Jadi, Anda Mau Mendengarkan Tuhan?

(Joseph Miller)

Iman timbul dari pendengaran, tetapi itu jika kita bersedia mendengar.

Seringkali, orang yang berbicara dengan Anda akan mengatakan apa yang mereka pikir perlu Anda dengar. Tetapi konselor yang bijak akan menghindari kebingungan itu dengan bertanya, “Apakah itu kebenaran?” Untuk mengetahui kehendak Tuhan, saya perlu mendengar yang Dia mau saya dengar.

Dari posisi membungkuk, saya langsung melompat ke pinggir sofa, dengan kewaspadaan tinggi. Terapis saya baru saja mengucapkan kata-kata, “Kamu harus mengampuni ayahmu,” dan itu jelas merupakan perkataan yang tak pernah ingin saya dengar.

“Mengapa?” saya bertanya dengan rasa tidak percaya. Ayah saya sudah meninggal dua puluh lima tahun yang lalu, ketika saya masih kecil. Saya juga merasa ingin berteriak dengan sekuat tenaga, “Apa gunanya melakukan hal itu?” Bagaimanapun, ia sudah meninggalkan saya dua kali: pertama ketika ia menceraikan ibu saya, dan kemudian ketika perjuangannya melawan kanker berakhir.

“Karena kamu sama seperti ayahmu.”

Saya tidak pernah lebih marah kepada terapis saya selain daripada saat itu, dan kami bertengkar hebat. Saya ingin sekali membantah, menghambur ke luar ruangan – atau apa pun, kecuali yang akhirnya saya lakukan, yaitu duduk terdiam dan merenungkan kata-katanya.

Malam itu saya bermimpi tentang seorang anak laki-laki yang mengendarai sepeda roda tiga. Gambar itu tampak goyang dan pecah, seperti peninggalan dari munculnya film-film pribadi. Perasaan cinta dan kasih sayang yang luar biasa memenuhi hati saya terhadap makhluk kecil asing yang manis ini. Ketika saya bangun, Roh Kudus dengan lembut namun jelas menyatakan pada saya bahwa itu adalah ayah saya.

Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Informasi tentang latar belakang kehidupannya sudah disampaikan pada saya sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun. Ayah saya memiliki masa kecil yang suram—jauh lebih suram dari masa kecil saya. Ia seorang anak kecil yang membutuhkan kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan. Ia telah memberikan yang ia miliki kepada saya, meskipun itu sangat tidak banyak untuk memulai. Saya harus melepas amarah saya untuk pergi.

Kita semua pernah mengalami saat kita tidak ingin mendengar yang dikatakan pada kita. Saya senang mendengar hal-hal yang terdengar menyenangkan di telinga saya. Tetapi kenyataannya, jika kita hanya mengelilingi diri kita dengan orang-orang yang “berkata ya” saja, kita akan kehilangan realitas yang sebenarnya. Seperti dikatakan Dr. Stanley, yang penting bukanlah yang ingin Anda dengar. Kita memerlukan kebenaran dalam hidup kita dan orang-orang yang dapat menolong kita mengenalinya.

Saya yakin sekali bahwa andai saja saat itu saya meninggalkan kantor terapis saya tanpa mendengarkan kata-katanya, saya tidak akan mendapat mimpi itu. Ayah saya telah pergi—tak ada yang dapat saya harapkan untuk ia bisa bayar/ganti rugi. Jika saya percaya yang dikatakan Alkitab tentang pengampunan, saya harus percaya bahwa Tuhan ingin menyembuhkan saya.

Tuhan, tolonglah saya untuk mendengar.