Dua Kata Pembawa Damai

(Patricia Raybon)

Betapa rasa syukur mengubah segala sesuatu

Saat itu waktu makan siang, dan suami saya tidak berdebat dengan saya. Ia tidak menyalakan sumbu pendek dalam pernikahan kami yang panjang. Tidak bertengkar tentang terlalu banyak hal yang sudah kami pertengkarkan selama 44 tahun, yang sebagian besar tidak sepadan dengan energi yang kami keluarkan.            

Sebaliknya, Dan menaikkan doa makan. Bukan dengan cara yang biasa dilakukan – kata-kata yang sama yang digumamkan secepat kilat agar kami dapat segera makan. Tetapi, dengan perlahan-lahan, Dan hanya mengucap syukur kepada Tuhan  – tanpa memegang mangkuk sup, tanpa biskuit yang sudah separuh menuju ke mulutnya. Melainkan, sementara kehangatan uap sup ayam berembus dari mangkuknya, ia terus berdoa. Mengucap syukur pada Tuhan:

Atas kebaikan Tuhan pada kami pada hari yang biasa ini.
Atas petugas reparasi mobil yang baik hati.
Atas operasi kaki saudara saya yang berjalan lancar dan baik.
Atas tetangga yang membersihkan trotoar kami lagi.
Dan, ya, atas makanan ini.

Makanan kami tidak mewah—roti lapis tomat untuk saya, semangkuk sup dan biskuit untuk Dan. Tetapi mewah itu relatif. Bagi sebagian orang, makan siang kami yang tidak mewah bisa jadi seperti pesta. Karena itu, Dan mengambil kesempatan untuk bersyukur pada Tuhan atas makanan yang tersedia ini – dan atas kesempatan untuk menikmatinya.

Duduk bersama di bawah sinar matahari sore sambil mengucap syukur rasanya benar-benar tepat. Kami mengucap syukur atas orang-orang yang menanam tomat, membungkus roti, memasukkan sup ke kotak kemasan, dan mengendarai truk ke toko-toko bahan makanan sehingga kami dapat memiliki makanan di rumah kami dan diberkati.

Lalu, ketika kami makan, sesuatu yang penting terjadi – hal yang tidak selalu terjadi: kami berdamai dengan satu sama lain, tidak berdebat. Dan hubungan antara mengucap syukur dan berdamai ini bukanlah suatu kebetulan, kata orang yang mempelajari tentang memelihara perdamaian. Tampaknya, merasa beryukur dan mengungkapkannyaberkaitan erat dengan menciptakan damai dan menghidupinya.

Rasul Paulus pernah menulis surat kepada jemaat Kolose: “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah” (Kolose 3:15).

Dan bersyukurlah?

Dari mana datangnyafrasa tambahan itu? Sepertinya tambahan yang kurang tepat.Jadilah orang-orang yang damai, karena engkau memang dipanggil untuk itu—dan oh, lalu, bersyukurlah?

Ketika menghubungkannya, saya tak dapat tidak berpikir tentang hubungan yang aneh ini. Tampaknya sangat acak, sangat tidak cocok. Namun, kita menemukan hal itu lagi di Filipi 4:6-7: “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Tuhan dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Tuhan, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”

Lalu ada juga kitab Imamat, yang memberi perintah tentang persembahan korban perdamaian  “dengan ucapan syukur” (Imamat 7:11-15). Kebetulan? Tidak, kata para pakar. Sesungguhnya, damai sejahtera dan ungkapan syukur adalah “saudara sepupu” di mata Tuhan, sehingga hubungan keduanya tentu logis, tetapi juga ilahi.

Karena itu, seorang peneliti dari Australia di Universitas Tasmania berani berpendapat bahwa rasa syukur dapat berkontribusi bagi perdamaian dunia. Dr. Kerry Howells berkata, rasa syukur meneguhkan “rasa keterkaitan kita dengan satu sama lain.” Ia berkata, “hanya dengan mengungkapkan rasa syukur atas nasi yang akan kita makan saja dapat meningkatkan kesadaran kita akan orang-orang yang menanam padi di India dan orang-orang yang menuainya, mengangkutnya dan menjualnya. Ribuan orang bisa menerima ucapan terima kasih kita yang berkembang dengan cara ini.”

