Maklumilah Pendeta Anda
(Vic Pentz)
Tuhanlah pembicara sesungguhnya dari setiap kotbah, dan kita perlu mendengarkan dengan saksama
Kota Korintus memiliki banyak pembicara terkemuka. Pada zaman itu, orator yang memukau adalah satu-satunya pertunjukan menarik di kota itu. Mereka akan menarik orang banyak seperti laron berkerumun di sekitar lampu ketika orang berbondong-bondong datang untuk mendengarkan pembicara favorit mereka. Tak heran kalau favoritisme ini terbawa ke dalam gereja. Bayangkan telepon yang berdering di kantor gereja Korintus dan suara yang bertanya, “Apakah Apolos akan berkotbah hari Minggu ini?” atau “Saya dengar Kefas (Petrus) akan datang ke kota ini—saya tak sabar lagi menunggu duduk di baris depan bersama semua teman saya.”
Meski kedengarannya tidak berbahaya, hal ini memecah belah gereja. Penggemar Paulus bersitegang dengan penggemar Petrus, yang bertikai dengan penggemar Apolos. Orang-orang bahkan saling membanggakan pendeta yang membaptis mereka. Hal ini menginspirasi Paulus untuk mengambil pena dan menulis surat, yang saya parafrasekan seperti ini: “Dengarlah teman-teman, Apolos, Petrus, dan saya adalah pemimpin klub penggemar satu sama lain. Kami satu untuk semua dan semua untuk satu. Kalian harus berhenti memecah belah gereja hanya karena salah satu dari kami kebetulan menjadi favorit kalian.”
Lalu Paulus memakai kiasan untuk memperjelas maksudnya. Pada intinya ia berkata, “Kamu adalah ladang Tuhan. Kami para pengkotbah hanyalah pekerja ladang. Aku menanam. Apolos menyiram, dan orang lain menuai. Kami para pengkotbah bukanlah para bintang. Kami lebih seperti tukang kebun yang membantu pertumbuhan orang” (Lihat 1 Korintus 1:10-17, 1 Korintus 3:5-9).
Orang Biasa, Mendengarkan Luar Biasa
Sebagai pendeta muda, ini menjadi kabar baik bagi saya. Saya tidak perlu menjadi orator yang memukau seperti para filsuf, cukup menjadi orang yang setia memberi penjelasan tentang firman Tuhan. Saya bisa menabur benih di ladang ini, menyirami, memberi pupuk, dan menyaksikan Tuhan menumbuhkan buahnya. Dalam kegiatan mengajar, saya menjadi kecil dan Tuhan menjadi besar.
Apa yang membuat perbedaan? Saya tak dapat menemukan satu ayat pun di Alkitab yang mengatakan Tuhan membutuhkan pembicara yang baik. Yang saya temukan berulang kali adalah bahwa kita harus menjadi pendengar yang baik, bahwa kita harus menerima perkataan Yesus. Terlalu berfokus pada pembicara akan membuat kita datang ke gereja dengan pikiran pasif, mengalihkan semua tanggung jawab kepada pengkotbah dan merasa tidak berkewajiban untuk mendengarkan jika pembicara tidak “melibatkan” kita atau “membahas persoalan kita.” Kita bahkan mungkin berpikir kitalah yang menentukan apakah ia “cukup baik” atau tidak. Padahal aktivitas kita yang terpenting dalam ibadah—bahkan lebih penting dari berbicara—adalah mendengarkan. Tuhan membawa kita ke tempat kudus agar kita duduk diam dan mendengarkan Dia.
Tetapi itu tidak menjamin kita akan mendengar suara Tuhan. Agar dapat terhubung dengan Tuhan dalam ibadah, para penyembah harus melakukan tiga lompatan iman setiap hari Minggu.
Pertama, percaya bahwa Tuhan berbicara.
Sebagai anggota jemaat biasa, percayalah bahwa Tuhan berbicara melalui pengkotbah manusia yang berdiri di hadapan Anda. Anda mungkin berkata, “Tentu saja, pendeta saya berkotbah dari Alkitab, dan Alkitab adalah firman Tuhan.” Tetapi yang saya maksud jauh lebih menggetarkan dari itu. Kristus berkotbah melalui pendeta Anda. Jika pendeta Anda setia menguraikan Kitab Suci, Yesus akan memakai perkataan itu dan menyelaraskannya dengan hidup Anda, mengisinya dengan kuasa-Nya, dan mengirimkannya dengan akurasi yang tepat ke relung jiwa Anda yang terdalam.
Saya selalu takjub melihat bagaimana ratusan orang dari berbagai lapisan masyarakat pulang dari kebaktian yang sama dan berkata, “Wah, perkataannya mengena sekali pada saya pagi ini.” Seorang wanita bahkan meninggalkan ibadah sambil bergumam, “Kepada siapa ia berkotbah jika saya tidak ada di sini?” Bagi saya, itu konfirmasi tertinggi dari sebuah mukjizat. Setiap Minggu, pendeta menjelaskan teks Yahudi kuno dari arsip sejarah Timur Tengah, dan semua orang ini berkata, “Ia mengerti saya banget!” Anda tak bisa berkata bahwa Roh Kudus tidak benar-benar berbicara.
