Kerajaan Yang Lebih Baik
Baik (Stefani Mcdade)
Pelajaran yang saya petik dari gereja-gereja luar negeri tentang persilangan iman dan politik
Sewaktu di SMA, cita-cita saya adalah menjadi apolog Kristen: pembela iman Kristen. Saya pernah mengikuti seminar yang pada waktu sesi Tanya Jawab akhir, ada seorang yang bertanya, “Bagaimana kita sebagai orang Kristen harus menyikapi pemilu?” Penanya itu mengeluhkan bahwa presiden baru (Amerika) saat itu mengaku sebagai orang Kristen, tetapi kebijakan-kebijakan politik yang diambilnya tampaknya bertentangan dengan iman Kristen. Ketika menjawab, salah seorang pembicara panel itu menceritakan tentang pengalamannya sebagai orang Kristen di India. Di sana, katanya, mereka tidak memiliki kemewahan untuk memilih kandidat yang “lebih Kristen” dan hanya dapat memilih yang kurang buruk dari antara yang lebih buruk. Pemerintah di sana bukan saja tidak mendukung gereja-gereja lokal, tetapi sistem pemerintahan yang buruk juga memengaruhi setiap aspek kehidupan masyarakat dan menindas warganya setiap hari.
Kembali ke pertanyaan orang itu, ketika saya memikirkan bagaimana seharusnya sikap orang Kristen, saya berpikir bahwa solusinya adalah relasi publik (humas) yang lebih baik. Cita-cita saya menjadi apolog akan memperbaiki reputasi Kekristenan sehingga iman dapat kembali menjadi pusat budaya dan memengaruhi setiap bagiannya. Tetapi sekarang saya menyadari betapa saya sudah sangat salah mengerti tentang kerajaan Tuhan.
Saat itu saya percaya bahwa cara terbaik kita sebagai orang Kristen dalam memberi dampak bagi negara adalah dengan melakukan kewajiban sipil kita dan menggunakan hak-hak kita sebagai warganegara. Namun, meskipun kita tidak boleh mengabaikan hal-hal ini, sejak itu saya sudah memikirkan natur kewarganegaraan kita yang utama: sebagai warga kerajaan surga yang tinggal di bumi, di manakah letak pengharapan tertinggi kita?
Bertahun-tahun setelah acara seminar itu, saya pergi ke India. Saya tinggal di bagian kota Delhi yang dipenuhi turis, di mana pemerintah menggaji para pekerja untuk membersihkan jalan-jalan setiap hari, memotong rumput, dan menyapu di area sekitar monumen-monumen. Namun ketika kami mengunjungi sebuah gereja kecil di daerah luar kota, pemandangan berubah secara drastis. Ketika kami mendekati gedung gereja, bau got dari sekitarnya menyerbu penciuman, dan saya melihat tanah kosong di sebelahnya makin lama makin menjadi tempat pembuangan sampah tidak resmi, dengan tumpukan sampah yang tingginya sudah hampir mencapai satu meter. Bagi saya lingkungan semacam itu tidak layak dihuni – kotor sekali, oleh karena kemiskinan yang tak terperi. Saya bertanya-tanya, gereja lokal macam apa yang ditanam di tempat seperti itu. Tidakkah mereka kewalahan dengan kebutuhan-kebutuhan sekitar mereka?
Ketika akhirnya saya bertemu dengan saudara-saudara seiman yang bersekutu di sana, saya tidak melihat jejak keputusasaan. Saya tidak pernah lupa pada kerumunan orang yang maju untuk didoakan setelah ibadah. Tampaknya seluruh jemaat menumpuk di altar – untuk mendoakan berbagai macam hal, mulai dari penyakit fisik sampai suami yang belum percaya. Bahkan keluarga-keluarga dari jalan-jalan juga mulai masuk ke dalam ruangan. Dan sementara orang-orang ini berdoa bagi saudara-saudari mereka dalam Kristus, saya bisa katakan bahwa iman mereka itu sebesar kebutuhan-kebutuhan yang ada di hadapan mereka. Saya sadar bahwa orang-orang percaya ini, seperti juga banyak orang percaya lainnya di negara-negara berkembang di seluruh dunia, sudah belajar untuk tidak menaruh kepercayaan mereka pada pemerintah. Gereja-gereja lokal yang berada di tempat-tempat kebutuhan yang besar ini telah dipaksa untuk bersandar pada kuasa dan pemeliharaan Tuhan yang berdaulat.
Beberapa waktu kemudian, di Israel, saya menjumpai situasi yang berbeda. Pemerintah di sini secara terbuka memberikan kebebasan beragama – tetapi dengan mempertahankan identitas bangsa Yahudi. Mereka melakukannya dengan mempersulit komunitas-komunitas Kristen Arab maupun Mesianis untuk hidup dan berkembang. Satu gereja yang kami kunjungi berkumpul di sebuah gedung kecil tanpa tanda, terbenam di sebuah gang sempit dan berbatu yang membuat kami beberapa kali keliru melewatinya. Ketika saya mewawancarai pendeta gereja itu di kantornya, ia menunjukkan sampel miniatur gereja mereka yang baru dibangun, yang tampaknya jauh lebih mirip gereja-gereja yang saya kunjungi ketika kecil. Ia berkata bahwa mereka perlu waktu 20 tahun untuk mengikuti prosedur yang tepat. Pemerintah beberapa kali “menghilangkan” dokumen-dokumen mereka, katanya, dan sampai sekarang mereka masih menunggu izin penempatan terakhir.
