Karena Itu Hendaklah Kamu Sempurna

(Michelle Van Loon)

Pada suatu ketika kita pasti gagal dalam berjalan dengan Tuhan – dan perfeksionisme kita hanya memperburuk masalah.

Bayangkan pertandingan antara pelari yang bernama Keunggulan dengan pelari yang berukuran dan memiliki keterampilan yang sama yang bernama Perfeksionisme. Jika Anda duduk di tribun dan menonton mereka berlari, Anda hampir tak dapat membedakan antara gaya berlari orang yang mengejar kemampuan terbaiknya dengan orang yang digerakkan keinginan untuk memenangkan setiap pertandingan dengan catatan waktu terbaik. Si Perfeksionisme mungkin memenangkan banyak pertandingan lari jarak pendeknya melawan Si Keunggulan dengan selisih waktu sekian detik, tetapi ia tak pernah merayakan kemenangan-kemenangan itu. Tak ada tempat untuk merayakan jika ia selalu dihantui oleh kecemasan dan dibayang-bayangi oleh“pencapaian terbaik” yang masih belum diraihnya. Perfeksionisme selalu menolak menerima kemenangan jika ada sedikit saja tanda kelemahan dalam keberhasilan itu.

Saya belajar bahwa perfeksionisme adalah pelatih yang keras dan pantang menyerah ketika saya membantu menyelenggarakan acara ibadah di gereja. Pendetanya, sebagai pemimpin ibadah, dan saya diharapkan merancang setiap bagian acara agar ibadah itu dapat menjadi intensional, khidmat, dan dapat diterima oleh para pengunjung tamu maupun anggota jemaat lama. Sungguh suatu kehormatan dapat bekerja bersama dan membayangkan dengan penuh doa bagaimana kami dapat melibatkan jemaat, menyambut karunia-karunia yang dipersembahkan di gereja kami, dan membawa jemaat kepada ibadah yang bermakna dan khidmat.

Namun saya menjadi takut ketika mengikuti sesi evaluasi pada hari Selasa pagi dalam sebuah pertemuan staf. Beberapa evaluasi tentang ibadah itu bersifat membangun. Tetapi ada dua orang yang tampaknya senang bertindak seakan-akan mereka adalah juri acara kompetisi televisi yang sesungguhnya. Mereka tak pernah tampak memiliki perkataan yang positif untuk semua orang:

“Tidakkah kalian merasa Keith terlalu panjang saat memimpin doa bersama?”

“Mengapa Danita menyanyi solo lagi minggu ini? Ia terlalu banyak tampil akhir-akhir ini?”

“Mengapa Tracy yang menyampaikan pengumuman tentang retret kaum wanita? Ia bukan

pembicara yang dinamis. Suaranya seperti sedang mengajak kita ke acara pemakaman.”

Yang selalu diulang-ulang dalam pertemuan-pertemuan ini adalah bahwa kami bertanggung jawab untuk mencapai keunggulan dalam pelayanan ibadah. Karena kami semua meneguhkan nilai ini, ada semacam peraturan tak terucapkan bahwa menantang kritik-kritik semacam ini tidaklah baik, betapa pun negatifnya perkataan itu. Setelah sesi yang sangat menyiksa itu, pendetanya berkata kepada kelompok itu, “Yang saya dengar dari perkataan-perkataan kalian adalah bahwa pelayanan ibadah kita tak pernah cukup baik. Kita selalu harus berusaha terus untuk mencapai yang terbaik (keunggulan).” Pernyataan yang diungkapkan ini memberi lampu hijau kepada para staf yang kritis untuk membedah setiap pelayanan ibadah, dan menguliti setiap orang yang tidak bertindak sesuai standar-standar mereka dengan cara “yang dapat diterima orang Kristen.” Namun sistem penilaian “berhasil atau gagal” ini tidak memberi tempat untuk berkembang.

Banyak dari kita merasakan penyelenggaraan ibadah yang buruk ketika iringan permainan piano dipenuhi nada-nada sumbang, slait Power Point seperti bergerak sendiri, atau khotbah yang panjang dan berputar-putar seperti tak pernah mencapai tujuan. Dalam rangka mengatasi  ibadah yang tidak menarik dan tidak rapi ini, beberapa perancang ibadah gereja superbesar mulai menekankan nilai keunggulan dalam pertemuan-pertemuan ibadah mereka. Tindakan ini meningkatkan karunia intensionalitas pada orang-orang yang merancang pelayanan ibadah di banyak jemaat. Tetapi di beberapa gereja semacam ini, tindakan ini juga menimbulkan fokus yang tidak sehat pada performa pelaksanaan ibadah setiap hari Minggu daripada berfokus pada kebaikan Tuhan. Dari pengalaman saya sendiri, perfeksionisme beracun yang bekerja di antara kami saat itu menyerap ke dalam kecenderungan perfeksionis saya sendiri. Dan sebagai akibatnya, saya merasa jenuh dengan pelayanan itu dalam waktu kurang dari dua tahun. Dan perlu waktu lebih lama lagi bagi saya untuk bisa menikmati kembali keindahan pelayanan ibadah yang kurang sempurna.

