Kekuatan Dari Yang Kecil
(Scott Sauls)
Kita tidak perlu menjadi besar untuk memiliki dampak kekal bagi Tuhan. Sesungguhnya, hal itu justru bisa menjadi penghalang.
Pada awal-awal saya menjadi pekerja pelayanan – di usia 20-an – seorang mentor yang lebih senior menantang saya untuk “mencoba sesuatu yang sangat besar bagi Tuhan sampai gagal, jika Tuhan tidak menyertainya.”
Menerima tantangannya, saya mulai memimpikan hal-hal besar untuk masa depan. Saya membayangkan menjadi pemimpin pelayanan yang menghasilkan banyak murid baru, menanam gereja-gereja yang bertumbuh dan sehat, menyediakan komunitas dan dukungan bagi para tokoh pemimpin kota, dan melayani sebagai narasumber yang berdampak bagi Kerajaan di luar konteks saya sendiri. Akhirnya, jika semua itu berhasil, saya juga akan diminta untuk menulis buku-buku, menjadi pembicara di seminar-seminar dan melayani di panggung nasional.
“Semua itu adalah hal-hal yang sangat besar sampai hanya Tuhan yang dapat melakukannya,” kata saya pada diri sendiri, “karena saya benar-benar tidak memiliki semua yang dibutuhkan untuk melakukan hal-hal ini.” Sejak saat itu, dan atas kasih karunia Tuhan, sebagian besar hal itu terwujud dalam hidup dan pelayanan saya. Namun…
Namun …
Meskipun BHAG atau “Big, Hairy, Audacious Goals” (Sasaran-sasaran Besar, Menantang, Berani) itu tidak selalu merupakan hal buruk, saya tidak yakin apakah saya juga akan memberikan nasihat yang pernah diberikan pada saya itu kepada pekerja-pekerja pelayanan yunior saat ini. Semakin bertambahnya usia saya, semakin saya memahami Alkitab, semakin saya yakin bahwa tindakan nyata dalam kerajaan Tuhan bukanlah sedemikian seringnya berkiprah di panggung-panggung besar atau ruang-ruang kekuasaan, melainkan melalui ketaatan yang tenang, biasa, sehari-hari. Ketaatan yang dilakukan di komunitas-komunitas lokal di seluruh dunia.
Memang benar Tuhan memiliki berbagai musim, dan untuk tujuan-tujuan-Nya sendiri, Dia akan membangkitkan pekerja-pekerja yang melakukan perkara-perkara besar dalam skala besar. Sebagai contoh, hampir seluruh universitas Ivy League didirikan oleh orang Kristen. Kekristenan telah menghasilkan pemimpin-pemimpin besar di bidang ilmu pengetahuan, literatur dan seni – orang-orang yang dipimpin ke dalam kreativitas dan kepiawaian oleh iman mereka kepada Kristus. Ada juga bidang kesehatan, dengan seluruh rumah sakit yang diberi nama dengan nama-nama orang kudus, serta berbagai upaya keadilan sosial terkenal dan paling berdampak dalam sejarah — persamaan hak para budak, kedermawanan yang murah hati, aktivisme jurnalistik, penanganan yatim piatu, dan kepemimpinan dalam bidang hak-hak sipil—yang semua usaha dan pencapaiannya menjadi persembahan dan pujian bagi kuasa Kristus yang menyembuhkan dunia.
Namun meski dengan adanya contoh-contoh yang khas dan luar biasa ini, orang masih bertanya-tanya apakah strategi utama Tuhan dalam menyatakan kasih karunia, kebenaran dan kuasa-Nya di dunia ini adalah melakukannya dengan lebih sedikit memakai sarana-sarana yang hebat dan luar biasa, dan lebih banyak memakai cara-cara yang biasa, kecil/sederhana dan sehari-hari.
Kita dapat belajar dari kehidupan orang-orang yang disebut pahlawan iman lainnya di dalam Alkitab. Seperti saya belum lama ini diingatkan oleh surat yang ditulis rekan pendeta kepada seorang pemuda yang sedang bergumul: Musa tak pandai bicara, pakaian perang Daud kebesaran/keberatan, Yohanes Markus ditolak oleh Paulus, istri Hosea seorang pelacur, dan satu-satunya tempat pelatihan Amos untuk menjadi nabi adalah menggembalakan ternak dan memangkas pohon ara. Yeremia mengalami depresi, Gideon dan Tomas ragu-ragu, dan Yunus melarikan diri dari hadapan Tuhan. Abraham, Ishak dan Yakub semuanya pernah berbohong. Sesungguhnya, Alkitab dipenuhi dengan orang-orang yang nyata yang mengalami kegagalan yang nyata, pergumulan yang nyata, kelemahan yang nyata dan ketidakmampuan yang nyata. Dan Tuhan mengguncang dunia melalui mereka.
Dalam suratnya kepada jemaat Korintus yang menjunjung tinggi hal-hal besar dan luar biasa —seperti ketenaran, kekuasaan, kekayaan, jaringan, serta berada di antara para penggerak dan pengguncang dunia – rasul Paulus menulis:
”Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Tuhan untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Tuhan untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Tuhan, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Tuhan untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Tuhan. Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Tuhan telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita” (1 Korintus 1:26-30).
