Injil Yang Bernama “Rumah”
(Jen Pollock Michel)
Kabar Baik bagi Yang Rindu Rumah
Setiap musim semi, ibu saya akan berdiri menghadap panci tim (panci ganda, yang agak besar berisi air panas, dan yang lebih kecil untuk masakannya-Red). Sepanjang waktu yang tampaknya berjam-jam itu, ibu mengaduk dan mengatur temperatur isi panci. Ibu sedang membuat permen coklat dan krim kacang. Di antara berbagai tradisi hari raya, tradisi permen Paskah dimulai secara spontan – lebih merupakan ide yang muncul kemudian daripada tujuan yang disengaja. Permen itu adalah sebuah tindakan improvisasi, tetapi saya dan kakak saya kemudian memintanya lagi dan lagi, dari tahun ke tahun.
Permen buatan keluarga adalah hal yang dapat diramalkan (ada) dalam perayaan tahunan keluarga kami – sampai keluarga kami menjadi kurang dapat diramalkan. Ayah saya meninggal. Kemudian disusul oleh kakak saya. Lalu ibu saya menikah lagi, dan kami mengadakan perayaan di rumah baru dengan keluarga ayah tiri saya, untuk menegaskan relasi dengan orang-orang asing yang baru saja kami kenal. Paskah menjadi kurang terasa seperti Paskah, dan rumah menjadi kurang terasa seperti rumah. Sesungguhnya, satu-satunya hal yang dapat diramalkan pada hari raya atau pun hari-hari lainnya sepanjang tahun adalah perasaan rindu rumah itu.
Jauh dari Rumah
Rumah adalah kerinduan hati manusia, rindu rumah adalah kesedihannya. Alkitab sendiri memberi kesaksian tentang kerinduan manusia akan – dan yang jauh dari – rumah. Sebagai contohnya, Yakub, cucu Abraham dan ayah dari 12 suku Israel, menjalani kehidupan yang tidak mudah. Meskipun Allah sudah menjanjikan rumah bagi Abraham, anak-anaknya dan anak cucunya, sebagian besar babak kehidupan Yakub berada di tempat “antara”. Para pembaca kitab Kejadian tampaknnya akan mengenal Yakub hampir sebagai orang yang hanya lari dari satu tempat ke tempat lainnya.
Ketika masih muda, Yakub terpaksa meninggalkan rumahnya ketika saudara kembarnya berencana untuk membunuhnya. Di Kejadian 28, kita mendapati Yakub berada di antara Bersyeba dan Haran; dengan kepala berbantalkan batu di bawah langit malam yang gelap. Di sana, tanpa diduga-duga ia bertemu Allah dan menerima janji-janji-Nya: “Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini” (Kejadian 28:15). Tempat “di antara” itu, Betel, lalu menjadi “rumah Allah.”
Yakub kemudian tiba di Haran dan disambut hangat oleh pamannya, Laban dan saudara sepupunya – dua bersaudara perempuan – yang akhirnya ia nikahi. Tetapi 20 tahun menetap tidak membuatnya menjadi bagian dari tempat itu atau orang-orangnya. Yakub dicurangi dalam hal upah yang seharusnya ia terima, dan paman serta saudara sepupu laki-lakinya merasa iri dengan kemakmurannya. Pulanglah, Allah berkata kepadanya: “Akulah Allah yang di Betel itu, …sekarang, bersiaplah engkau, pergilah dari negeri ini dan pulanglah ke negeri sanak saudaramu.” (Kejadian 31:13). Yakub lalu mengemasi barang-barangnya untuk pulang ke Kanaan, dengan menyeberangi perbatasan lain sebagai orang pelarian.
Pada adegan ketiga dan terakhir menyeberangi perbatasan, Yakub bersiap-siap untuk bertemu saudaranya, Esau, yang sudah melakukan perjalanan untuk menyongsongnya bersama 400 orang – jumlah yang lebih cocok untuk menyatakan perang daripada berdamai. Merasa cemas bahwa Esau benar-benar akan membalas dendam, Yakub berdoa kepada Allah yang dijumpainya 20 tahun sebelumnya: “Ya Allah nenekku Abraham dan Allah ayahku Ishak, ya TUHAN, yang telah berfirman kepadaku: Pulanglah ke negerimu … Lepaskanlah kiranya aku dari tangan kakakku” (Kejadian 32:9-11). Allah mengabulkan doanya. Kedua saudara itu berdamai, dan Yakub memasuki negeri itu bersama keluarganya.
Tetapi tahun-tahun selanjutnya juga bukan kehidupan yang bahagia selama-lamanya. Kitab Kejadian mencatat trauma akibat pemerkosaan putri Yakub ketika mereka tinggal di lingkungan baru. Iri hati tumbuh subur seperti rumput liar beracun di antara 12 anaknya, menyemai kebencian dan kekerasan, dan Yusuf, anak kesayangannya, dijual sebagai budak ke rumah Potifar. Dan meskipun keluarga itu akhirnya bersatu lagi bertahun-tahun kemudian, seluruh keluarga harus meninggalkan Kanaan; dan Yakub tidak pernah kembali lagi.
Seperti mungkin banyak dari kita, Yakub seperti burung yang berusaha bertengger, namun tidak menemukan tempat yang disebut rumah.
Pulang ke Rumah Menjadi Mungkin
Kisah manusia dimulai di sebuah taman, di mana umat manusia disambut hangat oleh Allah yang menciptakan rumah. Kisah itu dimulai di rumah. Rumah mereka adalah dunia yang “sangat baik,” yang bukan saja dipenuhi kehidupan dan kemungkinan juga nenek moyang kita manusia, tetapi karena tempat itu juga adalah tempat bersekutu dengan Sang Pencipta, yang sudah dengan murah hati memberi tanggung jawab kepada anak-anak-Nya untuk bekerja dan beribadah (lihat Kejadian 1:31 dan juga Kejadian 2:15).
Tetapi rumah itu adalah kebahagiaan sementara, dan hilang ketika Adam dan Hawa memakan buah yang dilarang Allah dan diusir dari taman Eden. Malaikat penjaga ditempatkan di pintu masuk taman itu untuk mencegah mereka kembali. Dan yang lebih tragis, mereka terkutuk dengan hukuman mati.
Tetapi Allah tidak membiarkan anak-anak-Nya terhilang. Dia malah meninggalkan surga dan memasang tenda di sebuah desa kecil Palestina yang diduduki pemerintah Romawi. Sebagaimana dijelaskan penulis Injil Yohanes, Yesus ditolak dan akhirnya disalibkan. Tetapi pengasingan-Nya membawa kita pulang ke rumah, dan pengabaian diri-Nya menjadi penyambutan kita. Karena Yesus dan kerelaan-Nya berkorban untuk kita, pintu rumah kekal kita – yang sebelumnya tertutup akibat dosa – sudah dibuka kembali: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” (Yohanes 14:23). Keselamatan berarti kembalinya para pengembara.
Menurut Injil, rindu rumah adalah penderitaan manusia yang sementara. Seperti Yakub, kita tahu, sekalipun (atau terutama) pada masa liburan/hari raya, kita tidak berada di rumah sepenuhnya di dunia ini. Tetapi suatu hari baru akan datang karena Yesus Kristus. Bayang-bayang dosa dan kematian akan sirna, dan rumah itu, menurut Wahyu 21, akan menjadi kebahagiaan kita untuk selama-lamanya.