Jangan Menunggu Untuk Bersukacita

(Charity Singleton Craig)

Janji-janji Tuhan bukan hanya untuk “suatu hari nanti.”

“Lucu ya, aku merasa senang sekali dengan musim semi,” saya berkata pada suami saya, yang bergabung dengan saya diemperan belakang. Saat itu adalah salah satu hari yang biasa di bulan Mei. Pohon tulip menaungi saya dengan daun-daunnya yang baru, dan burung-burung mencicit dan berkicau dari dahannya yang bercabang-cabang. Angin sepoi-sepoi menerpa payung besar di emperan itu, dan saya merasakan kekuatan penuh sukacita melingkupi roh saya.

Kami tidak sedang melakukan sesuatu yang istimewa. Sesungguhnya hari itu adalah hari Jumat sore setelah minggu yang sangat padat, dan saya sedang membaca di luar. Saya seharusnya sudah mencabuti rumput-rumput di taman bunga atau menyiangi tanaman-tanaman yang sudah tinggi, yang tidak bisa kami lakukan di bulan yang sangat dingin yang sedang kami alami itu. Tetapi saat itu, matahari bersinar, udara hangat dan kering, dan semua terasa indah di dunia ini.

“Kupikir itu karena musim dingin terasa seperti tak akan berakhir,” Steve berkata, bersandar di kursi untuk berbaring di samping saya. Kami duduk diam di sana selama beberapa menit, membiarkan sukacita musim semi menumpulkan memori-memori musim dingin yang sangat keras: pusaran kutub yang membekukan pipa-pipa air kami, pergumulan salah satu anak yang frustasi dalam pelajaran bahasa Prancis, serangan flu saya yang berkepanjangan, dan realitas penuaan yang sedang berlangsung – baik pada diri kami sendiri maupun orangtua kami.

Akhirnya, dengan satu tarikan napas terakhir menghirup udara musim semi yang manis – pastinya karena pohon bungur tetangga kami mulai berbunga – kami melangkah ke dalam kesibukan akhir pekan yang lain.

Di dalam kitab-kitab Injil, Yesus berbicara tentang sukacita dengan cara yang hampir sama dengan yang kami alami sore itu: sebagai hasil/akibat dari menantikan dan menemukan hal-hal yang sangat kita rindukan setelah suatu masa yang sulit. Dalam perumpamaan tentang domba yang hilang, sang gembala sangat bersukacita ketika ia menemukan seekor domba yang hilang dan membawanya kembali kepada yang 99 ekor (Lukas 15:1-7). Dalam perumpamaan harta terpendam, sukacita menggerakkan orang itu bukan saja untuk mendapatkan harta karun itu, tetapi juga untuk membeli ladang tempat harta itu terpendam (Matius 13:44). Perempuan yang kehilangan satu keping uangnya terus mencari sampai dirham itu ditemukan kembali. Setelah ditemukan, ia tidak hanya dipenuhi sukacita, ia juga mengajak tetangga-tetangganya ikut bersukacita bersamanya (Lukas 15:8-10). Setiap perumpamaan menunjuk ke masa depan, kepada ketakjuban dan kegembiraan yang akan kita alami ketika kerajaan Tuhan akhirnya digenapi. Cerita-cerita ini merujuk pada orang-orang berdosa yang bertobat, tujuan-tujuan Tuhan yang digenapi, dan Kristus – harta kita yang sesungguhnya – yang dinyatakan pada akhirnya. Alangkah sukacitanya ketika Kerajaan Tuhan itu datang!

Hal ini seperti anuitas jangka panjang, hal yang belum lama ini saya pelajari ketika membantu seorang kerabat membuat rencana pensiun. Anuitas adalah semacam polis asuransi yang menjamin/ menyediakan simpanan pajak tangguhan, terutama simpanan-simpanan jangka panjang, dari orang yang membuat investasi penting sebelumnya untuk menerima sejumlah besar pembayaran di kemudian hari. Kita seringkali memandang sukacita seperti ini: masa depan yang terbentang di surga setelah seumur hidup mengalami penderitaan. Apalagi saat kita memasuki masa Adven, siklus menderita, menanti dan sukacita tampaknya menyatu dalam rencana penebusan Tuhan: pertama ketika Yesus datang sebagai bayi, dan akhirnya ketika Dia datang kembali. Kita menyanyi, “Kesukaan bagi dunia, Tuhan sudah datang,” bahkan ketika kita menantikan sukacita masa mendatang pada saat Tuhan datang kembali.

