Melawan Kejahatan Melalui Pengetahuan
Saat hadir di dunia daring, biarlah kita cepat untuk mencek faktanya dan lambat untuk menampilkannya.
Oleh : Charity Singleton Craig
Ketika saya masih menjadi mahasiswa jurnalisme, penasehat koran kampus kami, Marilyn Walker, terus memperingatkan kami tentang bahaya anonimitas (tidak diketahui namanya). Ia tidak akan mengijinkan kami mempublikasikan surat-surat yang tidak bertanda-tangan ke editor. Kami tidak dapat mengutip sumber tak bernama. Kecuali dalam kisah yang melibatkan anak di bawah umur, barulah kami dapat menghilangkan nama subyek kami.
Anonimitas merongrong integritas dan akuntabilitas jurnalistik, klaim ibu Walker. Tentu saja hal ini terjadi sebelum adanya Internet, sebelum ada ruang obrolan dan blog, sebelum ada Facebook dan Twitter. Saat ini, para jurnalis masih berperang melawan bahaya anonimitas, namun sebagian besar kita tidak melakukan hal yang sama.
Memang benar bahwa tidak semua tindakan anonim, di dunia daring atau tempat lainnya, adalah jahat. Seringkali, orang menggunakan anonimitas untuk melindungi diri mereka dan orang lain saat mengekspos ketidak-adilan atau aktivitas ilegal. Namun terlalu sering, anonimitas di internet, menciptakan suatu arus bagi kejahatan untuk mengalir dalam kehidupan kita, dan sedikit dari kita yang tahu apa yang harus dilakukan.
Menurut artikel majalah Time baru-baru ini yang ditulis oleh Joel Stein, “dampak disinhibisi (kelakuan yang tidak sesuai budaya dan norma-norma sosial yang berlaku karena terganggunya/hilangnya fungsi pengendalian diri) daring” ini terjadi ketika “faktor-faktor seperti anonimitas, sumber yang tidak terlihat, kurangnya wewenang dan tidak menyampaikan langsung saat peristiwanya terjadi — menanggalkan nilai-nilai yang dibangun oleh masyarakat selama ribuan tahun.”
Hampir dari kita semua telah pernah membaca tulisan tetangga kita atau mantan teman sekelas atau anak-anak kita – atau bahkan diri kita sendiri – yang menyebabkan ketidaknyamanan pada diri kita dan membuat kita menggelengkan kepala tanda ketidaksetujuan kita. Kita berpikir, “ia tidak akan pernah mengatakan hal ini langsung di depan orangnya.”
Sebagai anak-anak terang, kita memiliki kesempatan untuk membawa terang Allah ke setiap sudut Internet yang kita tempati.
Yang menjadi masalah dengan anonimitas adalah bahwa biasanya kita tidak tahu siapa yang membacanya. Terkadang, kita langsung melibatkan individu-individu yang kita tidak tahu sama sekali tentangnya. Menavigasi percakapan dengan audiens yang kita tidak ketahui, seumpama berjalan masuk ke dalam kegelapan. Mungkin tidak ada hambatan, tidak ada sesuatu pun yang menghalangi jalan kita. Di sisi lain, mungkin saja ada yang menghalangi. Kita mulai takut dengan apa yang kita tidak ketahui.
Jadi, bagaimana kita menavigasi ruang daring tanpa kehilangan “tata cara” masyarakat dan iman kita? Dalam 1 Tesalonika 5:5, rasul Paulus menulis, “Kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan.”Sebagai anak-anak terang, kita memiliki kesempatan untuk membawa terang Allah ke setiap sudut Internet yang kita tempati, cukup dengan kehadiran kita. Dengan kata lain, bila kita menjadi terangnya.
“Baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan,” tulisPaulus (I Tesalonika 5:8). “Nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan” (I Tesalonika 5:11). Kita membawa terang kepada interaksi daring kita dimana kita mengekspresikan iman, pengharapan dan kasih dari Terang yang sejati.
Kita berkewajiban untuk mengetahui apa yang kita sedang bicarakan, dan kita bertanggung jawab untuk mengetahui kepada siapa kita berbicara.
Menjadi terang dalam kegelapan juga berarti menghormati kebenaran. Pertama, kita berkewajiban untuk mengetahui apa yang kita sedang bicarakan. Dengan kata lain, cepat untuk mencek faktanya dan lambat untuk menampilkannya, sebagaimana Yakobus memperingatkan kita untuk zaman Internet ini (Yakobus 1:19). Pada saat yang sama, kita bertanggung jawab untuk mengetahui kepada siapa kita berbicara. Seorang teman saya seringkali mengingatkan teman lainnya dalam tautan Facebook bahwa segala jenis orang kemungkinan besar membacanya, termasuk mereka yang tidak setuju dan mereka yang mungkin akan terluka oleh opini yang dikemukakan. Tentu saja, itu tidak berarti kita tidak pernah boleh mengekspresikan suatu opini, namun saat kita melakukannya, sebagaimana yang Paulus lakukan, jadilah segala sesuatu bagi semua orang demi Injil (I Korintus 9:19-23).
Akhirnya, cara terbaik untuk membawa terang kepada interaksi daring kita adalah dengan mengukur interaksi itu oleh hubungan pribadi kita. Tentu saja, beberapa dari kita bergumul untuk berhubungan lebih dalam dengan orang lain secara pribadi oleh karena faktor geografi, keadaan, atau bahkan tipe kepribadian. Namun dengan menggunakan tes kepribadian akan membantu kita memperlakukan setiap orang dalam kehidupan kita, baik di dunia daring maupun langsung bertatap muka, dengan kasih dan kepedulian yang diajarkan Alkitab kepada kita.
Kejahatan yang ada di sekitar kita pun seringkali menemukan jalan masuk ke dalam ruang-ruang intim kehidupan kita melalui akses daring dan alat-alat digital kita. Namun kita dapat melawan kejahatan dengan menolak kemudahan anonimitas dan menemukan cara-cara baru untuk mengenal dan berhubungan dengan orang lain, baik secara daring maupun bertatap muka.