Kehidupan Yesus juga menantang sikap kita yang ingin “mencapai sesuatu yang sangat besar” dalam hidup dan pelayanan. Yesus lahir dalam keluarga yang memiliki kelemahan secara ekonomi – dari seorang gadis remaja – yang tak lama kemudian menjadi pengungsi. Dia tidak mengenyam yang kita anggap sebagai pendidikan formal, tidak melakukan pekerjaan terpandang, tidak menikah atau memiliki anak, dan menjalani masa dewasanya tanpa tempat tinggal tetap. Menurut Yesaya, ia tidak tampan dan tidak ada yang menawan pada dirinya (Yesaya 53:2). Banyak orang salah paham dan menolak Dia, dan pada akhirnya Dia juga ditinggalkan oleh para sahabat-Nya. Dia mati sebagai penjahat di tempat terhina, dianggap musuh oleh bangsa Yahudi maupun pemerintah Romawi. Jika kuasa itu menjadi nyata di dalam Yesus, maka itu adalah melalui kelemahan-Nya (2 Korintus 12:7-10). Karena bukan dari kekuatan kita, tetapi dalam kelemahan kitalah, kuasa Tuhan itu menjadi sempurna.
Boleh jadi kualitas Tuhan inilah—kecintaan-Nya untuk memakai bejana-bejana yang paling lemah untuk menyelesaikan pekerjaan terbesarnya—yang mendorong Henri Nouwen mengadopsi tindakan yang ia sebut “gerakan ke bawah.” Nouwen adalah seorang pemimpin terkemuka yang memiliki pemikiran-pemikiran yang berpengaruh dan pembicara keliling. Di puncak kariernya, ia menerima undangan seorang teman untuk mengesampingkan segala penghargaannya dan mencapai ketenaran dengan menggembalakan sebuah komunitas kecil penyandang cacat mental. Dasar pemikiran Nouwen menerima peran ini —yang bagi banyak orang dianggap sebagai “bunuh diri” secara karier – adalah sebagai berikut:
Alkitab menyatakan … kemerdekaan total dan nyata hanya didapat melalui gerakan ke bawah – cara ilahi sesungguhnya adalah cara yang menurun ke bawah …. [Yesus] bergerak dari kuasa kepada tanpa kekuasaan, dari keagungan kepada kesederhanaan, dari keberhasilan kepada kegagalan, dari kekuatan kepada kelemahan, dari kemuliaan kepada kehinaan. Seluruh kehidupan Yesus Orang Nazaret … menolak gerakan ke atas.
Yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa kebanyakan tulisan Nouwen yang paling terkenal dan berdampak disiarkan ke dunia bukan dari panggung besar atau mimbar raksasa, tetapi dari kehidupannya yang tenang dan tak dikenal di antara orang-orang cacat di L’Arche—komunitas yang sudah dianggapnya sebagai keluarga.
Saya juga melihat “kekuatan dari yang kecil” dalam komunitas saya sendiri, di antara anggota jemaat Gereja Presbiterian Kristus di Nashville. Sebagaimana dibuktikan orang-orang di jemaat kami, para selebritas sesungguhnya di antara kami – orang-orang yang kehidupan dan kehadirannya paling menyatakan kemuliaan dan kebaikan Tuhan yang paling luar biasa kepada orang-orang lainnya di antara kami —adalah orang-orang yang terbuka dengan kelemahan-kelemahannya, orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus, dan orang-orang yang menghadapi kematian.
Pada tahun kedua saya menjalani peran sebagai pendeta senior, saya membagikan kisah saya sendiri dalam menghadapi kecemasan dan depresi kepada komunitas kami. Selesai pertemuan, seorang pria mendekati saya dan berkata, “Scott, saya ingin Anda tahu bahwa hari ini adalah hari Anda menjadi pendeta saya. Pada akhirnya, bukan visi, khotbah, atau tulisan Anda yang membawa pengharapan kepada orang-orang seperti kami, tetapi cerita tentang bagaimana Tuhan melayani Anda dalam pergumulan-pergumulan Anda.”
Saya bukan pendeta pertama yang kelemahan-kelemahannya dipakai Tuhan untuk menguatkan orang lain. Saya hanya mengikuti teladan rasul Paulus yang berbicara tentang rasa duka atas keinginan dagingnya di Roma 7, dan kemudian duri dalam daging yang melemahkannya di 2 Korintus 12. Dalam kedua contoh itu, kuasa Tuhan menjadi nyata bukan saja bagi Paulus, tetapi juga bagi jutaan orang berdosa dan menderita lainnya di sepanjang sejarah.
Ada sesuatu yang dahsyat dalam kita saling mengaku dosa dan kesedihan kepada satu sama lain dan kemudian membawanya kepada terang kasih karunia Tuhan yang menyembuhkan. Dan hal itu masih berlaku sampai saat ini – kuasa Tuhan justru menjadi sempurna dan nyata dalam kelemahan, bukan dalam kekuatan manusia.
