Ketakutan Pada Waktu Teduh

(Heather Caliri)

Setelah bertahun-tahun membaca, saya malah tidak ingin berhubungan dengan Alkitab

 

Saya pernah takut pada Alkitab. Saya takut pada rencana-rencana membaca yang membosankan. Saya takut pada disiplin mempelajari lebih dalam. Saya takut pada perikop-perikop yang membosankan, perumpamaan yang membingungkan, dan pertanyaan-pertanyaan penguji iman yang dimunculkan dari teks itu. Tetapi di atas semuanya, saya takut pada rasa malu yang ditimbulkan ketidaksukaan saya pada Alkitab di dalam diri saya. Saya merasa yakin orang Kristen yang baik tidak takut pada Alkitab. Rasa malu itu begitu menguasai pikiran saya sampai-sampai selama 10 tahun saya tak pernah mengajukan pertanyaan sangat sederhana ini pada diri saya sendiri: mengapa membaca Alkitab membuat saya dipenuhi rasa takut?

Jawaban pertama yang masih samar-samar datang secara tak terduga pada suatu hari Minggu, ketika saya duduk di balkon gereja. Khotbah pendeta saat itu adalah tentang menghabiskan waktu bersama Tuhan, dan ia pertama-tama membawa kami melalui sederetan daftar disiplin rohani, yang beberapa di antaranya melibatkan Alkitab. Kemudian ia berkata, “Ketika Anda memilih disiplin rohani, mulailah dengan yang paling Anda sukai.”

Saya melirik catatan khotbah saya, kemudian melihat kembali padanya, kepala saya pusing. Saya tak dapat membantah perkataannya – yang tampaknya seperti aturanmain yang baik dan jelas. Yang menggoncangkan saya adalah, saya tak pernah menganggap menghampiri tahta Allah itu sebagai kesukaan. Sebaliknya, tanpa sadar saya sudah menganggap bahwa disiplin itu makin lama makin sulit dan makin menyakitkan.

Mendengar kata “kesukaan” membuat kepala saya sedikit menengadah, seperti Charlie Bucket mencium aroma coklat Wonka yang lezat. Saya tak dapat berhenti bertanya seperti apa sebenarnya kesukaan itu. Apakah kesukaan itu mungkin saya alami dengan Alkitab?

Jawabannya datang melalui paket CD yang saya pesan untuk anak-anak saya. Karena ingin menginspirasi mereka menghafalkan ayat-ayat Alkitab, saya membeli kumpulan ayat-ayat Alkitab yang digubah menjadi lagu. Namun ketika saya menyetelnya, anak-anak saya sama sekali tidak tertarik. Tetapi saya justru tak bisa berhenti mendengarkan.

Suatu hari, ketika merasa gelisah dan bingung, tanpa berpikir saya menyetel lagu yang digubah dari Roma 8:38-39, “Sebab aku yakin,” lantun penyanyinya, “tak ada maut atau pun hidup, malaikat atau penguasa jahat …. yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah yang ada dalam Kristus Yesus.”

Airmata saya berlinang. Saya ikut menyanyi, dan tiba-tiba saja beban saya menjadi lebih ringan. “Aku yakin,” saya bernyanyi keras-keras, “Aku yakin.”

Ketika lagu berikutnya dimulai, saya sadar bahwa inilah kesukaan itu. Saya pernah takut pada Firman, tetapi kini saya lapar sekali pada Firman dalam lagu – yang berisi janji-janji yang dapat saya nyanyikan dan gerakkan. “Pilihlah yang Anda sukai,”pendeta saya pernah berkata. Selama beberapa bulan berikutnya saya terus mendengarkan CD itu berulang-ulang.

Saya merasakan kelaparan yang sama ketika menuliskan ayat-ayat Alkitab dalamkaligrafi. Ketika membentuk huruf A besar dan merancang tulisan-tulisan indah saya, saya merenungkan arti kata-kata itu dan pimpinan Allah pada saya melalui ayat-ayat itu. Kesukaan juga langsung memenuhi saya ketika gereja mulai menyerukan imbauan untuk merenungkan bacaan Alkitab hari Minggu pada waktu siang setiap harinya. Yang mengherankan saya, bacaan harian ini terasa seperti undangan untuk bersekutu dengan jemaat saya.

Ketika saya terus mengikuti sukacita dalam Tuhan ini, saya menemukan beberapa hal.

Pertama, saya tidak sendirian dalam ketakutan saya pada Alkitab. Ketika rasa malu saya mulai berkurang, saya menceritakan pengalaman saya. Banyak orang mengaku mengalami hal yang sama. Banyak yang merasa sangat takut dengan kurangnya disiplin, pengalaman atau waktu mereka dalam membaca Alkitab. Kejujuran saya tidak hanya menolong saya, tetapi juga mendekatkan saya pada orang-orang percaya lain.

Selanjutnya, cara saya membaca Alkitab ternyata banyak dipengaruhi oleh masa lalu. Ketika saya menyelidiki ketidaksukaan saya pada Alkitab, saya menemukan luka-luka akibat pelecehan rohani dan trauma masa kecil. Untuk bertahan, saya belajar memacu diri saya dengan keras. Mulai membaca Alkitab dengan lebih lembutmenjadi bagian penyembuhan Allah dalam diri saya seluruhnya.

Serius menangani kesakitan juga membuat saya lebih terhubung dengan pimpinan Roh Kudus. Ketika saya berseru minta tolong, Roh Kudus meningkatkan kepekaan saya. Ketika saya sembuh, saya menjadi lebih mudah untuk langsung berpaling kepada Allah dengan rasa malu saya dan menantikan pertolongan.

Akhirnya, dan paling ironisnya, ketika saya membaca Alkitab, saya mulai melihat dengan jelas emosi-emosi negatif di sana-sini. Pemazmur mengakui amarah yang mendalam, para nabi sangat ketakutan, dan bangsa Israel merasa ditinggalkan dan dikhianati. Rasa malu telah membutakan mata saya terhadap keterusterangan Alkitab yang revolusioner. Tetapi yang dulu membuat saya malu kini berubah menjadi cermin bagi jiwa saya. Transparansi ayat-ayat Alkitab memberi saya keberanian untuk membawa setiap pikiran saya kepada Tuhan – bukan dengan kebiasaan mengendalikan pikiran, tetapi dalam keintiman dengan Tuhan yang indah dan membebaskan. Seperti ditegaskan oleh Paulus, tidak ada pikiran atau perasaan saya yang dapat memisahkan saya dari kasih Allah.

Ketakutan saya pada Alkitab pernah menjauhkan saya dari Alkitab dan terlebih dari Yesus. Tetapi saya bersyukur Allah sudah memperbarui pikiran saya dengan kuasa sukacita yang luar biasa. Mencari Tuhan dengan suka hati, dan bukan dengan terpaksa karena kewajiban, telah menyingkirkan kebutaan saya akan kuasa Alkitab yang mengubahkan. Dengan penuh kemurahan, ketakutan saya sudah diubah menjadi kekaguman akan Dia, yang dapat memerdekakan kita dari segala yang kita takutkan.

Intinya diteguhkan baru-baru ini, ketika saya diminta membaca Wahyu 21 di gereja. Ketika saya mengucapkan ayat-ayat itu dengan suara keras, saya bersukaatas janji pemulihannya: “Aku menjadikan segala sesuatu baru,” Allah berkata di ayat 5. “Perkataan ini tepat dan benar.”