Ditinggikan

(Joshua Ryan Butler)

Jika kita ingin Tuhan meninggikan kita, kita harus merendahkan diri dulu.

Inilah satu hal yang termasuk “aneh tapi nyata”: “Rendah hati” dan “tertindas” adalah kata yang sama di dalam Alkitab. Kita biasanya tidak berpikir kedua konsep ini memiliki keterkaitan satu sama lain. Tetapi, pada waktu bangsa Israel “diperbudak dan dianiaya empat ratus tahun lamanya” di Mesir, kata yang sama ini digunakan saat Israel dipanggil untuk “merendahkan diri” di hadapan Tuhan (Kejadian 15:13; Imamat 15:29). Bagaimana kedua konsep ini berkaitan? Orang yang rendah hati mengutamakan orang lain, seperti Yesus yang bertindak sangat jauh dengan menyerahkan nyawa-Nya untuk kita. Orang yang tertindas itu menderita, diperlakukan tidak adil, dan dianiaya. Sekilas, kedua orang ini tampaknya tidak memiliki persamaan, karena itu, mari kita gali lebih dalam untuk menemukan keterkaitannya.

Dikembalikan ke tempatnya

Kata Ibrani untuk “merendahkan diri” adalah anah, yang pada dasarnya berarti “membungkuk.” Jadi kata ini mencakup gambaran tentang orang yang menundukkan kepala, seperti orang yang menunduk di hadapan seorang raja. Ketika kita merendahkan diri di hadapan Tuhan, kita sedang mengarahkan diri pada otoritas dan kebaikan-Nya, menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada-Nya.

Namun, jika Anda meninggikan diri dengan kesombongan, sikap itu ibarat menolak membungkuk di hadapan raja. Sebagai contoh, ketika Firaun berdiri dengan sikap arogan di hadapan Tuhan, dan menyusahkan umat-Nya, Tuhan berkata. “Berapa lama lagi engkau menolak untuk merendahkan dirimu di hadapan-Ku? Biarkanlah umat-Ku pergi” (Keluaran 10:3).

Firaun terus meninggikan dirinya, sehingga Tuhan memberinya pelajaran untuk merendahkan diri.

“Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan,” Yesus berkata, “dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Matius 23:12). Yesus tidak menemukan ide ini begitu saja; gagasan ini merupakan tema penting di sepanjang Alkitab. Kesombongan dan kerendahan hati sering dipertentangkan satu sama lain. Renungkanlah contoh-contoh dari kitab Amsal ini:

“Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati, menerima pujian” (Amsal 29:23).

“Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati” (Amsal 11:2).

“Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan” (Amsal 18:12).

Hal-hal seperti ini tidak hanya terjadi sesekali atau secara kebetulan. Ini seperti permainan “whack-a-mole“ (memukul tikus) di gang-gang beratap, di mana Anda menanti seekor tikus memunculkan kepalanya di sebuah lubang dan kemudian Anda memukulnya keras-keras. Tuhan menjelajahi negeri untuk mencari orang-orang sombong, dan ketika kita menjadi “terlalu besar kepala”– seperti Firaun – Tuhan akan mengembalikan kita ke tempat kita.

Meskipun Tuhan ditinggikan di tempat tinggi, pemazmur bersukacita karena Dia “melihat orang yang hina, dan mengenal orang yang sombong dari jauh” (Mazmur 138:6). Orang sombong mungkin memiliki masa kejayaannya sekarang—pada zaman ketika orang fasik seringkali makmur, sementara orang benar malah menderita—dan Tuhan mungkin bersabar dengan ketidaksopanan mereka untuk sementara waktu. Tetapi Dia melihat semuanya, dan pada akhirnya Dia akan menunjukkan keadilan-Nya untuk memperbaiki keadaan.

