Ketika Tak Ada Lagi Yang Bisa Dikatakan
(James Cain)
Kedukaan selalu sulit dijalani – tetapi akan terasa lebih mudah jika bersama sahabat.
Selama hampir satu tahun di masa remaja saya, keluarga saya tinggal di rumah peternakan sederhana di Wilderness Lane. Rumah itu berbatasan dengan sungai kecil yang bermuara ke Sungai Julington yang lebih besar, yang berkelok-kelok mengaliri Jacksonville, Florida. Kami beruntung tinggal bertetangga dengan keluarga yang punya dua anak laki-laki. Yang besar berusia sebaya saya, sekitar 14 tahun, meskipun ia sudah pergi ke sekolah swasta di seberang kota dengan naik bus setiap pagi. Anak yang kecil seusia adik laki-laki saya dan, seperti kami, ia pergi ke sekolah negeri.
Kami menghabiskan sebagian besar tahun itu, di luar waktu sekolah, dengan berkeliaran di hutan di belakang rumah kami. Kami menembaki ular dan burung-burung dengan senapan angin, memancing di Sungai St. John dan kolam di dekatnya, menggali parit untuk sistem perairan keluarga, mencoba sarung tinju, dan melakukan banyak hal lainnya.
Dalam ingatan saya yang samar-samar dari tahun itu—dan tepat di tengah-tengah beberapa kenangan itu—muncul ayah tetangga kami. Ia berperawakan tinggi dan bertutur kata lembut, rambut hitamnya disisir ke belakang dengan gaya ekor bebek ala Johnny Cash. Saya tidak begitu yakin lagi apakah ciri ini yang menggambarkannya, tetapi seperti itulah dirinya yang ada di dalam benak saya. Ia mengenakan seragam untuk bekerja, dan sekarang saat saya memikirkannya, saya tak bisa ingat apakah ia pernah mengenakan pakaian lain. Ia tampaknya memiliki kesabaran yang tak terbatas terhadap apa pun yang kami, anak-anak lelaki, ingin lakukan, dan ia memberi nasihat untuk semua proyek (yang sebagian besar tidak selesai) yang kami coba lakukan.
Tahun itu tahun yang sangat menarik, tetapi berakhir dengan tiba-tiba. Ayah saya orang yang suka berpindah-pindah. Ia tak pernah suka tinggal di satu tempat untuk waktu yang lama. Jadi kami meninggalkan Wilderness Lane untuk pindah ke lingkungan Jacksonville lainnya. Di lingkungan baru kami ada trotoar dan kolam renang, bukan hutan dan sungai, dan teman-teman baru kami bermain sepak bola sentuh dan video game. Cara hidup yang kami jalani bersama para tetangga pertama itu terasa sangat jauh berbeda sampai sepertinya kami pindah ke negara bagian lain, bukan hanya beberapa mil saja. Dan karena kami bersekolah di tempat yang berbeda dan tinggal di lingkungan yang berbeda, kami kehilangan kontak.
Sekitar satu tahun kemudian, ibu tiri saya, setelah bertemu tetangga lama di toko kelontong, memberi tahu kami bahwa ayah teman kami itu sudah meninggal. Kami mendengar berita itu dengan rasa tidak percaya, dan saya tak bisa bayangkan bahwa orang yang saya kenal itu benar-benar sudah tiada. Saat ibu tiri saya menyampaikan berita itu, sifat altruistik tampaknya muncul dalam diri ayah saya. Ia memutuskan agar kami melakukan sesuatu bersama teman-teman lama kami, semacam kegiatan untuk mengingatkan mereka bahwa kami pernah ada di sana.
Saya dan adik saya tidak begitu yakin, tetapi ketika Ayah merancang agar kami melihat sekumpulan helikopter Apache yang mangkal di Pangkalan Udara Angkatan Laut di Jacksonville, kami menyergap kesempatan itu. Kami bangun pagi-pagi pada hari Sabtu dan berkendara kembali ke wilayah Wilderness Lane.
Ketika kami memasuki gang rumahnya, semuanya masih tampak sama, kecuali bahwa rumah itu tampak kelabu dan sendu. Saya membunyikan bel, dan teman saya membukakan pintu, matanya yang biru besar bersinar seperti biasa. Kakaknya berdiri agak jauh di dalam ruangan. Ia tampak kecil dalam ingatan saya, tidak yakin juga dengan kami. Kami masuk ke dalam minivan kami, yang hening—gabungan antara kecanggungan situasi dan rasa kantuk di pagi hari.
