Hendaklah Kamu Beristirahat

(Charity Singleton Craig)

Hari Sabat adalah anugerah—yang mengingatkan kita bahwa keselamatan itu dari Tuhan.

Saya merasakan napas hangat, kemudian lidah basah yang menjilati muka saya. Ini adalah caraTilly membangunkan saya. Saya bangkit dari tempat tidur, merayap ke ruang bawah tanah, lalu menuangkan secangkir makanan anjing ke mangkoknya. Kembali ke lantai atas, saya menelan vitamin-vitamin saya dan mulai menyeduh secangkir kopi. Saya lalu teringat – hari ini hari Minggu.

Meskipun keluarga saya tidak menjalankan Sabat yang ketat, kami berusaha beristirahat pada hari Minggu. Inilah inti Sabat, dari kata Ibrani shabbath, yang berarti “berhenti, menepi, beristirahat.” Pada mulanya, Sabat dicontohkan oleh Tuhan sendiri setelah enam hari Dia melakukan pekerjaan penciptaan. Kemudian, Sabat ditetapkan bagi bangsa Israel sebagai satu hari yang dipisahkan dari pekerjaan hidup rutin, realitas kudus yang Tuhan mau “diingat” dan “dipelihara” oleh bangsa Israel. Ketika menyampaikan tentang Sabat kepada Musa di gunung Sinai (Keluaran 20:8-11), Tuhan menjelaskan bahwa berhenti bekerja satu hari setiap minggu adalah bagian yang penting dari menyandang gambar-Nya dalam melakukan pekerjaan.

Tetapi, hari-hari Minggu saya terlalu sering berlangsung sedikit berbeda. Setelah memberi makan Tilly dan menelan vitamin-vitamin saya, saya tergoda untuk kembali ke tempat tidur. Tetapi saya lalu teringat pada pesanan belanjaan yang harus diambil pukul delapan, sementara saat itu sudah pukul enam. Saya lalu mengambil Alkitab saya beserta kopi dan menuju sofa untuk menjalani ritual pagi saya, sambil memikirkan pakaian kotor yang perlu disisihkan dan surat-surat elektronik yang perlu diperiksa. Kemudian, setelah pulang dari gereja, ketika suami dan anak-anak saya bersantai di kamar masing-masing atau tidur siang di sofa, saya menghabiskan sore itu dengan “jumpalitan” dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya.

Demikianlah ketegangan yang saya alami sepanjang hidup yang bersibuk-sibuk: Apakah saya manusia yang melakukan sesuatu untuk berharga (human doing) ataukah manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang berharga (human being)? Seringkali, semakin banyak yang saya lakukan, semakin baik segala sesuatu berlangsung – bagi saya maupun orang-orang yang saya kasihi. Doing (melakukan sesuatu) adalah cara saya menempatkan diri di dunia ini, dalam keluarga saya, dan dalam relasi saya dengan Tuhan. Seolah-olah semboyan hidup saya adalah Yakobus 2:18 – “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.” Dengan kata lain, saya melakukan sesuatu, dan karena itu saya ada/berharga.

Jika saya tidak melakukan sesuatu, maka saya tidak ada/berharga. Itulah satu-satunya kesimpulan logis dari kehidupan atau iman yang dibangun di atas perbuatan. Kecuali saya tidak memercayainya. Saya tidak percaya bahwa anak-anak yang tidak dapat melakukan apa-apa sendiri itu tidak berharga. Saya tidak percaya bahwa orang-orang yang mengalami cacat atau sudah lanjut usia nilainya lebih rendah karena mereka tidak dapat melakukan banyak hal seperti sebelumnya. Saya juga tidak percaya bahwa mengambil cuti sehari untuk beristirahat membuat saya kurang berharga sebagai seseorang. Namun, jika saya tidak percaya bahwa tidak melakukan sesuatu membuat saya kurang berharga, lalu mengapa saya hidup seakan-akan melakukan sesuatu itu membuat saya lebih berharga, terutama dalam kehidupan iman?

Inilah sisi lain dari Sabat: Sabat bukan sekadar realitas tentang Kerajaan yang akan datang. Di dalam Ibrani 4, penulis mengingatkan bahwa di Perjanjian Lama, Sabat adalah bayang-bayang dari hal-hal yang akan datang. Ia menyebut tentang Yosua, yang memperjuangkan tempat perhentian Tuhan di Tanah Perjanjian, dan Daud, yang berabad-abad kemudian masih merindukan tempat perhentian Tuhan dalam kerajaan-Nya yang akan datang. Tetapi, mereka sama-sama tidak/belum mengalami Sabat Tuhan yang sesungguhnya, “Sebab, andaikata Yosua telah membawa mereka masuk ke tempat perhentian, pasti Allah tidak akan berkata-kata lagi tentang suatu hari lain” (Ibrani 4:8).