Kedua, datang sebagai partisipan, bukan sebagai penonton.
Setiap pengunjung kebaktian harus mendengarkan Tuhan dengan kasih. Pada tahun terakhir saya di perguruan tinggi, seorang gadis cantik masuk ke kelas saya. Saya terpikat. Namun seiring cinta bertumbuh, fokusnya berpindah dari mata ke telinga. Dari yang dulu “Wow, lihat itu” – sekarang, 54 tahun kemudian, menjadi “Aku suka suara tawanya.” Demikian pula, seiring bertumbuhnya kasih kita kepada Tuhan, perhatian kita seharusnya lebih fokus pada mendengar suara-Nya.
Dalam buku Caring Enough to Hear and Be Heard, penanggung jawab pelayanan pastoral dan konseling David W. Augsburger menulis, “Didengarkan sangat dekat dengan dikasihi, sehingga bagi kebanyakan orang, keduanya hampir tak dapat dibedakan.” Melakukan kontak mata, merespons dengan pertanyaan yang baik, mengangguk—dengan kata lain, memberi perhatian penuh pada seseorang—adalah tindakan kasih yang mendalam. Dengan mendengarkan, kita menunjukkan bahwa kita ada bagi orang itu. Kita menerima realitas mereka dalam diri kita.
Bagaimana Anda dapat menunjukkan kasih kepada Tuhan selama kotbah disampaikan? Dengarkan; camkan setiap kata. Lompatan iman yang kedua adalah percaya bahwa yang Anda dengar adalah inti ibadah—dan itu sangat penting bagi Tuhan.
Ketiga, percaya bahwa kotbah bukan sekadar pidato, tetapi menyatakan kuasa Tuhan.
Tak ada yang lebih tepat mengungkapkan hal ini selain Yesaya 55:11, saat Tuhan berkata, “Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya.”
Tidak akan kembali dengan sia-sia. Perkataan inilah yang membuat para pengkotbah terus maju. Kadang yang terjadi seperti sebaliknya. Benih yang ditabur di ladang tampaknya tidak bertumbuh. Para pendengar tampaknya tidak mendengarkan. Saya menghabiskan tahun-tahun awal pelayanan saya di kelompok kaum muda di sepanjang pantai California Selatan. Sekalipun terdengar indah, budaya peselancar sulit ditembus, dan itu adalah tahun-tahun yang berat. Saya menyelamatkan banyak anak dari penanganan polisi karena hal-hal seperti kepemilikan narkoba dan pencurian di toko.
Ada peselancar bernama Troy yang pemarah. Keluarganya tidak sekaya keluarga-keluarga lainnya, dan saya pikir ia mungkin merasa harus membuktikan sesuatu. Saya terus berusaha mendekati Troy tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya, saya pindah dan kehilangan jejak sebagian besar anak-anak itu. Namun, belum lama ini saya menerima email yang dimulai dengan, “Apakah Anda Vic Pentz yang melayani kaum muda pada tahun 70-an di Palos Verdes, California?”
Saya pernah meminta orang-orang dewasa untuk duduk di sebelah orang-orang yang dikenal sebagai pembuat onar seperti Troy. Pada malam-malam tertentu, saya harus berhenti bicara dan meminta agar mereka tidak gaduh. Namun, ketika Troy duduk di lantai, dengan punggung bersandar ke dinding—tampak bosan, seperti biasa, dengan pembicaraan malam itu dan menghitung detik-detik sebelum ia bisa bergegas keluar menuju kebebasan dan kesenangan (dan kenakalan)—satu atau dua benih Injil mendarat di bebatuan hati Troy. Awalnya? Tidak ada. Tetapi di dalam email itu, ia berkata pada saya, “Saya dulu mengira tak ada gunanya, jadi saya undur. Namun, ada sesuatu yang menghantui dan mengikuti saya. Berkat kasih karunia Tuhan, seiring berjalannya waktu, banyak benih yang mulai berkecambah.”
Ia melanjutkan, “Benih-benih itu berbuah dalam kehidupan putri-putri saya, Emily dan Madison. Banyak sekali malam-malam Anda berbagi makanan pada kami ketika keluarga saya mendengarkan salah satu kotbah Anda di internet. Kami dengan penuh kasih menyebutnya ‘Pasta dan Pentz’ atau ‘Pizza dan Pentz.’ Dan Emily melanjutkan tradisi ini dengan teman-teman sekamarnya di perguruan tinggi melalui siniar Anda. Siapa yang menyangka Anda akan bekerja dengan mahasiswa lagi setelah sekian lama?”
Bahkan kami para pendeta yang merancang, menyiapkan, dan menyampaikan kotbah terus-menerus dibuat heran oleh dampak kotbah-kotbah kami (Oh, kami yang kurang beriman!). Apalagi, kami tak dapat mengantisipasi buah dari kotbah tertentu. Para pendengar kami pun tidak tahu. Tetapi bagaimanapun kami bisa percaya, entah buah itu langsung terlihat atau tidak, Tuhan terus bekerja di dalam kami. Bagaimanapun, firman Tuhan tidak akan kembali dengan sia-sia. Tuhan setia – dalam setiap kotbah hari Minggu yang biasa, bagi setiap orang biasa.
