Jadi, Anda Mau Menjadi Sempurna?

(Michael Morgan)

Kabar baik. Hal itu mungkin—dan lebih mudah dari yang Anda pikirkan.

Kotbah Yesus kadang bisa sangat mengerikan. Memandang seorang perempuan dengan bernafsu saja sudah dianggap berzinah. Menyebut seseorang bodoh saja sudah berarti membunuh. Namun, perkataan yang selalu paling menakutkan saya adalah, “Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga sempurna” (Matius 5:48). Ya coba saja, tetapi kemungkinannya kecil untuk berhasil. Saya bahkan tak dapat pergi ke tempat kerja dalam kemacetan lalu lintas tanpa menyebut seseorang (atau banyak orang) dengan umpatan “Bodoh!”, sehingga, kesempurnaan itu tak mungkin terjadi. Mengapa rasanya Yesus seperti meminta kita melakukan hal yang mustahil?

Sekira setahun yang lalu, saya dan keluarga pindah ke rumah baru kami dari rumah tradisional Cape Cod kecil yang saya beli bersama istri sebagai rumah pertama kami. Anjing-anjing kami mungkin mendapat peningkatan ruang gerak yang paling besar, dari yang sebelumnya hanya berupa halaman berpagar yang sangat kecil menjadi lapangan hampir 4000 meter persegi yang dipenuhi pepohonan (berikut tupai-tupai yang bisa mereka kejar). Anak-anak kami akhirnya memiliki kamar sendiri-sendiri, dan istri saya tidak lagi harus berbagi kamar mandi dengan anak laki-laki. Saya memiliki perapian kayu bakar. Saya berkata kepada teman-teman saya bahwa fase menebang kayu di usia krisis paruh baya saya telah dimulai. Saya sekarang memiliki kapak dan akan sering menggunakannya.

Membelah kayu bakar adalah pekerjaan yang melelahkan. Seiring waktu, ketika Anda sudah tahu kayu mana yang membutuhkan tenaga ekstra, Anda akan terbiasa mengayunkan kapak dengan sangat cepat dan keras. Namun sesekali, Anda akan meletakkan kayu di talenan dan kapak akan melesat menembusnya seperti mengiris mentega dengan pisau panas. Perbedaannya? Kayu itu lapuk. Dari luar kelihatan bagus, tetapi bagian dalamnya membuat kayu itu tak berguna. Bisa dibilang kayu itu tak punya integritas.

Pemikiran tentang lain di luar dan lain di dalam inilah yang menarik perhatian saya tentang artikel Jonathan Pennington yang berjudul, “Teologi Kemakmuran Manusia yang Alkitabiah.” Ia memahami panggilan untuk menjadi sempurna seperti berikut ini:

Salah satu gagasan penting—jika bukan yang terpenting—dalam Khotbah di Bukit adalah “keutuhan,” “kelengkapan,” atau “pengabdian tunggal.” Bagi Matius, “murid adalah orang yang pengabdiannya kepada Tuhan total, tunggal.” Penekanan pada ketunggalan atau pengabdian sepenuh hati ini … menemukan versi prinsipnya yang paling jelas dalam pernyataan paradigmatik di Matius 5:48: “Jadilah teleios sama seperti Bapamu yang di surga teleios.” Berkata bahwa kita harus teleios sama seperti Tuhan berarti berkata bahwa kita harus utuh. Kita harus tunggal dalam diri kita, bukan satu hal di dalam tetapi hal lain di luar. Panggilan untuk sempurna di Matius 5:48 dan di sepanjang Kotbah itu sama seperti panggilan untuk “kudus” yang kita temukan di Perjanjian Lama (dan bagian lain Perjanjian Baru) – bukan kesempurnaan moral tetapi orientasi yang sepenuh hati kepada Tuhan.

Ini merupakan kabar baik bagi saya dan semua orang Amerika abad 21 lainnya. Kita cenderung berpikir bahwa menjadi “sempurna” berarti tidak bercela, selalu mendapat nilai A, atau selalu menunjukkan kinerja yang baik. Padahal perintah untuk “menjadi sempurna” lebih berkaitan dengan orientasi kita terhadap Tuhan. Dan di dunia kita yang tidak sempurna, itu berarti menjadi orang jujur ​​yang bertanggung jawab atas hidupnya, termasuk kesalahannya. Perintah ini lebih terkait dengan perkataan Yesus agar tidak menjadi seperti kuburan yang dilabur putih-putih, daripada tentang menaati hukum sampai ke titik komanya, bahkan dalam pikiran kita. Dengan kata lain, apakah yang lebih buruk daripada menjadi orang berdosa? Menjadi orang berdosa yang berlaku seolah-olah ia tidak berdosa.

Itulah salah satu alasan Yesus mengingatkan kita bahwa Bapa kita sempurna—Dia utuh/sama luar dalam. Dia tidak berubah, dan Dia tidak berpura-pura baik untuk menyembunyikan beberapa mekanisme batin yang jahat. Tuhan menyatakan diri-Nya tanpa rekayasa, tanpa menyembunyikan apa pun. Ya, dari dulu sampai sekarang Dia tanpa dosa, dan itu penting—tetapi yang benar-benar Yesus ingin kita tiru adalah integritas-Nya, karena kita tidak dapat meniru kinerja-Nya.

