Jangan Ada Perpecahan Di Antara Kamu

(Charles F. Stanley)

Kita punya seribu alasan untuk bertengkar dan terpecah – dan satu Tuhan yang mempersatukan kita.

Manusia masa kini terjangkit masalah kuno: yang dengan bahasa yang lebih halus dikatakan: kita sulit untuk hidup rukun. Itu sebabnya tak henti-hentinya ada perang, konflik, perdebatan dan pertikaian di negara kita dan di seluruh dunia. Meskipun kita berharap hal ini tidak terjadi di antara orang Kristen, kenyataannya yang menyedihkan adalah gereja-gereja juga mengalami perselisihan dan perpecahan – dan itu sudah terjadi sejak dulu kala.

Gereja pertama yang pernah saya gembalakan terletak di daerah pegunungan Carolina Utara, yang didiami berbagai klan atau kaum keluarga. Permusuhan di antara mereka begitu hebat sampai-sampai hampir setiap tahun terjadi kematian akibat pertikaian antar kelompok/klan. Saya segera menyadari bahwa keluarga-keluarga tertentu mau menerima kunjungan-kunjungan saya, tetapi keluarga-keluarga lainnya tidak. Saya tahu usaha saya tak akan pernah cukup untuk memperbaiki relasi-relasi yang rusak itu.

Bahkan di dalam gereja, para anggota dari klan yang berbeda-beda saling memisahkan diri dengan duduk di bagian-bagian yang berbeda dan menolak menerima apa pun yang berkaitan dengan satu sama lain. Hanya ada satu yang akan mempersatukan mereka. Maka, alih-alih menyelesaikan masalah mereka secara langsung dari mimbar, saya mulai mengajarkan Alkitab minggu demi minggu, dan lama-lama segala sesuatu mulai berubah. Orang yang tadinya saling menghindar mulai mendekat dan mau bercakap-cakap.

Mereka tidak terpecah karena Alkitab, tetapi karena argumen-argumen yang remeh-temeh. Karena itu, ketika semua pengajaran difokuskan pada Kristus dan firman-Nya, mereka menemukan kesatuan mereka di dalam Dia. Bagaimanapun Yesus Kristus adalah satu-satunya yang mempersatukan mereka dalam satu tubuh, dan Dialah satu-satunya yang dapat membuat mereka bersatu.

Masalah Perpecahan

Jauh sebelum jemaat kecil itu ada, sebuah gereja lain bergumul dengan masalah perpecahan – gereja di Korintus. Bukan karena mereka tidak mengenal kebenaran. Paulus bahkan menyatakan mereka sebagai orang percaya sejati yang kaya dalam segala hal di dalam Kristus: anugerah, segala macam perkataan dan pengetahuan, serta karunia-karunia rohani (1 Korintus 1:4-9). Masalahnya adalah perilaku mereka tidak sesuai dengan relasi mereka dengan Tuhan.

Pertikaian ditemukan hampir di semua gereja Perjanjian Baru, terutama akibat pengajar-pengajar palsu yang mencoba melemahkan yang diajarkan para rasul. Tetapi masalah yang diselesaikan Paulus di bagian pertama suratnya kepada gereja Korintus adalah perpecahan yang didasarkan pada preferensi pribadi. Masalah ini mungkin tampaknya sepele, tetapi ternyata menunjukkan pola pikir yang kemudian disebut Paulus sebagai “kedagingan” atau “sifat manusia duniawi” (1 Korintus 3:1-3). Alih-alih bertumbuh menjadi makin serupa Kristus, orang-orang percaya di Korintus dikuasai pementingan diri sendiri dan keinginan-keinginan yang berdosa. Dan jika ada hawa nafsu duniawi di hati, akan timbul kerusakan dan kekacauan di dalam gereja.

Karena itu Paulus mengawali nasihatnya dengan permohonan: “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir” (1 Korintus 1:10).

Paulus mendasarkan permohonannya pada otoritas Yesus Kristus. Itu sebabnya ia menasihati orang Korintus “demi nama Tuhan kita Yesus Kristus,” yang artinya sama dengan otoritas Yesus atas gereja-Nya. Hanya Dia dasar kesatuan kita dengan satu sama lain, karena Dialah yang menempatkan kita dalam tubuh-Nya, gereja, di mana Dia adalah Kepalanya. Jadi, ketika kita mengakui Yesus sebagai Tuhan, itu berarti kita setuju untuk saling menundukkan diri pada otoritas-Nya atas kita secara pribadi maupun bersama-sama.

