Kasih Yang Menopang

(Jamie A. Hughes)

Sukacita kembar dari phileó dan koinonia

Banyak orang memasuki ulangtahun ke-40 dengan berat hati atau menolak mengakuinya. Dan andai pun mereka merayakannya, perayaan itu biasanya ditandai dengan dekorasi-dekorasi gelap yang menutupi batu nisan bertuliskan “Nun di Bukit yang Jauh.” Tetapi saya tidak mengalami hal semacam ini ketika saya mencapai angka 4-0 besar. Sebaliknya, suami dan sahabat-sahabat terbaik saya mengadakan pesta bertema sastra di rumah saya. Kami terus-menerus menyetel lagu-lagu yang indah, menghidangkan meja besar penuh makanan, menampilkan kue taart lemon yang dihiasi tulisan judul-judul buku favorit saya, dan menyediakan pos-pos yang dipersembahkan untuk kecintaan dan kegemaran saya yang lain (keluarga, kucing dan bisbol), di mana setiap orang bisa menggoreskan tulisan tanda kasih dan dukungannya untuk saya. Cuacanya juga sempurna, dan semua orang menikmati waktu itu dengan tertawa dan bercengkerama di serambi maupun di seluruh rumah. Sebagai pengganti kado ulangtahun, saya meminta setiap orang membawa satu buku favoritnya, dan kami menghabiskan malam itu dengan saling membacakan dan menukarkan buku itu. Semua itu sungguh luar biasa.

Malam itu, saya merasa sangat bersukacita berada dalam komunitas kudus bersama orang-orang yang luar biasa: rekan-rekan kerja lama maupun yang sekarang, teman-teman gereja, tetangga-tetangga dan bahkan beberapa teman kuliah yang masih terus berhubungan. Setiap mereka sudah membuat hidup saya menjadi lebih baik – membuat diri saya lebih baik, tepatnya. Banyak yang sudah menguatkan saya secara rohani dari waktu ke waktu, mendorong saya untuk mencari Tuhan dan bergerak maju dalam kehidupan saya sebagai orang Kristen. Yang lain sudah menjadi orang yang selalu menyemangati saya dalam pekerjaan, mendukung saya sebagai penulis dan pemikir kritis. Ketika saya memandang ke sekeliling pada malam itu, saya sungguh merasa terharu karena Tuhan telah memilih untuk mengelilingi saya dengan begitu banyak orang baik.

Dalam khotbahnya yang berjudul “Persahabatan Orang Kristen,” Dr. Stanley berkata, “Tuhan menciptakan kita bukan hanya untuk diri-Nya, tetapi juga untuk satu sama lain. Dia menciptakan kita untuk saling membutuhkan satu sama lain. Dia menciptakan kita untuk saling mengasihi satu sama lain. Dia menciptakan kita untuk saling bekerja sama dan bersekutu dengan satu sama lain.” Saya menyukai fakta bahwa Tuhan, dengan hikmat-Nya yang tak terbatas, tahu bahwa tidak baik jika manusia itu hidup seorang diri saja. Dan karena itu Dia membawa kita ke dalam berbagai komunitas, tempat kita dapat mengasihi dan menopang satu sama lain selama kita menjalani hari-hari kita (lihat Kejadian 2:18).

Di dalam khotbah itu juga, Dr. Stanley membahas kata Yunani phileó dan koinónia, yang sama-sama penting dalam memahami arti kebersamaan. Phileó, yang digunakan dalam kitab-kitab Injil dan beberapa surat Perjanjian Baru, berbicara tentang “kasih dan perasaan intim yang lembut” yang terjadi di antara para sahabat. (Yang bisa juga menggambarkan ciuman, gerak/isyarat fisik yang terjadi di antara orang yang memiliki kedekatan satu sama lain). Demikian juga, kata koinónia tampak dalam surat-surat Paulus dan kitab Kisah Para Rasul serta surat 1 Yohanes, dan menggambarkan “persekutuan rohani” yang disertai arti “saling berbagi dalam kebersamaan.”.

Sebagai orang percaya, kita sangat membutuhkan persekutuan dan kebersamaan ini dalam kita mengarungi kehidupan. Kita memerlukan keintiman mendalam yang Tuhan sediakan melalui phileó. Kita perlu mengenal dan dikenal oleh orang lain, mengungkapkan diri kita yang sebenarnya kepada mereka melalui karunia indah yang disebut koinónia. Mencoba hidup tanpa salah satu dari berkat ini berarti hanya menjalani separuh kehidupan — hidup yang tanpa warna, sensasi dan sukacita yang hanya akan dialami ketika kita melangkah melampaui diri kita sendiri dan bergabung dengan sesama teman perjalanan, orang-orang yang dapat mendukung dan membesarkan hati kita sebagaimana  dirancangkan Tuhan.

Pada malam pesta saya itu, ketika tamu-tamu mulai membagi diri dalam kelompok dua atau tiga orang, saya memastikan dapat memeluk semua orang. Saya berterima kasih kepada mereka atas persahabatan, kesabaran dan dukungan mereka. Saya mengatakan pada mereka hal-hal tertentu yang sudah membuat hidup saya menjadi lebih baik – seberapa pun besar atau kecilnya tampaknya hal itu bagi mereka saat itu. Mengapa? Karena saya ingin mereka tahu pasti betapa banyak kebaikan yang sudah mereka lakukan dalam hidup saya, dan betapa dalam dan tulusnya mereka sudah dikasihi. Dan meskipun rumah kami secara fisik akhirnya kosong setelah pengukir kebahagiaan yang terakhir pulang, rumah kami tetap terasa penuh. Demikian juga hati saya.