetapi untuk apa yang masih dapat kita lakukan untuk gereja – dengan kasih karunia Tuhan.
Kita dapat memilih untuk mengasihi siapa yang ada di sana, bukan menangisi yang tidak ada.
Kita dapat membuka diri untuk relasi-relasi baru, sekalipun kita lebih menyukai kenyamanan dalam relasi yang sudah akrab dengan kita.
Kita dapat menantang pendapat yang mengatakan “para senior” tidak melakukan pelayanan yang relevan – dandapat menolak untuk disisihkan ataudimanjakan.
Kita dapat memakai tahun-tahun pengalaman hidup kita yang berharga untuk mencipta, berinovasi, mendukung, dan menguatkan orang lain.
Kita dapat berdoa dengan merasakan kegentingan (sense of urgency) dan juga penuh iman. Kita sudah menyaksikan apa yang dapat dilakukan Tuhan.
Seperti halnya saya, setelah sembilan bulan mencari-cari, saya memulai kelompok “anggota baru” yang ketiga dalam kehidupan dewasa saya. Di usia 60 tahun, saya menjadi orang asing lagi di gereja, tetapi saya akan berada di dalam gereja. Bukan karena “rasa pas”nya sudah sempurna atau saya sudah berubah, tetapi karena Yesus mengasihi mempelai-Nya dan begitu pula saya.
(Ps. Semua nama-nama dalam artikel ini sudah diganti untuk alasan kerahasiaan).