Kesenjangan Antara Kenyataan Dan Iman

(John VandenOever)

Sebagai orang Kristen, kita semua punya pertanyaan-pertanyaan —yang tidak selalu sama.

Dari kursi penumpang Kia Soul saya menggelengkan kepala dan berkata, “Saya tidak yakin Virgil orang Kristen.” Saat itu bulan Juli, dan saya sedang berada di Ontario atas undangan teman baru saya Darrin, seorang pendeta yang melayani para mantan narapidana.

“Yesus adalah Tuhanku,” Virgil berkata pada saya saat kami mengopi di area McDonald, “Tetapi saya tidak bisa membeli tiket ke surga. Bagaimana mungkin Anda mengumpulkan miliaran orang di satu tempat?” Saya berusaha menjelaskan yang sudah diajarkan pembacaan Alkitab saya selama lima dasawarsa tentang janji hidup yang kekal, tetapi hanya mendapat respons, “Anda punya keyakinan, dan saya punya keyakinan.”

Setelah itu saya berpikir ada baiknya Darrin tahu bahwa iman Virgil belum memadai: Ia harus percaya dengan lebih baik jika kita ingin menganggapnya bagian dari kita.

Saya berharap Darrin akan berterimakasih. Ada banyak yang sudah saya lakukan pada Virgil, dan keterampilan bercakap-cakap saya yang luar biasa telah menemukan masalah yang penting. Tetapi Darrin, dengan kelemahlembutan yang luar biasa, malah berbalik “menguliti” saya.

“Saya kira kita tak pernah menjumpai dua orang yang sama, John. Kita semua memiliki pengalaman  masing-masing, yang membawa kita kepada kepercayaan-kepercayaan kita. Virgil menaruh iman dan percayanya pada Yesus, tetapi konsep yang dimilikinya tentang kekekalan dan surga berbeda dengan yang kita miliki.”

Responnya merupakan cara yang sangat lembut dan sabar dalam memandang pertumbuhan iman Virgil. Dan lembut pada saya juga. Karena haus akan kekayaan karya Kristus dalam kitab-kitab perjanjian, saya senang menggali Kitab Suci secara mendalam. Tetapi saya jadi terlalu sering mengutamakan pengetahuan di kepala daripada perubahan yang dibutuhkan di hati saya. Padahal, perenungan mendalam tentang firman Tuhan seharusnya membuat kita mencerminkan Dia. Menjadikan kita sebagai “orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya yang mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran …”; yang membiarkan “damai sejahtera Kristus memerintah dalam hati [kita], yang karena untuk itulah [kita] telah dipanggil dalam satu tubuh. Dan [untuk] bersyukur” (Kolose 3:12-15). Selama setahun terakhir ini, saya sudah melihat banyak kualitas ini pada diri Darrin. Ia memiliki pelayanan pendampingan yang menggembalakan orang dengan kesabaran. Ia merangkul orang-orang yang seringkali tidak diperhatikan oleh gereja-gereja kita—orang-orang yang hampir tak punya akses kepada pemuridan dan pertumbuhan rohani, yang baru sekarang bisa menemukan persahabatan dan komunitas yang sehat.

Hal ini membuat saya sadar bahwa sayalah yang harus percaya dengan lebih baik. Alih-alih melakukan tes tentang pengetahuan Alkitab, saya seharusnya bergembira atas orang-orang yang menerima iman. Inilah nasihat yang diberikan rasul Petrus kepada orang-orang percaya di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Turki, ketika ia menulis, “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu …percaya kepada Dia. Kamu bergembira dengan rasa sukacita yang mulia dan tak terkatakan karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1 Petrus 1:8-9). Perhatikan bahwa Petrus mengakui ada hal-hal yang belum mereka miliki, sementara ia menerima yang sudah mereka miliki.

Demikian juga, ada banyak yang tidak kita mengerti tentang misteri Tuhan dan kerajaan-Nya. Memang Dia telah menyingkapkan semua yang perlu kita ketahui – tetapi hal itu seringkali terasa tidak cukup, dan kita tampaknya tak bisa menjembatani kesenjangan antara kenyataan dan iman. Ini terjadi pada Virgil, dan pada saya juga. Saya sulit percaya bahwa semua dosa saya diampuni, apalagi yang masih saja diulangi. Tak masuk akal Tuhan mengampuni begitu murah hati tanpa menempatkan saya lebih dulu di dalam program pelatihan, untuk melihat apakah saya akan bertambah baik sebelum Dia mencurahkan kasih-Nya lagi pada saya. Tetapi faktanya Dia seperti itu. Kasih karunia-Nya benar-benar terlalu baik untuk bisa dipercaya. Dan itu kedengarannya hampir sama seperti ketidakpercayaan Virgil tentang tempat yang bernama surga.

Ketika saya dalam perjalanan di mobil Darrin, saya melihat betapa damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatinya. Ia memiliki perspektif yang membuatnya dapat melihat melampaui tantangan saat itu kepada keutuhan yang dapat diberikan Yesus di masa depan kita.

“Virgil sedang menemukan begitu banyak rasa aman dan pengharapan di komunitas gerejanya saat ini,” kata Darrin. “Ia merasa betul-betul diterima oleh pendeta dan orang-orang di jemaat itu. Saya percaya Roh Kuduslah yang pada akhirnya mengerjakan semua itu di dalam kita. Mungkin dalam waktu dua tahun, tiga tahun, lima tahun – atau mungkin saja bisa terjadi esok – saat ia akhirnya berkata, “Ada sesuatu tentang hidup kekal ini yang tidak saya mengerti. Apakah ini sebenarnya seperti yang digambarkan orang-orang itu?”

Pada saat itu, Roh Kudus sudah banyak bekerja di dalam diri saya. Dengan sabar dan lembut, Dia mengingatkan saya bahwa mengenal Dia adalah tujuan dari seluruh pembelajaran saya, dan mengasihi orang lain adalah pekerjaan yang harus saya lakukan sampai saat surgawi itu.

Teguran Darrin yang lembut mengingatkan saya bahwa, menjelang akhir percakapan kami di  McDonald, Virgil menatap saya dengan tersenyum dan berkata, “Mungkin inilah saat terbaik dalam hidup saya.” Saya merasa keadaan itu justru akan menjadi semakin baik.