Hal “Remeh” Yang Menyelamatkan Hidup Saya

(Kimberly Coyle)

Terkadang sedikit kesenangan adalah hal yang benar-benar kita butuhkan—terutama ketika hidup menjadi sulit.

Teman saya Gillian adalah tipe wanita yang, jika Anda berkata Anda punya rok tile merah muda berenda yang hanya tersimpan di lemari, ia akan menciptakan kesempatan agar Anda dapat memakainya. Ia tipe wanita yang akan menata seperangkat cangkir teh porselen antik, membuat kue dari resep ibunya, dan mengumpulkan karya seni indah dari ruang-ruang lain di rumahnya, hanya supaya Anda dapat duduk di dapurnya dengan mengenakan mantel rajut tebal dan rok tile merah muda itu, sambil menyeruput teh dan mengagumi karya seni itu. Ia adalah tipe wanita yang memakai kupu-kupu yang dijahit di atas tile gading, yang kepadanya Anda bisa menceritakan suatu rahasia dan Anda tahu bahwa ia akan menyimpan rahasia itu di lipatan roknya dan akan tetap berada di sana bersama kupu-kupu yang mungkin akan mengembangkan sayapnya untuk menjaganya dengan aman.

Selama hampir empat tahun, Gillian dan saya menikmati kencan “Teh dan Tile” secara teratur, tradisi yang dimulai di beranda belakang rumahnya pada musim dingin tahun 2020. Saat itu pandemi baru saja mulai, dan kami mengenakan jaket tebal di luar pakaian bagus kami sembari minum teh di bawah lampu penghangat. Pada saat itu, tindakan itu hanyalah suatu upaya untuk menemukan secercah kegembiraan di tengah musim yang sangat membingungkan. Kami sama-sama membutuhkan kebersamaan dan sesuatu yang menyenangkan untuk dinantikan pada masa yang terasa mengguncangkan semua orang itu. Kami membutuhkan sukacita, perayaan dan keindahan dalam hidup kami untuk mengimbangi kesulitan- kesulitan —Gillian membutuhkannya karena ia seorang ekstrovert, ceria dan suka bersosialisasi, dan saya membutuhkannya karena, ehm, saya tidak seperti itu.

Pada saat itu, tidak ada dari kami yang tahu bahwa tahun 2020 hanyalah latihan awal dari yang akan menjadi tiga tahun terberat dalam hidup kami berdua. Setahun setelah kami mulai mengadakan pertemuan secara teratur, saya menjadi sedemikian cemas dengan kehidupan sehari-hari sampai-sampai perjalanan rutin menjemput putri saya dari sekolah saja memicu kepanikan. Perjalanan melintasi kota menuju rumah Giilian cukup singkat, aman dan familiar sehingga saya bisa melakukannya tanpa perlu latihan menahan napas dalam-dalam untuk sampai ke sana.

Lalu, suami dari ipar saya, Eric, didiagnosis terkena kanker otak stadium akhir di usia 46 tahun. Keluarga kami mulai berperan sebagai pemberi dukungan, dan kami menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk menyiapkan makanan, melakukan perjalanan ke rumah mereka di wilayah lain, dan mendampingi anak-anak mereka ketika Eric menjalani perawatan. Pada saat yang sama, saya mulai menjalani terapi trauma intensif untuk kecemasan saya, dan saya jadi membatasi hari-hari saya hanya untuk hal-hal yang pokok saja ketika kami berusaha menangani berbagai krisis yang saling tumpang tindih sebagai keluarga. Saya berjalan terseok-seok ke acara Natal kami tahun itu, lelah dan hanya memakai jins daripada pakaian yang biasanya saya kenakan. Kami duduk di beranda belakang rumah Gillian, dan saya tidak yakin apakah saya masih bisa mengalami sukacita setelah begitu banyaknya keputusasaan. Saya datang tidak membawa apa-apa, tetapi itu tidak masalah. Gillian menyajikan sepiring makanan untuk saya: pai isi daging, krim kocok buatan sendiri dan kue wortel. Ia juga menuangkan teh hitam kental dari poci perak dan menambahkan sedikit susu. Kami bersulang untuk kelangsungan hidup Eric dan juga saya. Ia menguatkan saya lahir batin dengan kebersamaannya pada hari itu, dan saya tahu saya tidak harus menanggung penderitaan sendirian dalam keheningan. Sahabat saya akan menggenggamkan harapan untuk saya ketika tangan saya sendiri terlalu lemah untuk menggenggam.