Pendeta itu membawa kami ke altar mereka yang sekarang —sebuah ruang berjubin sebesar ruang keluarga yang besar—dan berkata bahwa sebagian besar dari sekitar 200 anggota jemaat akan duduk di lorong-lorong. Ketika saya membayangkan deretan keluarga-keluarga yang duduk di kursi-kursi plastik, mengikuti ibadah melalui pengeras suara, saya jadi bertanya-tanya, Mungkinkah hal ini terjadi di tempat tinggal saya? Hampir pasti tidak. Di tempat tinggal saya, orang-orang meninggalkan gereja yang menggunakan drum atau kursi-kursi daripada bangku-bangku panjang. Saya tak dapat membayangkan orang-orang berada di gereja yang tanpa pendingin ruangan atau atap yang menaungi kepala mereka.
Ketika meliput berita di Kuba tahun 2017, saya mewawancarai sekelompok pendeta lokal, yang menceritakan tentang gerakan gereja rumah yang bertumbuh pesat sekalipun pada masa-masa penganiayaan besar. Tetapi saya terkejut ketika salah seorang dari mereka – yang sudah berambut putih dan berkulit terbakar matahari – tampak prihatin dengan perkembangan kebebasan beragama di negaranya. Saya pikir ia akan merasakan kelegaan atau bahkan kemenangan. Tetapi ia berkata bahwa ia khawatir hal ini akan membuat orang-orang percaya menjadi berpuas diri. Bagaimanapun, ia telah menyaksikan semangat yang menyala-nyala selama dasawarsa-dasawarsa sebelumnya, ketika mereka menjadi orang-orang Kristen yang berisiko tinggi. Saya heran pendeta Kuba ini tidak tertarik untuk membuat dunia tampak lebih seperti gereja, hanya untuk mencegah gereja bercampur dengan dunia. Ia tidak pernah mengeluhkan orang Kristen yang terpinggirkan dalam masyarakat atau oleh pemerintah mereka. Sebaliknya, ia tampaknya menganggapnya sebagai sumber pengaruh terbesar mereka. Baginya, gereja lokal mereka adalah seperti kota di atas bukit di tengah-tengah sebuah bangsa yang rusak. Jadi, bagaimana mungkin terang bersinar jika tidak ada kegelapan?
Pada tahun 2018, saya pergi ke Yunani, dan di sana saya bertemu dengan sebuah komunitas Injili yang menerima tempat mereka sebagai minoritas kecil tanpa kekuatan politik – tetapi memiliki dampak yang luar biasa. Bertahun-tahun sebelum terjadinya krisis pengungsi Siria, ekonomi negara itu sudah hancur; dan ribuan orang tidak punya pekerjaan dan tempat tinggal. Dengan begitu banyaknya warga mereka sendiri yang kesusahan, orang-orang percaya bisa saja langsung menjadi marah dengan masuknya gelombang pengungsi, tetapi mereka tak pernah punya pilihan. Keluarga-keluarga mulai berdatangan ke daerah perbatasan mereka dengan rakit, dan mereka lalu memobilisasi, tanpa memandang denominasi – untuk menyiapkan makanan, menyediakan selimut, bergiliran jaga malam di pantai berbatu karang dalam dinginnya hujan untuk menerima kedatangan para pengungsi. Saya sadar, inilah wujud nyata kekuatan tersembunyi gereja. Ketika dunia memiliki terlalu banyak masalahnya sendiri untuk memberi pengharapan kepada orang-orang yang paling membutuhkan, tubuh Kristus berdiri tegap seperti mercu suar di pantai, siap menyambut yang letih lesu dan berbeban berat.
Pengalaman-pengalaman saya ke luar negeri membuat saya merenungmengapa gereja-gereja lokal di tempat-tempat seperti ini bukan cuma bertahan hidup tetapi juga berkembang pesat. Pada saat merenung, saya melihat munculnya sebuah pola. Di tempat orang Kristen menjadi minoritas yang terpinggirkan dalam masyarakat mereka, orang dapat melihat kesatuan yang lebih besar dalam Roh dan bergantung pada Tuhan. Semakin lemah pengaruh duniawi mereka, semakin kuat iman mereka. Boleh jadi, hanya ketika kita menyadari ketidakmampuan cara-cara manusiawi kita, barulah kita mengakui kebutuhan besar kita akan jalan-jalan dan pikiran-pikiran yang melampaui diri kita sendiri. Ketika kita berhenti berpegang erat pada kerajaan-kerajaan duniawi, kita kemungkinan juga akan menyerahkan diri kita kepada kasih karunia dan kuasa Tuhan.