Masalah Kerentanan

(Chris Castaldo)

Persahabatan dan pengorbanan Yesus di kayu salib terbuat dari hal yang sama.

 

Di dalam budaya media sosial sekarang ini, persahabatan bisa menjadi hal yang menantang. Sudah hal yang lumrah orang menjalin persahabatan melalui Instagram, Snapchat, Twitter, tanpa pernah bertemu secara langsung. Kita “berteman” dan saling “follow” di Fesbuk, meskipun faktanya banyak dari kita tidak pernah saling berjumpa. Kita berpartisipasi dalam yang kita sebut “komunitas daring,” meskipun dengan keterbukaan diri yang terbatas pada hal-hal yang baik-baik dan aman-aman saja.

Persahabatan juga menantang ketika Anda duduk berseberangan dengan seorang teman – terutama ketika muncul perbedaan-perbedaan dalam kepercayaan yang dianut secara mendalam. Anda mungkin mendapati diri Anda duduk bersama seorang yang Anda kenal baik, tetapi berseberangan secara politik, yang satu di kiri, dan yang lainnya di kanan. Anda pada umumnya berusaha menghindari isu-isu yang berkaitan dengan politik, tetapi ketika percakapan bergulir secara tak terduga, bagaimana? Apakah Anda lalu menjadi aktor dan hanya memakai topeng seperti yang dikatakan T. S. Eliot: “Menyiapkan sebuah wajah untuk menghadapi wajah-wajah yang Anda temui?” Atau dapatkah Anda menyusuri perbedaan-perbedaan sebagai sahabat dengan kerentanan, kesetiaan dan kasih?

Agustinus dari Hippo (354 – 430) termasuk penulis Kristen pertama yang menyoroti tantangan dan kesempatan dalam persabahatan. Sebagai contoh, menjelang bagian akhir buku The City of God iamenulis, “Tidak ada penghiburan yang lebih besar selain kasih yang timbal-balik dan kesetiaan yang tidak dibuat-buat dari orang-orang baik yang menjadi sahabat sejati” (19.8). Tetapi anugerah persahabatan ini, menurut Agustinus, juga menantang. Ia melanjutkan, “Kita menjadi khawatir… [bahwa sahabat-sahabat ini] bisa saja mengecewakan kita dalam kesetiaan, berbalik membenci kita dan mencelakai kita.”

Jika kita menyimpulkan alasan di balik kekhawatiran Agustinus, kita bisa memakai kata “kerentanan.” Suatu kenyataan yang tak dapat dihindari adalah persahabatan yang tulus selalu membuat kita agak tidak terlindung. Perhatikan cara C.S. Lewis menjelaskannya:

Mencintai sepenuhnya berarti siap menjadi rentan. Cintailah sesuatu, maka hati Anda pasti akan terluka dan kemungkinan akan hancur. Jika Anda ingin memastikan hati Anda tetap utuh, Anda tidak boleh memberikan hati Anda kepada siapa/apa pun, termasuk kepada hewan. Bungkuslah baik-baik hati Anda di sekeliling hobi Anda dan kemewahan-kemewahan kecil; hindari segala keterlibatan;simpan baik-baik di dalam peti mati egoisme Anda sendiri. Maka di dalam peti mati itu—yang aman, gelap, tiada gerakan, tanpa udara—ia akan berubah. Hati Anda tidak akan hancur; tetapi akan menjadi tak dapat dihancurkan, tak dapat ditembus dan tak dapat ditebus.

Sayangnya, kekhawatiran ini terlalu sering menahan kita dari risiko kerentanan, yang pada gilirannya bisa memiskinkan persahabatan. Menghadapi tantangan ini, kita perlu mengalihkan pandangan kita kepada Tuhan Tritunggal yang menunjukkan ciri-ciri persahabatan yang otentik.

Di masa sekarang ini, seperti halnya pada zaman dahulu, banyak orang mencoba memahami hubungan dengan Sang ilahi. Dalam mitologi Yunani, di sekitarFertile Crescent(Daerah Bulan Sabit yang Subur) sampai ke Mesopotamia, kita menemukan agama-agama yang motivasi relasionalnya digerakkan oleh inisiatif manusia, gerakan dari bumi kepada dewa/tuhan yang transenden. Meskipun ada banyak kesibukan para imam yang bekerja di kuil-kuil, dewa/tuhan bangsa-bangsa ini diakui tak dapat didekati.

Tetapi pengalaman bangsa Israel tidaklah demikian. Sejak pada mulanya, Tuhan dalam Alkitab jelas-jelas tidak seperti dewa-dewa bangsa-bangsa lain. Dengan merendahkan diri-Nya untuk bersekutu dengan umat-Nya, sungguh-sungguh berbicara dengan Musa berhadapan muka – Dia menunjukkan kasih teragung, yang dalam persahabatan-persahabatan kita hanyalah pantulannya saja. Lintasan relasi ini selalu merupakan gerakan dari surga ke bumi, dari Tuhan kepada manusia. Inisiatifnya datang dari Tuhan. Oleh kasih karunia dan kemurahan-Nya yang besar, Tuhan tidak hanya melihat ke bawah, tetapi Dia juga turun ke bawah untuk bersama umat-Nya: Sang Pencipta bersama ciptaan-Nya, kekudusan bersama kenajisan. Dan meskipun menakutkan berada dalam kekudusan semacam itu, Tuhan menyingkapkan karakter-Nya dalam konteks Gunung Sinai di mana Dia menggambarkan diri-Nya sebagai “TUHAN, TUHAN yang penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Keluaran 34:6).

Perjanjian Baru menyingkapkan kedalaman kasih dan akses yang mendebarkan hati ini. Di sini kita menemukan Tuhan yang menciptakan dunia dengan berfirman menjadi Bayi yang tidak berkata-kata. Perwujudan kasih yang sempurna melalui rahim seorang gadis, yang dibaringkan dalam palungan. Yang menangis di kuburan Lazarus, membasuh kaki murid-murid-Nya, dan akhirnya mati disalibkan bagi dosa-dosa dunia – Yesus mengungkapkan kasih ilahi melalui kerentanan.

Bagaimana bentuk-salib kehidupan Yesus berbicara pada persahabatan kita? Intinya, hal itu menegur kekhawatiran kita untuk mengungkapkan kasih kepada satu sama lain dan menginspirasi kita tentang kerentanan. Sebagaimana salib Kristus mencakup penolakan dan penderitaan, persahabatan juga memanggil kita untuk menerima kesusahan tertentu – perjuangan terus-menerus untuk mengasihi orang berdosa lain. Kita sadar bahwa dalam beberapa hal, kasih kita tidak akan berbalas; bahkan mungkin dicemooh. Namun, meskipun demikian, kita memilih untuk mengasihi. Mengapa? Karena Juru Selamat yang memanggil kita menjadi sahabat-Nya memerintahkan kita untuk melakukan hal itu: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12).