Namun, ketika kami memasuki hanggar, mesin-mesin yang besar sekali menyentak kami dari lamunan kami yang hening. Kami bercakap-cakap tentang film-film yang pernah kami tonton, membayangkan duduk di salah satu kokpitnya yang tinggi di udara dan mendengar suara baling-baling yang membuat kami seperti akan terbang ke medan perang. Kami tidak menyinggung soal ayahnya yang telah tiada, dan mungkin itu adalah anugerah. Teman-teman kami dapat menjadi diri mereka sendiri untuk sementara waktu, mengesampingkan kesedihan mereka untuk mengalami hal yang normal dan indah. Kami berhenti untuk makan burger dalam perjalanan pulang dan mengenang serta menertawakan beberapa cerita. Ketika kami akhirnya mengucapkan selamat tinggal di pintu depan rumah mereka, hal itu tak terasa sebagai yang terakhir. Sayangnya, saya tak pernah bertemu mereka lagi.
Saya teringat kunjungan ke Apache itu hampir 30 tahun kemudian saat saya duduk di kamar rumah sakit, mengamati ayah saya yang meninggal dengan sangat cepat setelah menderita sakit lama. Saya tiba pada saat ia dalam keadaan paling lemah, dan ia pingsan sebelum kami sempat bercakap-cakap. Jadi saya hanya bercakap-cakap sendiri. Saya bercerita pada Ayah tentang kehidupan kami bersama, mengingat kembali kenangan-kenangan indah yang kami alami—sementara istri dan anak-anak saya duduk bersama saya dan mendengarkan. Ayah dan saya sudah berpisah lama, sehingga keluarga saya tidak begitu mengenalnya. Namun, saya bersyukur mereka ada di sana bersama saya. Mungkin seperti itulah yang dirasakan teman-teman masa kecil saya ketika kami melihat helikopter: berkat sederhana dari kebersamaan.
Ayah meninggal dengan tenang setelah beberapa hari di rumah sakit. Saya tidak berada di sana pada saat kejadian itu, yang tak dapat saya bayangkan—setidaknya secara tidak langsung. Ayah selalu suka berkata, “Aku ayah yang cukup baik, bukan?” Dan saya selalu mengiyakan, sebagian untuk meringankan rasa bersalahnya, dan sebagian lagi karena itu benar. Gambaran saya tentang ayah yang baik buram, tidak fokus. Ia sudah terpisah jauh begitu lama, muncul dan menghilang dalam hidup saya sesuai jadwalnya yang tak dapat dijelaskan, sehingga saya tak pernah punya kesempatan untuk mengenal siapa dia atau siapa saya sebagai anaknya. Hubungannya dengan ibu dan saudara-saudara kandung saya penuh ketegangan, tetapi saya tak pernah meragukan bahwa ia mengasihi kami dengan caranya sendiri.
Setelah pemakaman ayah saya, setelah nada-nada lagu penghormatan upacara menghilang, dan keluarga besar saya kembali ke kehidupan mereka masing-masing, saya kadang bertanya-tanya apakah saya sendirian yang mengenangnya, lalu saya menelepon saudara laki-laki saya. Kami mengobrol sebentar dan terkadang menangis bersama, tetapi sungguh merupakan anugerah bisa pergi ke suatu tempat pada saat itu, untuk melihat sesuatu—apa pun itu —yang menakjubkan bersama teman-teman yang mungkin tak akan saya temui lagi. Saya akan menerima pelarian semacam itu: mengingat petualangan dan kenangan bersama, tidak merasa terbebani untuk mengisi keheningan dengan basa-basi, tetapi hanya merasakan kehadiran satu sama lain secara nyata. Itulah jenis penghiburan yang mungkin tak terpikirkan oleh orang yang sedang berduka. Namun, itu adalah anugerah yang lebih besar dari yang kita bayangkan semula. Teman-teman Ayub mendapatkan hal itu, setidaknya pada awalnya. Mereka duduk bersamanya dalam keheningan, hadir bersamanya dalam penderitaannya.
Sekarang, ketika usia saya sudah mendekati usia ayah teman kami saat ia meninggal, saya akhirnya menyadari hal yang tampaknya sudah disadari ayah saya selama bertahun-tahun lalu itu. Saat Anda kehilangan seseorang, sungguh merupakan anugerah luar biasa bisa memiliki orang-orang di dekat Anda. Jika mereka mengetahui sesuatu tentang kehilangan Anda—jika mereka dapat mengingat bersama Anda mengapa Anda menangis—itu jauh lebih baik. Namun, jika mereka hanya dapat bersama Anda, bahkan dalam diam, anugerah itu juga sudah sangat berarti.
Ayah saya tidak sempurna, tetapi ia memahami hal ini: Meskipun kesedihan kita harus ditanggung sendiri, memiliki seseorang yang berjalan bersama kita dapat meringankan beban itu. Saya bersyukur atas pelajaran itu—dan atas orang yang mengajarkan hal itu pada saya.