Perfeksionisme dapat mengantar kepada kinerja bernilai A yang luar biasa, penampilan dan gaya hidup yang layak masuk Instagram dan mendapatkan medali emas. Tetapi pencapaiannya berakar pada tanah yang disirami rasa takut dan tidak bisa menghasilkan buah yang memberi-hidup.

Psikolog olahraga Dr. Chris Stankovich menulis, “Meskipun kedengarannya mengesanlan menyebut diri Anda sebagai seorang perfeksionis, yang sedang Anda lakukan sebenarnya adalah menetapkan standar yang sedemikian tinggi sampai benar-benar mustahil untuk dapat dicapai … Penelitian-penelitian dalam psikologi olahraga menunjukkan bahwa kecemasan meningkat secara dramatis ketika kita berusaha untuk sempurna, dan ketika hal ini tercapai, kegugupan energi fisik yang dialami (seperti jantung yang berdebar cepat, napas yang pendek, otot yang mengeras dan tegang, dll) benar-benar mengacaukan keseimbangan tubuh dan pikiran yang diperlukan untuk gerakan-gerakan olahraga yang baik.”

Kecemasan tentu saja dapat mengacaukan kesehatan seorang perfeksionis dalam segala aspek kehidupannya, termasuk di kelas, di tempat kerja, internet dan ya, juga di gereja. Perfeksionisme dapat memicu perilaku religius yang intens, bahkan obsesif. Kita dapat melihat hal ini dalam kehidupan rasul Paulus ketika ia masih dikenal sebagai Saulus. Kita bertemu Saulus pertama kali di Kisah Para Rasul 7 pada waktu penghakiman Stefanus, pemimpin Yahudi gereja mula-mula, yang perkataan dan  tindakannya menggusarkan para pemimpin Yahudi yang tidak percaya. Pemuda Saulus yang pemberani ini berusaha melayani orang-orang Farisi yang telah memuridkan dirinya itu. Ketika para pemimpin agama itu bangkit amarahnya terhadap Stefanus, yang dinyatakan bersalah karena dinilai menghujat, dan menyeretnya keluar dari Yerusalem agar dapat dilempari batu sampai mati, pemuda Saulus melayani para tua-tua itu dengan menjaga jubah mereka (Kisah Para Rasul 7:57-58). Tindakan menjaga jubah ini tampaknya sepele, tetapi tindakan ini menunjukkan komitmen Saulus yang mendalam terhadap orang-orang yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh agama. Ia adalah orang yang selalu ada bagi mereka.

Ketika Saulus ikut dalam gelombang penganiayaan terhadap para pengikut Yesus setelah Stefanus wafat (Kisah Para Rasul 8:3), ia yakin sekali bahwa ia sedang melayani Tuhan. Ia kemudian juga menggambarkan dirinya seperti ini: “disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat” (Filipi 3:5-6). Silsilah dan pendidikan agamanya menempatkan dirinya di antara para pemimpin elit Yahudi pada zaman itu, dan semangat serta ketaatannya pada hukum Taurat yang tak bercacat menunjukkan kehidupan yang digerakkan oleh keinginan untuk hidup tanpa kesalahan.

Namun, dalam perjalanannya ke Damsyik untuk melanjutkan “misi kudusnya” menganiaya orang percaya, Saulus dijumpai oleh Yesus yang bangkit dan mulai menyadari bahwa orientasi tindakan agamanya keliru. Perlu waktu bagi orang-orang percaya lain untuk memercayai perubahan hidupnya yang mengejutkan ini. Tak lama setelah perjumpaannya dengan Yesus yang mengubah hidup itu, orang-orang yang pernah menjadi mentor rohaninya berubah sikap terhadapnya, dan berusaha untuk membunuhnya (Kisah Para Rasul 9:23-25, 29-30). Paulus kemudian menyatakan bahwa setelah bertemu Yesus, hal-hal yang sebelumnya ia anggap berharga dan menggerakkan perilakunya kini dianggapnya sebagai sampah (Filipi 3:8).