Menimbun lembah-lembah, meratakan gunung-gunung

Nabi Yesaya melihat penimbunan lembah-lembah (tempat-tempat yang rendah) dan perataan gunung-gunung (tempat-tempat yang tinggi) sebagai gambaran tentang persiapan akan kedatangan Tuhan: “Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita! Setiap lembah harus ditutup, dan setiap gunung dan bukit diratakan; tanah yang berbukit-bukit harus menjadi tanah yang rata, dan tanah yang berlekuk-lekuk menjadi dataran” (Yesaya 40;3-4). Tuhan menimbun lembah-lembah dan meratakan gunung-gunung, merendahkan orang yang tinggi hati dan meninggikan orang yang rendah hati, ketika Dia datang untuk menegakkan keadilan-Nya di bumi.

Tentu saja, ketika Yesus datang, nubuat ini akan digenapi. Maria menaikkan puji-pujian atas anak  dalam kandungannya, merayakan “perbuatan-perbuatan dahsyat” Tuhan, dan menantikan hal-hal besar yang akan dilakukan-Nya: “Ia … mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar” (Lukas 1:51-53).

Yesus adalah Raja yang rendah hati. Dia menggambarkan diri-Nya “lemah lembut” dan “rendah hati,” pasangan kata yang menegaskan kerendahan hati-Nya. Sebagai Manusia-Tuhan yang “datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 11:29; Matius 20:28), Yesus melakukan yang Dia ajarkan. Juru Selamat dunia “merendahkan diri-Nya,” kata Paulus, dengan ”mengambil rupa seorang hamba” dan “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”

Tetapi kisah itu tidak selesai sampai di situ. Karena Kristus merendahkan diri-Nya, Paulus dapat menulis bagian kedua dari kalimatnya: “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama” (Filipi 2:7-9).

Mengikuti jejak Raja yang rendah hati

Dikatakan dengan bijaksana bahwa “kerendahan hati bukanlah memikirkan tentang kekurangan diri sendiri, tetapi kurang memikirkan tentang diri sendiri.” Tujuan kerendahan hati bukanlah agar kita menganggap rendah diri sendiri atau memiliki rasa rendah diri, melainkan kita memikirkan tentang Tuhan yang tinggi dan kemudian menempatkan diri kita dengan tepat di hadapan-Nya. Amsal 22:4 berkata: “Ganjaran kerendahan hati dan takut akan TUHAN adalah kekayaan, kehormatan dan kehidupan.” Ketika kita menundukkan diri di hadapan Tuhan, menempatkan hidup kita di bawah hikmat dan karakter-Nya, kita rela menderita untuk kebaikan yang lebih besar. Dan ironisnya, hal itu malah meninggikan kita, karena kita dibangun oleh kasih-Nya dan ditentukan oleh kebaikan-Nya.

Apa artinya ini bagi kita? Ketika kita mengikuti jejak Raja kita, Injil secara teratur memanggil kita kepada kelemah-lembutan. “Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat,” Petrus menasihati kita, “supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya” (1 Petrus 5:6). “Kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran,” bunyi surat Kolose, “dan ampunilah seorang akan yang lain … sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu” (Kolose 3:12-14). Kita harus memilih tempat yang rendah, seperti Yesus, karena jika tidak, kita melupakan peringatan Yakobus bahwa “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yakobus 4:6).

Jadi, mari kita kembali ke pertanyaan awal: Bagaimana “kerendahan hati” dan “penindasan” itu berkaitan? Keduanya mencakup gambaran tentang menundukkan diri, meskipun dengan alasan-alasan yang sangat berbeda. Kerendahan hati adalah ketika Anda mengambil tempat yang rendah dengan tujuan. Penindasan adalah ketika seseorang memaksa Anda tunduk tanpa Anda kehendaki. Orang-orang yang tertindas di tangan penguasa yang kejam dapat memiliki harapan, karena Tuhan akan datang untuk menggulingkan orang yang congkak itu. Dan orang-orang yang bersedia memilih tempat yang rendah untuk mengabdi pada Yesus, dan bersedia menanggung kesulitan bagi orang lain juga dapat bersukacita, karena tahu Tuhan akan datang pada waktunya untuk meninggikan kita.