Mata Untuk Melihat Kecantikan Yang Sesungguhnya
Tahun 1989, Patrick bekerja di Kalighat, India, di rumah orang-orang miskin papa dan sekarat, tempat tinggal dan pelayanan para anggota the Sisters of Mercy. Suatu hari ketika ia sedang asyik membaca surat, seorang biarawati bertubuh mungil menyentuhnya dan berkata, “Diberkatilah engkau, anakku.” Ia mengangkat wajahnya dan melihat Ibu Teresa.
Tahun 2015, saya melihat-lihat gambar-gambar dari bidang pelayanan wanita. Kutipan kata-kata mutiara dengan gambar-gambar wanita muda nan cantik terpampang di kotak Instagram. Dan saya langsung teringat pada kenangan perjumpaan suami saya dengan wanita cantik bertangan-keriput yang penuh kasih. Saya menggelengkan kepala. Ibu Teresa tentu saja tidak memenuhi standar kecantikan budaya kita. Dan saya khawatir beliau juga tidak memenuhi standar gereja.
Kita terbalik, teman-teman. Ketika kita mengagungkan kemudaan dan mengedepankan daya tarik, kita menyimpang dari standar Alkitab tentang kecantikan. Lalu, mengapa kita memasang gambar-gambar yang diakui budaya ini? Mengapa kita menerima standar kecantikan yang asing ini?
Banyak orang mungkin mengatakan semua perkataan yang benar tentang pentingnya kecantikan batiniah, tetapi gambar-gambar kita mengkhianati kita. Hal ini tidak mengherankan, karena banyak orang setiap hari (bahkan setiap menit) dibombardir dengan gambar-gambar Photoshop yang mustahil. Gambar-gambar yang meneriakkan bahwa tubuh yang sempurna dan kulit awet muda lebih berharga daripada tubuh berparut dan wajah keriput yang tersenyum.
Gereja seharusnya mengedepankan standar kerajaan Allah yang akurat tentang kecantikan – yang berasal dari kerelaan berkorban dan tidak mementingkan diri sendiri, melayani, berhikmat, dan berkasih karunia di tengah kehancuran. Petrus membicarakan hal ini ketika ia menulis, “Perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.” (I Petrus 3:4). Betapa indahnya penghargaan Petrus terhadap kualitas batiniah ini. Dan betapa revolusionernya dunia ini jika ada lebih banyak pria yang memuji jenis kecantikan yang tak akan pudar ini secara terbuka di tempat kerja dan di dalam keluarga.
Sebagian orang mungkin membaca hal yang tak begitu menyenangkan ini dengan menganggap saya iri. Bagaimana pun saya memang tidak cocok menjadi sosok cantik di Instagram. Tidak ada foto-foto saya yang sedang tertawa di ponsel saya, dengan memakai sepatu hak tinggi, memegang Alkitab di tangan kiri di tengah bentangan langit biru. Saya tidak berlari-lari di tengah hujan dengan pakaian yang dirancang ketat. Saya juga tidak membagikan rahasia-rahasia kepada sesama orang muda dan teman-teman cantik sambil minum-minum kopi di kafe favorit.
Usia saya 48 tahun. Saya sudah memiliki kerut-kerut di sekitar mata, kelebihan berat badan yang tak bisa dilimpahkan, dan sebuah hati untuk melayani banyak orang. Namun saya merasa terpinggirkan oleh gambar-gambar di media sosial. Meskipun dengan menjajarkan pikiran positif, Alkitab dan 20 kecantikan tertentu, semua tampaknya berkata pada saya bahwa saya tidak berharga, tidak cukup berarti. Bahwa standar sebenarnya adalah yang kelihatan dari luar – dan mustahil.
Saya bersyukur memiliki suami yang berempati. Dan lebih dari itu, setiap hari ia mengatakan bahwa saya cantik. Ketika iklan yang provokatif muncul di televisi, ia akan melihat ke arah saya dan berkata bahwa sayalah yang ia inginkan. Konsistensinya dalam hal ini melegakan saya dalam banyak hal. Namun terkadang dukungannya yang begitu nyata dikalahkan oleh banyaknya gambar-gambar yang berseru-seru, “Kamu harus begini. Kamu harus begitu.”
Masalahnya adalah, apakah gambar-gambar dan obsesi kesempurnaan ini sampai juga kepada para istri, anak-anak perempuan, teman-teman, kaum ibu, dan nenek-nenek di gereja? Kepada mereka yang selalu berjuang untuk makan dan berolahraga dengan benar namun tetap tak bisa mengendalikan kelebihan berat badannya? Kepada mereka yang kesehatannya memburuk digerogoti penyakit dan usia? Kepada mereka yang masih muda namun tak pernah merasa cukup untuk mencapai standar orang-orang cantik yang dipampang di majalah-majalah?
Satu kata muncul: putus asa. Namun, semakin saya bertambah usia dan semakin jauh dari gambaran “ideal,” muncullah tanda-tanda dari jenis kemolekan yang saya rindukan, standar kecantikan Ibu Teresa yang saya perlukan — jiwa yang mengampuni, hati yang melepaskan kendali, lutut yang cepat bertelut berdoa di tengah tragedi. Saya rindu memiliki mata yang memandang kecantikan batiniah orang-orang yang tidak mencerminkan standar budaya kita yang mustahil, telinga yang mendengar kisah-kisah orang yang sudah berjalan lebih dulu dari saya, tangan yang menopang orang-orang lemah.
Inilah yang ingin saya lihat digambarkan oleh orang Kristen: realitas. Gambar-gambar nyata dari kecantikan yang diilhami Allah, dengan hati yang lebih indah dari warna lipstik. Gambar wanita-wanita yang melayani Kristus di daerah-daerah kumuh, yang penduduknya sudah kehilangan harapan. Gambar tangan-tangan yang lelah bekerja mengurusi kebutuhan anak-anak. Sosok orang saleh berusia 80 tahun yang mengembangkan senyumnya dengan tertawa. Gambar-gambar Instagram dari wanita-wanita biasa yang diabaikan, yang hanya mentaati Yesus dengan cara yang tidak mentereng. Gambar-gambar para pahlawan iman, tanpa menghiraukan berapa pun usianya, tinggi badannya atau demografinya.
Alkitab menunjukkan bahwa Yesus bukanlah bintang filem yang menarik. “Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.” (Yesaya 53:2). Namun, Dialah Manusia terindah di bumi. Jika kita mau menjadi pengikut-Nya, kita perlu ingat bahwa sifat Juru Selamat kita yang berdampak berasal dari kecantikan batiniah-Nya yang luar biasa.
Mengenai gambar-gambar yang dipakai gereja, janganlah kita menjadi peniru budaya yang gila, tetapi marilah kita merefleksikan wanita-wanita luar biasa yang memancarkan keindahan seperti yang Yesus lakukan, dari hati yang indah.
– Mary DeMuth