Tetapi pada zaman setelah Yesus datang, hari perhentian Tuhan itu sudah tersedia bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Apa yang dialami Israel seminggu sekali – berhenti dari segala pekerjaan mereka dan hanya menjadi umat Tuhan—sudah dipenuhi Yesus sekali untuk selama-lamanya ketika Dia mati di kayu salib. Di dalam Kristus, “kita yang percaya akan masuk ke tempat perhentian,” berhenti dari pekerjaan berusaha mendapatkan keselamatan yang Dia berikan secara cuma-cuma (Ibrani 4:3). Memelihara hari Sabat lalu menjadi bukan sekadar beristirahat mingguan dari pekerjaan hidup kita secara fisik, tetapi juga pengingat mingguan tentang “hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah” ketika “barangsiapa yang masuk ke tempat perhentian-Nya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari pekerjaan-Nya” (Ibrani 4:9-10).

Undangan untuk beristirahat dalam Kristus masih terus terbuka, dan selalu masih tersedia tawaran untuk berhenti mencari jalan kita sendiri untuk sampai kepada Tuhan, dengan kemendesakan yang dijelaskan kitab Ibrani dengan kata Hari ini: “Jadi sudah jelas, bahwa ada sejumlah orang akan masuk ke tempat perhentian itu, sedangkan mereka yang kepadanya lebih dahulu diberitakan kabar kesukaan itu, tidak masuk karena ketidaktaatan mereka. Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu ‘hari ini’.” (Ibrani 4:6-7). Kita tidak sedang menunggu lagi, seperti Yosua, untuk dipimpin Tuhan masuk ke hadirat-Nya, atau seperti Daud, yang menantikan kedatangan kerajaan-Nya. Yesus sudah bersama kita. Kerajaan-Nya sudah datang. Dan hari ini adalah hari perhentian bagi orang percaya itu.

Tetapi bagaimana dengan minggu-minggu ketika hari Minggu terasa seperti hari yang lain saja, ketika pekerjaan itu sendiri terasa sangat mendesak untuk memelihara hari Sabat? Bahkan Yesus sendiri dikatakan membuat gusar orang-orang Farisi karena “melanggar” hari Sabat. Mereka ingin menuruti perkataan Hukum Taurat tanpa menyerahkan kendali hidup mereka. Tetapi Yesus sebaliknya bersedia mengorbankan peraturan legalistik buatan manusia itu agar dapat tunduk pada maksud Tuhan yang sempurna. Ketika Yesus memetik bulir gandum bersama murid-murid-Nya (Markus 2:23), mengusir roh-roh jahat (Lukas 4:33-34) dan menyembuhkan orang yang sudah tak punya harapan sembuh, Tuhan sedang menunjukkan dengan berbagai cara bahwa “Hari Sabat diadakan untuk manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Markus 2:27). Ini berarti pada hari Minggu yang sibuk, saya masih bisa yakin dengan istirahat rohani yang diberikan Yesus, karena memelihara hari Sabat tidak akan membuat kita lebih dikasihi Tuhan – atau kurang dikasihi-Nya ketika kita gagal memeliharanya.

Meskipun sejujurnya, dalam ritual Sabat mingguan saya, saya melihat diri saya kurang berperan seperti Yesus, yang menjelaskan maksud Hukum Taurat, dan lebih berperan seperti orang-orang yang Dia layani: orang yang mati sebelah tangannya (Matius 12:10), ibu yang sakit demam (Lukas 4:38), atau orang yang buta sejak lahirnya (Yohanes 9:14). Jika nilai seseorang terletak pada perbuatan, orang-orang ini tentu tidak berharga. Mereka tidak dapat bekerja. Mereka tidak dapat mengurus keluarga mereka. Mereka bahkan tidak dapat mengurus diri mereka sendiri. Dan jika saya harus membuktikan keberhargaan saya atau mencapai keselamatan saya dengan hal-hal yang saya lakukan, segala usaha saya yang terbaik pun tidak ada gunanya.

Tetapi pada hari Sabat, hari untuk mengingat perhentian yang kita miliki di dalam Kristus, Yesus memandang orang lumpuh dan orang buta, dan Dia menjamah mereka. Dia menunjukkan pada mereka bahwa mereka berharga tanpa melihat apa yang dapat atau tidak dapat mereka lakukan. Dan ketika Dia menyembuhkan mereka, Dia seakan berkata kepada mereka – dan kepada kita – Melakukan sesuatu atau pun tidak, engkau adalah milik-Ku.” Semua manusia dikasihi oleh Tuhan.