Ketika salah satu dari kami terempas oleh diagnosis tak terduga, krisis, atau keadaan darurat keluarga, yang lain akan berlutut dan berdoa dalam solidaritas. Kami telah melalui masa-masa “neraka” bersama sambil mengenakan sepatu beludru bertumit tinggi, dengan cangkir teh di tangan yang satu dan kue pastri di tangan yang lain. Kami melayani sebagai saksi yang berbelas kasih terhadap apa pun yang terjadi dalam kehidupan satu sama lain—yang baik, yang bodoh, yang tragis, yang lucu, yang sedih… Ketika kami menata meja untuk berpesta dengan airmata dan kudapan Prancis sederhana dari toko roti setempat, kami juga memberi ruang untuk sukacita ikut duduk bersama.

Kedengarannya remeh saat saya menceritakannya kepada orang lain, tetapi saya belum pernah bertemu seseorang yang akan sangat (atau kadang dengan malu-malu) tidak setuju bahwa ia juga ingin sekali memiliki kebiasaan serupa dengan anggota keluarga atau sahabat. Saya ingin berkata kepada setiap mereka bahwa keinginan ini tidak memalukan; mereka juga bisa memilih sukacita dalam bentuk apa pun yang dibayangkan imajinasi mereka. Mereka membutuhkannya, bahkan, karena hal itu bisa saja menyelamatkan mereka.

  1. S. Lewis, yang tidak asing dengan masa-masa berat dan kesedihan mendalam, setuju bahwa jenis keremehan dan kegembiraan ini justru merupakan hal yang sangat penting. Lewis menulis dalam bukunya yang berjudul Letters to Malcolm, “Tarian dan permainan adalah hal yang remeh, tidak penting di sini, karena “di sini” bukanlah tempatnya yang alami. Di sini, hal-hal itu hanya peristirahatan sejenak dari kehidupan yang harus kita jalani. Tetapi di dunia ini segala sesuatu memang terbalik. Hal yang, jika diperpanjang di sini, bisa dianggap sebagai kelalaian, justru merupakan hal yang paling mendekati tujuan akhir di negeri yang lebih baik. Sukacita adalah hal yang sangat penting di surga.”

Gillian dan saya menjadwalkan waktu kebersamaan kami secara teratur agar selalu ada yang dinantikan dari kalender kami, hal yang membuat kami berdua mengejar sukacita dengan sungguh-sungguh ketika hidup menjadi sulit. Sebagaimana ditulis penyair Mary Oliver, “Sukacita tidak diciptakan untuk menjadi remah-remah.” Dan saya sangat setuju sekali. Kita tidak dimaksudkan untuk bertahan hidup dengan hal-hal yang tak berharga. Jika ada sesuatu yang bisa mendatangkan sukacita sekecil apa pun, saya percaya kita harus berlari kepadanya – menyukainya, mengembangkannya, mengundangnya, mempraktikkannya, mengulanginya sampai sukacita itu menjadi perjamuan yang menguatkan kita sampai ke sumsum tulang-tulang kita.

Melihat ke belakang, saya sangat bersyukur karena Gillian dan saya mempraktikkan sukacita selama masa jeda besar akibat pandemi. Ketika berbagai tantangan tahun-tahun berikutnya datang, kami sudah memiliki kebiasaan merayakan – sekalipun yang bisa kami rayakan hanyalah fakta bahwa kami bisa bertahan dari kelokan alur cerita hidup terbaru. Meskipun terdengar tidak praktis, bahkan lucu bagi sebagian orang, ketika Gillian membuka pintu dengan gaun pesta panjang ungu yang menyentuh lantai dan saya membuka mantel saya untuk memperlihatkan taburan payet, semua itu bukan main-main. Setiap denting cangkir teh kami adalah cara dan usaha kami untuk menghalau kegelapan, kesedihan dan duka lara.

Ketika saya melihat foto-foto kebersamaan kami di masa lalu, saya melihat dua wanita yang telah menghadapi penderitaan mendalam dan entah bagaimana, ajaibnya, telah mengubahnya menjadi persahabatan yang penuh sukacita dan perayaan. Saya sangat bangga pada kami. Kami belum selesai dengan cerita-cerita sulit kami, tetapi kami masih akan tetap di sini, merayakan sukacita meski segalanya tidak mudah.