Seiring berjalannya waktu, Paulus berubah dari seorang perfeksionis religius dalam kehidupan lamanya menjadi seorang rendah hati yang mengakui bahwa ia bukan lagi sebagai penjunan atas dirinya sendiri, tetapi hanya sebagai bejana tanah liat yang dipenuhi dan dipakai Tuhan bagi kemuliaan-Nya (Lihat 2 Korintus 4:7).

Sesungguhnya, istilah Penjunan dan tanah liat merupakan alternatif yang sehat untuk perfeksionisme. Tak heran jika istilah ini dipakai di sepanjang Alkitab (Ayub 10:8-12; Yesaya 45:9; Yeremia 18:1-23; Roma 9:20-21; 2 Timotius 2:20-21). Keunggulan adalah gambaran tertinggi yang kita gunakan untuk menunjukkan versi terbaik dari seseorang, suatu tempat atau hal lain. Keunggulan adalah hasil dari proses mencari, berjuang, melakukan dan mencapai tujuan, yang berlawanan dengan perfeksionisme, yang menggambarkan proses pengejaran keunggulan yang tidak teratur. Langkah-langkah yang dilakukan Penjunan untuk menghaluskan, membentuk dan membuat ulang, mengeringkan, membakar dan mengecat tanah liat menunjukkan bahwa keunggulan itu muncul dari diri kita.

Putri saya belajar main piano dari seorang wanita bernama Diane, yang spesialisasinya  mengajar murid-murid pemula. Ini berarti Diane akan mendengarkan banyak permainan piano yang sangat mengerikan setiap minggu. Ia seorang musisi berbakat namun ia pernah berkata pada saya bahwa keterampilan musiknya sendiri tidak bisa dihubungkan dengan bisnis yang berkembang pesat. Kesuksesannya adalah dalam menghargai pentingnya proses belajar dan merayakan kemajuan setiap murid dari minggu ke minggu. “Upah kesuksesan saya adalah dengan mengingat saat mereka mulai,” katanya pada saya. “Ya, saya memang menyiapkan murid-murid untuk pertunjukan-pertunjukan di setiap musim semi, karena pengalaman itu akan memunculkan tujuan-tujuan dan mengajar mereka tentang pertunjukan yang seimbang dan terbuka. Tetapi upah saya didapat dari bekerja bersama mereka setiap minggu. Sebuah pertunjukan mungkin berlangsung selama tiga menit, tetapi pelajaran-pelajaran yang mereka jalani melalui latihan akan berlangsung seumur hidup, entah mereka terus belajar musik atau tidak.”

Sikap Diane menunjukkan pada saya tentang kesenangan yang dari Tuhan dalam proses belajar. Sementara seorang perfeksionis berfokus untuk memberikan suatu produk yang tak bercacat – bahkan meski produk itu adalah dirinya sendiri – Tuhan bekerja membawa kita kepada penyelesaian yang kudus. Kata Yunani teleios meliputi tujuan keunggulan, yang menggambarkan proses menjadi dewasa dalam iman sebagai orang percaya yang hidup bersama Yesus. Yang menarik, teleios sering diterjemahkan dengan “sempurna” seperti dalam ayat: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48). Padahal ayat ini berbicara tentang  hal yang lain: Teleios adalah panggilan untuk menaati, mengejar kedewasaan, sementara kita melakukan perjalanan kepada Bapa kita yang tulus, kudus dan sempurna di surga. Keunggulan muncul sebagai akibat dari proses Penjunan dan tanah liat ini dalam hidup kita. Nilai kesempurnaan yang tak mungkin dicapai bukanlah tujuan kita. Tujuan kita adalah penyempurnaan kita.

Konon dikisahkan bahwa para pembuat selimut kapas di antara orang-orang Amish yang terampil, yang menciptakan suatu karya seni tenun paling menakjubkan di dunia, akan dengan sengaja menjahit suatu kesalahan di salah satu bagian tenunan mereka untuk mengingatkan mereka bahwa tidak ada yang sempurna selain Tuhan. Ketika kecemasan-kecemasan saya membuat sifat perfeksionis saya menunjukkan penampakan yang tidak menyenangkan, ada baiknya saya menjahit satu “blok kerendahan hati” di pikiran saya: bahwa Tuhan sudah memulai pekerjaan yang baik sekali di dalam diri saya, dan Dia akan setia menyelesaikannya – dan menyempurnakan saya.