Lapangan Tuhan
Oleh Stefani McDade
Udaranya lembab disertai keringat, sementara 10 pasang sepatu olahraga menghentak lapangan. Di jalan Jonesboro, Georgia, beberapa dari pria ini adalah pengedar narkoba, pecandu dan anggota geng. Namun di Gereja Baptis Mt. Zion ini, yang dipedulikan adalah berapa menit waktu yang tersisa. Gereja ini dimulai dengan pelayanan bola basketnya, dengan mengundang para pria yang bermain di lapangan publik tidak jauh dari gereja ini – suatu sarang bagi narkoba dan kegiatan geng. Namun beritanya tersebar, dan tak lama kemudian 60 pria muda mulai datang setiap Minggu malam untuk bermain, bersosialisasi dan menikmati makanan yang tersedia.
Beberapa tahun yang lalu, ketika bank menelepon untuk mengambil alih Akademi Kristen Mt. Zion, sekolah K-12 yang dimiliki gereja ini, tak seorang pun yang menduga bahwa pada suatu hari nanti, lapanganbasketnya akan menjadi rumah bagi pelayanan yang berkembang. Oleh karena demografi area yang berubah, banyak dari jemaat yang pindah, dan hal ini membuat semakin sulit bagi gereja untuk mempertahankan propertinya. Namun jemaat yang menetap melawan penyitaan melalui tindakan kemurahan hati yang berlimpah. Beberapa dari mereka mendonasikan keuntungan penjualan rumahnya. Beberapa orang menghabiskan waktu berjam-jam masuk ke hutan untuk mendapatkan lempengan-lempengan logam yang bisa dijual dan menghasilkan uang. Bukannya menutup diri, gereja ini justru membuka pintunya bagi lingkungan sekitar yang kebutuhannya semakin meningkat setiap tahunnya – suatu fakta yang terjadi di suatu pagi musim semi di tahun 2015, suatu momen yang diingat Pendeta Chris Reynolds sebagai sesuatu yang membangunkannya.
Saat itu adalah hari Minggu, dan Reynold sedang bersiap untuk ke gereja saat teleponnya berbunyi: seorang gelandangan nampak tertidur di depan pintu gerejanya. Beberapa jemaat berusaha membangunkannya, tapi ia tidak merespon. Dan itulah saat mereka menyadari adanya senapan. Namun kemudian Reynold terkejut saat mengetahui bahwa pria itu telah berjalan berkilo-kilometer untuk mengakhiri hidupnya di depan gedung gereja mereka. “Ia bisa saja bunuh diri dimanapun”, kata Reynolds. Belum sampai usia 30 tahun, anak muda kulit hitam ini adalah korban dari tidak adanya pengharapan di area ini. Pagi itu, selagi jemaat masuk ke gereja dan melewati mobil polisi dan ambulans, jelas baginya bahwa sesuatu harus berubah. Dan beberapa minggu kemudian, dimulailah pelayanan lapangan basket yang terbuka bagi siapapun.
Diantara mereka yang rutin hadir di lapangan adalah Gordon Hutton – seorang mantan pengedar narkoba dan pecandu meth yang menggelandang di jalan. Namun melalui hubungan yang dibangun di Mt. Zion, akhirnya ia menerima injil dan dibaptis. Saat ini, selama jam lapangan basket dibuka, Hutton mengawasi pertandingan dan bergaul di sisi tribun. Ia juga memimpun grup pemulihan bernama No Masks dan menggunakan bisnis kecil restorasi rumah miliknya untuk mempekerjakan mereka yang telah membangun kembali kehidupan mereka. Pada suatu kali, Hutton menawarkan pekerjaan paruh waktu kepada seorang pemuda pemalu berusia 20 tahun bernama Delaney, yang akhirnya rutin hadir saat ruang olahraga dibuka malam hari. Biasanya, keduanya berbincang, akan tetapi iman Delaney kepada Kristus masih jauh. Beberapa bulan kemudian, ketika Hutton membagikan kesaksiannya dan memberitakan Injil di waktu istirahat, Delaney ada disana. Ia memberikan hidupnya kepada Tuhan pada hari itu, bersama 6 pria lainnya.
“Bola basket adalah suatu alat untuk mengatakan bahwa Yesus mengasihi Anda,” kata Reynolds. Daya tarik suatu geng adalah, “Mereka menginginkan saya. Mereka mengasihi saya. Mereka menerima saya. Mereka akan ada disini bagi saya,” katanya. “Gereja membahasnya, dan geng-geng berada di jalan dan mempraktekkannya – lalu siapa yang akan mendapatkan anak-anak?
Bagi para pria muda ini, lapangan basket yang terbuka adalah suatu surga dari realita keras kehidupan di jalanan. Namun juga ada urgensi untuk memberikan harapan dari kehidupan yang akan datang. Beberapa minggu setelah Delaney percaya kepada Kristus sebagai Juruselamatnya, ia ditembak lima kali di dadanya dan meninggal. Ia tidak terlibat di geng ataupun obat-obatan; ia hanya berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Beberapa orang mungkin bertanya apakah bola basket ini membawa suatu perubahan. Namun bagi Delaney dan lainnya, lapangan basket ini lebih dari sekedar suatu lapangan – ini adalah tempat dimana mereka berjumpa dengan Yesus.