Bagi kita, berjuang untuk sempurna sebenarnya (dan paradoksnya) bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang bersikap jujur ​atas ketidaksempurnaan kita. Ini berarti, contohnya, menyadari ketika kita menyakiti seseorang, mengakui kesalahan kita, dan meminta maaf. Atau mungkin tidak melayani orang lain hanya karena kita tertarik pada yang akan kita dapatkan dari relasi itu, atau karena hal itu akan membuat citra kita terjaga. Ketika kita berbeda di luar dan di dalam, tidak ada yang diuntungkan.

Saya pikir mungkin hanya keluarga kami yang mengalami, bahwa kami kadang bertengkar saat hendak keluar rumah pada hari Minggu pagi. Yang seorang tidak langsung beranjak dari sofa untuk berpakaian secepat yang diinginkan orang lain. Lalu, orang yang lain itu mengeluarkan kata-kata ketus, mengira hal itu akan memperbaiki situasi, padahal kata-katanya lebih seperti menyiramkan bensin ke api. Saat kami masuk ke mobil, perasaan semua orang agak terluka.

Lalu kami tiba di gereja, dan keluarga-keluarga lain sudah ada di sana dengan pakaian terbaik mereka, tampak seakan mereka tidak terlibat pertengkaran sengit di sepanjang jalan keluar rumah dan setengah jalan melintasi kota. Kami duduk di bangku gereja, merasa seperti keluarga yang paling berantakan di dunia. Benar-benar “pemenang sejati.” Jadi ya, terkadang pada hari Minggu saya merasa sangat sulit untuk beribadah.

Mempertahankan kedok Kekristenan terbaik di hari Minggu yang sempurna ini melelahkan. Tidak ada integritas di dalamnya, dan saya sendiri akan merasa sangat kesepian jika harus terus melakukannya setiap minggu. Saya akan memutar ulang pertengkaran pagi hari itu di kepala saya, dan merasa yakin saya tidak termasuk dalam bilangan keluarga-keluarga lain yang tampaknya baik-baik saja. Bersyukur Yesus memanggil saya ke jalan yang lebih baik dan menawarkan obat untuk penyakit rohani saya. Saya perlu mengupayakan kejujuran dan memastikan setiap bagian diri saya selaras. Sebagaimana Tuhan selalu menyatakan siapa/bagaimana diri-Nya yang sebenarnya, saya pun harus demikian.

Bersyukur, kami diberkati dengan mengenal keluarga-keluarga lain di gereja, dan ketika kami berkumpul bersama, mereka juga bercerita tentang kehidupan di hari Minggu pagi mereka (atau Sabtu malam, malam-malam menjelang hari sekolah, atau malam setelah anak-anak tidur). Tidak satu pun yang saya dapati memiliki kehidupan keluarga yang “sempurna”. Saya akui saya tidak selalu suka melakukannya, tetapi mendengarkan cerita-cerita itu dan mengatakan kepada orang lain bagaimana sebenarnya yang terjadi “di dalam” merupakan unsur penting dalam integritas. Begitulah cara terang masuk—dan terang adalah tempat penyembuhan dimulai. Entah secara sangat keras atau sunyi senyap, kita semua menanggung dosa dan konflik dengan cara kita masing-masing. Kita semua bergantung pada kasih karunia dan belas kasihan Tuhan yang melimpah, dan melakukan hal itu jauh lebih mudah jika kita tidak sedang menunggu sendirian.

Saya bisa katakan bahwa, sampai saat ini, mengakui bahwa saya sering kehilangan kesabaran terhadap anak-anak saya tidak menyembuhkan saya dari kemarahan. Saya masih seperti kayu lapuk itu daripada yang mau saya akui. Terkadang rasanya terang itu justru semakin menunjukkan betapa luasnya kerusakan yang sebenarnya. Namun, saya mendapati—terutama pada malam-malam ketika kelompok kecil kami berkumpul—berada di dekat orang lain yang mengenal keluarga kami dan mendengarkan keluh kesah serta frustrasi kami dapat mengubah sepenuhnya hari Minggu yang buruk itu.

Saudara yang sejati tidak menilai Anda dari penampilan luar Anda atau bahkan dari seberapa otentik Anda mengungkapkan diri Anda yang di dalam. Mereka sama sekali tidak menghakimi Anda karena mereka tahu bahwa integritas Anda berasal dari tempat yang sama dengan integritas mereka: belas kasihan Tuhan yang dicurahkan melalui Anak-Nya. Dan setiap kali saya menerima kemurahan dari anggota kelompok kecil saya, beban kegagalan tidak lagi terasa begitu berat di hati saya. Pada malam-malam itu, saya pulang dengan kedamaian yang jauh lebih besar daripada ketika saya datang.