Tujuan Tuhan adalah kesatuan. Karena orang percaya di Korintus semua satu dalam Kristus, mereka tak punya alasan yang sah untuk membagi diri dalam golongan-golongan, tetapi pada kenyataannya itulah yang mereka lakukan. Mereka mengorbankan kebersamaan demi preferensi pribadi dalam hal pengajar. Sebagian menyukai Paulus, yang lain menyukai Apolos atau Petrus, sementara kelompok yang lain lagi menyatakan sebagai pengikut Kristus saja (1 Korintus 1:11-12). Tubuh Kristus tidak bisa dibagi-bagi, dan Yesus tidak bisa dibagi-bagi seakan-akan pribadi dan karya-Nya diberikan dalam bentuk paket yang terpisah-pisah.

Maka Paulus berkata mereka harus “seia sekata” (1 Korintus 1:10). Kata Yunaninya adalah legēte, yang berarti “mengatakan hal yang sama.” Ini tidak berarti mereka harus memiliki pandangan yang sama terhadap setiap hal kecil, tetapi sebagai jemaat, penting bagi mereka untuk sepaham dalam doktrin-doktrin alkitabiah yang mendasar, ketuhanan Kristus dalam hidup dan komunitas mereka, serta pesan dan misi Kristus bagi gereja-Nya.

Di ayat yang sama Paulus juga berkata, “janganlah ada perpecahan di antara kamu.” Kata Yunaninya adalah schisma, yang berarti “carikan atau sobekan pakaian” atau “pengasingan atau pemisahan orang.” Untuk memahami betapa parahnya masalah ini, pikirkan bagaimana kata-kata Yunani berikut ini menunjukkan kehancuran tragis dalam tubuh gereja atau relasi lainnya:

  1. Stasis—”Perdebatan yang sengit” (Kisah Para Rasul 15:2). Inilah juga kata yang digunakan untuk menggambarkan percekcokan antara Paulus dan Barnabas tentang apakah mereka akan mengajak Markus dalam perjalanan pekabaran Injil mereka.
  2. Dichostasia—“perpecahan” (Galatia 5:20). Percekcokan bisa mengarah kepada pemisahan di antara dua pihak, dan perseteruan dalam gereja semacam ini terdaftar di antara perbuatan-perbuatan daging.
  3. Hairesis—“pilihan, opsi, atau aliran/sekte” (Kisah Para Rasul 24:5). Di sini ada perpecahan yang di dalamnya pemisahan sudah menjadi hal yang kokoh atau permanen. Dalam istilah masa kini, kata ini merujuk pada pemisahan gereja atau perceraian. (Menarik untuk dicatat bahwa kata Yunani ini juga merupakan akar dari kata “heretic” yang berarti bidat atau orang/ajaran yang menyimpang).

Jemaat Korintus berada dalam bahaya perpecahan tahap ketiga. Dimulainya mungkin dengan cara yang kurang lebih sama seperti yang terjadi sekarang, dengan adanya perbedaan pendapat di antara dua orang anggota. Alih-alih menyelesaikan masalah itu, orang-orang itu mulai saling menjauhi. Akhirnya mereka mulai mengumpulkan orang-orang lain untuk mendukung pertikaian mereka. Tak lama, kedua kelompok pun menjadi begitu teguh dengan pendirian mereka sampai tak ada yang mau mengalah, dan gereja pun berada dalam bahaya.

Paulus ingin jemaat Korintus “menjadi utuh” atau erat bersatu daripada terpecah-pecah. Kata Yunaninya adalah katartizó, yang artinya “mereparasi atau menambal, memperbaiki atau membetulkan.” Kata ini merujuk pada membereskan jala di Matius 4:21, dan di bidang medis, kata itu dipakai untuk menjelaskan tindakan menyambung kembali tulang-tulang yang retak atau memperbaiki sendi yang terkilir.

Perpecahan di gereja bukan hanya menyakitkan para anggotanya, tetapi juga tidak menghormati Yesus Kristus sebagai Kepala, dan menghancurkan kesaksian jemaat itu. Meskipun dunia penuh konflik dan permusuhan, tubuh Kristus tidak boleh dicirikan dengan hal-hal itu. Jika kita saling menundukkan diri kepada Dia sebagai Kepala dan mau dibentuk menjadi makin serupa dengan Dia, kita akan menemukan kesatuan kita di dalam Dia – Sumber kita yang sempurna.