Demikian pula, salah satu hak istimewa terindah saya adalah menjadi pendeta di jemaat yang memiliki banyak anak dan orang dewasa berkebutuhan khusus. Mereka adalah populasi gereja kami yang pantas mendapat perhatian dan dukungan dana khusus. Saya sangat yakin bahwa manfaat terbesar dari investasi ini bukanlah untuk orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus itu, tetapi orang-orang dari kami yang dapat menikmati sepenggal kehidupan bersama mereka.
Saya teringat pada Katie, yang menderita sindrom Down. Ia memiliki senyum terlebar dan suka memberi pelukan terkuat dan terlama. Saya ingat bagaimana ia bersikeras meminta pelukan dari saya, pendetanya, hampir setiap Minggu. Saya ingat bagaimana ia senang sekali ketika saya mengatakan bahwa ia cantik, dan bagaimana ia dengan manis mengingatkan bahwa saya perlu mengatakan ia cantik pada saat-saat saya lupa mengatakannya. Saya ingat bagaimana ia menyerahkan gambar-gambar yang dibuatnya pada saya – gambar-gambar yang menunjukkan pemahamannya yang sangat sederhana dan mendalam tentang khotbah-khotbah saya.
Saya juga teringat pada William—yang juga menderita sindrom Down dan autis. Orangtua William berusaha sangat keras bersama-sama untuk memenuhi segala kebutuhannya. Namun mereka tak pernah berhenti mengatakan betapa kayanya hidup mereka karena memiliki William. Jika bukan karena William, mereka tak akan mengenal Yesus lebih dalam. Ya, jika bukan karena William, kami juga tak akan mengenal Yesus lebih dalam. Seperti Katie, William akan bersikeras memberi saya pelukan, dengan kekuatan penuh. Meskipun ia tak dapat mengungkapkan pikirannya dengan jelas lewat kata-kata, ia rajin membagikan buletin di gereja, menari saat mendengar lagu-lagu pujian dan menyembah Tuhan. Sementara ia melakukan semua hal ini – sementara ia hidup dengan tulus dan benar – ia membawa kami kembali kepada kebenaran. Ia membawa kami kembali kepada kasih karunia. Ia menunjukkan pada kami Raja dan Kerajaan yang tidak dapat kami lihat dengan jelas tanpa orang-orang seperti dirinya. Ia menunjukkan pada kami bahwa kami juga termasuk di dalamnya.
Pertunjukan kuasa terakhir yang akan saya sampaikan di sini, yang barangkali juga paling luar biasa, adalah orang-orang yang menderita dengan pengharapan, bukan dengan berputus-asa. Saya dapat mengingat banyak pria, wanita bahkan anak-anak di komunitas kami yang menghadapi situasi-situasi paling mengerikan —penyakit Lou Gehrig, demensia, kanker, perceraian, pengkhianatan, kehilangan orang-orang terkasih, dan lain-lain—dengan bercucuran airmata duka dan satu tangan mengajukan protes, dan satu tangan lainnya memegang jangkar pengharapan.
Saya secara khusus teringat pada Ben, guru terkasih yang pergi ke surga terlalu dini karena terkena kanker. Pada hari-hari terakhirnya, ketika tubuhnya semakin digerogoti oleh penyakit itu, ia mengucapkan ayat-ayat Alkitab dan menyanyikan lagu-lagu pujian bagi Tuhan. Ketika ditanya pada saat terakhirnya apakah ia ingin mengatakan sesuatu kepada murid-muridnya, ia berkata, “Katakan pada mereka bahwa itu benar, katakan pada mereka bahwa semua itu benar. Katakan pada mereka bahwa injil Yesus Kristus itu… benar.”
Setelah Ben meninggal, dan tepatnya karena ia meninggal, kebangkitan iman dan pembaruan komitmen untuk hidup dekat dengan Tuhan terjadi di kalangan para sahabat, rekan kerja dan murid-muridnya. Seperti halnya Simson, demikian pula yang terjadi pada Ben – bahwa ia menghasilkan lebih banyak dengan kematiannya oleh karena kasih karunia dan kuasa Tuhan yang bekerja dalam kelemahannya (Hakim-hakim 16:23-31).
Jadi, karena semua ini dan banyak alasan lain – meskipun prestasi yang makin besar, makin nyata dan berskala luas dalam kerajaan pantas mendapatkan haknya – mungkin sekarang adalah saat yang baik untuk merayakan cara Tuhan bekerja melalui setiap kita dan bukan hanya sebagian dari kita – melalui yang disebut Paulus “kemuliaan dalam kelemahan,” yang merupakan kualitas yang kita semua miliki, dan tempat kuasa Tuhan yang sesungguhnya paling banyak tersedia.
Sesungguhnya, tidak banyak dari kita yang bijak, berpengaruh, mulia atau berkuasa menurut ukuran manusia ketika Kristus memanggil kita. Namun jika kita berserah – meskipun kita lemah, dan justru karena kita lemah – kita dapat dipakai-Nya untuk mengguncang dunia.