Tetapi sukacita tidak hanya mengarahkan kita ke masa mendatang. Dalam penelitian saya, saya juga belajar tentang anuitas-anuitas pendapatan. Dalam anuitas ini, investasinya sama, tetapi pembayarannya sudah dapat dimulai dari sekarang, dengan penerimaan berkala sepanjang jalan dan bukan hanya satu kali penerimaan sejumlah uang di akhir. Ketika saya membandingkan dua opsi ini, yang kedua tidak hanya membuat pengembalian simpanan menjadi lebih cepat, tetapi dalam kasus kerabat saya, juga lebih besar. Saya kira seperti inilah kira-kira cara kerja sukacita.

Pada waktu Perjamuan Malam Terakhir, Tuhan menyampaikan kisah ini kepada para murid-Nya: “Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia” (Yohanes 16:21). Dalam satu hal, Yesus tampaknya sedang berkata bahwa sukacita yang akan datang itu membuat penderitaan yang sekarang ini sangat berharga. Dengan menderita kesakitan kehamilan dan melahirkan, Anda akan mendapatkan seorang bayi untuk dikasihi. Atau, dengan bertahan menjalani musim dingin, musim semi akan menanti Anda. Atau, dengan menginvestasikan uang Anda secara bijak, Anda kelak akan mendapat keuntungan.

Tetapi Yesus, melebihi siapa pun, mengerti bahwa kehidupan tidak selalu berlangsung mulus di bumi ini. Terkadang, para investor terbaik pun dapat kehilangan segalanya dalam suatu musibah. Adakalanya musim-musim semi yang dingin dan basah, seperti yang baru saja kami alami, hanya memberi sedikit kelegaan dari kengerian musim dingin. Dan kehamilan juga sering berakhir dengan keguguran atau kelahiran mati, dengan kesedihan para ibu (dan ayah) yang akhirnya menjadi lebih besar dari sebelumnya. Ya, kerajaan yang akan datang itu akan memberikan sukacita setelah kita mengalami penderitaan, tetapi Yesus tidak menghendaki kita hanya menahan sakit dan menderita saja di bumi ini sampai Dia datang kembali. Dia memberi kita visi tentang sukacita mendatang yang sukacitanya dapat dialami sejak sekarang, meskipun kita menderita dan kesakitan.

Yesus menyampaikan perumpamaan tentang kelahiran ini pada malam menjelang Dia ditangkap, ketika Dia berbicara tentang kematian dan kebangkitan-Nya sendiri. Dia cukup sering memunculkan topik ini sehingga para murid mulai memercayai-Nya. Dia tahu mereka akan terguncang oleh ancaman pembunuhan dan usaha-usaha penangkapan. Tetapi Dia ingin mereka mengerti bahwa semua yang sedang – dan akan – mereka alami itu benar-benar akan mendatangkan sesuatu yang lebih besar, baik pada saat ini maupun waktu yang akan datang.

Seperti dikatakan Paulus di dalam 2 Korintus 4:8-10: “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa.Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.” Itu berarti -para murid tidak perlu hanya bertahan hidup pada hari-hari yang ada, membiarkan “penderitaan ringan dan sementara” ini hanya mencapai kemuliaan yang akan datang saja (2 Korintus 4:17). Mereka dapat hidup dengan penuh pengharapan, iman, bahkan sukacita “di dalam tubuh” yang sekarang ini ketika mereka “diperbarui dari hari ke hari” (2 Korintus 4:16) – seperti wanita hamil yang mengalami getaran tendangan bayinya. Atau seperti saya dan suami yang terus mengikuti bergulirnya waktu di siang hari dalam kegelapan musim dingin. Atau seperti Yesus sendiri yang “tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia” (Ibrani 12:2).

Tetapi sukacita bukanlah hal yang untuk kita nikmati sendiri. Di dalam 1 Tesalonika 2:20 Paulus berkata bahwa jemaat Tesalonika adalah “kemuliaan dan sukacitanya” dan alasannya untuk terus bertekun dalam menanggung penderitaan di penjara, karam kapal, siksaan dan cemoohan. Sukacita kerajaan berfokus pada orang lain. Sukacita itu ada di pusat kasih persaudaraan (Roma 12:10). Rahasia untuk bersukacita bersama orang yang bersukacita (Roma 12:15). Itu sebabnya Yohanes menulis dalam surat ketiganya: “Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar daripada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran” (3 Yohanes 1:4).

Itu juga sebabnya, pada hari yang biasa di bulan Mei itu, saya tidak menyadari betapa saya sangat menikmati saat teduh di cuaca musim semi itu sampai suami saya datang mengatakannya pada saya. Kami bukan saja sudah bertahan menjalani musim dingin yang lama; kami juga sudah bertahan menjalaninya bersama-sama. Dan sekarang, sukacita itu menjadi hal yang kami nikmati bersama juga. Hal yang sama berlaku bagi kita semua dalam kerajaan Tuhan. Bahkan pada saat mengalami tragedi, kesulitan dan penderitaan yang panjang dan dingin, kita dapat menantikan kedatangan Kristus kembali dengan pengharapan, iman dan, terutama – dengan sukacita.