Kembali ke keluarga saya yang sederhana.

Di rumah kami, Dan dan saya baru memahami rasa syukur semacam ini belum lama, ketika kami mendapat masalah kesehatan. Kanker menyerang. Bersyukur, pemeriksaan penyakit Dan diperkirakan masih memiliki harapan untuk sembuh, tetapi pengobatannya lama dan sulit. “Tidak menyenangkan,” kata Dan menggambarkan keadaan itu.

Namun setelah menjalani berkali-kali pergi ke dokter dan ke rumah sakit selama dua tahun yang sulit ini, Dan mulai bersyukur pada Tuhan bahkan atas hal-hal kecil. Orang asing yang memegangi pintu elevator untuknya. Tawa seorang anak kecil. Tetangga yang membersihkan trotoar rumah kami. Sapaan seorang sahabat. Hal-hal yang biasa, tetapi mengungkapkan rasa syukur atas hal-hal itu meneduhkan hati Dan.

Sebagai istrinya, saya melihat dan merasakan perubahan ini. Dan terkena kanker, tetapi ia menjadi lebih tenang, penuh damai. Ia berjuang melawan musuh tetapi membiarkan Tuhan yang berperang. Jadi, Dan tampaknya mengucap syukur setiap saat.

Dan hasilnya? Damai yang diberkati—di dalam dirinya, dalam relasi kami, dan relasi dengan orang-orang lain. Dulu ia seorang yang terkadang-galak, sekarang ia memilih damai sejahtera Tuhan. Seperti kata D. L. Moody, Tuhan tidak menyuruh kita “menghasilkan” damai sejahtera; “yang harus kita lakukan hanyalah memasuki damai sejahtera itu.”

Ya, kita masuk ke dalam Yesus, yang dengan murah hati telah memberikan “damai-Nya yang tidak seperti yang diberikan dunia ini” (Yohanes 14:27). Jadi, ketika kita melihat kebaikan-Nya dalam diri orang-orang lain dan bersyukur pada-Nya, hasil yang manis yang tak dapat dipercaya adalah damai sejahtera-Nya.

Saya merenungkan hal ini ketika saya membaca penelitian-penelitian tentang ucapan syukur, yang salah satunya adalah ketika para pakar di California meminta tiga kelompok untuk membuat jurnal—kelompok yang satu menunjukkan rasa syukur mereka atas segala sesuatu, kelompok kedua menunjukkan ketidaksukaan mereka, dan kelompok ketiga menunjukkan hal-hal yang netral. Setelah 10 minggu, para anggota kelompok yang bersyukur merasa lebih baik daripada anggota kelompok-kelompok lainnya, dan memberikan lebih banyak dukungan emosional kepada orang-orang di sekitarnya – tentunya, menunjukkan lebih banyak damai sejahtera – dibandingkan kelompok-kelompok lainnya.

Hasil-hasil penelitian itu mengingatkan saya pada tulisan Daud di Mazmur 23 – sebuah nyanyian syukur yang bersemangat, atau “jurnal ungkapan syukur” Daud sendiri. Bagi umat Tuhan, kata-kata syukur Daud tetap menjadi sumber kedamaian mendalam yang menenteramkan. Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku. Kata-kata itu adalah ungkapan rasa syukur, tetapi kata-kata itu juga memancarkan kedamaian dan kenyamanan yang penuh harapan bagi kita sebagai pembacanya.

Pada saat-saat seperti sekarang ini, ketika banyak orang cenderung berteriak kepada satu sama lain, saling mencengkeram lengan satu sama lain – siap berkeIahi dan membenci sesama dan bahkan diri sendiri – Tuhan sendirilah yang menunjukkan jalan untuk berbalik dari perselisihan kita:

Ucapkanlah, “Syukur dan terima kasih.”

Katakanlah pada-Nya, Terima kasih—bahkan untuk hal-hal kecil. Untuk tetangga yang membantu membersihkan rumah. Untuk anak yang tertawa. Untuk pasangan yang mengasihi.

Kemudian perhatikanlah ketika Dia mengubah Anda menjadi pembawa damai, memancarkan kasih-Nya kepada dunia.