Melihat Lebih Dekat
(Joseph E. Miller, Kayla Yiu)
Persahabatan sejati, berapapun lamanya, dapat memberi dampak abadi.
Setiap bulan, dua orang staf penulis akan menanggapi pengajaran Dr. Stanley. Kali ini, ada Kayla Yiu dan Joseph E. Miller yang akan memberikan perspektif mereka tentang kekuatan persahabatan sejati, sebagai tanggapan atas tulisan yang berjudul “In Good Company.”
“Aspek paling menakjubkan dari perjumpaan terakhir Yonatan dengan Daud adalah kerelaannya untuk menempati posisi kedua. Tak pernah ada persaingan di antara kedua orang ini, meskipun yang satu adalah pewaris takhta yang asli dan yang satunya adalah calon raja yang diurapi Tuhan. Kerendahan hati Yonatan memampukannya untuk menerima pilihan Tuhan yang berdaulat dan menyerahkan tahtanya, dengan berkata, ‘Engkau akan menjadi raja atas Israel, dan aku akan menjadi orang kedua di bawahmu’ (1 Samuel 23:17). Banyak persahabatan berakhir karena kesombongan dan kecemburuan, tetapi kerendahan hati yang tidak mementingkan diri sendiri membangun hubungan.”
“Kita semua ingin memiliki sahabat yang setia seperti Yonatan, tetapi kita juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi sahabat yang setia bagi orang lain. Terkadang kita lupa bahwa persahabatan yang langgeng adalah sebuah usaha bersama untuk saling membangun hubungan. Hubungan akan kandas ketika salah satu orang/pihak saja yang selalu memberi. Meskipun ada kalanya pihak yang satu merupakan pihak yang lebih banyak menerima, tetapi dalam hubungan jangka panjang, perlu ada keseimbangan.”
Tanggapan 1 (oleh Kayla Yiu)
Kesetiaan Yonatan pada Daud banyak mengingatkan saya pada sahabat saya Caryn, yang saya kenal sejak di perguruan tinggi. Ia biasa datang ke kampus pada akhir pekan untuk bertemu dengan pacarnya (sekarang sudah menjadi suaminya) dan menginap di kamar asrama saya. Saya akan duduk di atas tempat tidur dan ia mendekam di sofa kesayangan, dan kami akan bergadang sampai larut malam untuk mengobrol. Kami menjadi akrab sejak saat itu.
Tetapi sekira tiga atau empat tahun persahabatan kami, saya mulai “bertingkah”. Jika melihat ke belakang, saya dulu tersesat dan menyambar apa saja untuk mendapatkan rasa aman, tetapi saya tak bisa mengungkapkannya pada saat itu. Saya menghabiskan waktu bersama orang-orang yang tidak beres, minum-minum hingga larut malam, dan semacamnya, dan semua itu membuat hubungan saya dengan Caryn menjadi tegang.
Akhirnya masa itu berlalu, dan saya menjadi jelas betapa sabar dan penuh pengertiannya sahabat saya itu. Keluarga saya sendiri sudah menghakimi dan memperlakukan saya secara berbeda, tetapi tidak demikian dengan Caryn. Saya yakin ia juga tidak setuju dengan pilihan-pilihan saya, bahkan mungkin sangat mengkhawatirkannya , tetapi tidak ada yang berubah di antara kami. Ia terus saja muncul, untuk sepenuhnya hadir dan menunjukkan pengertian. Selama dua tahun yang penuh gejolak itu, ia dengan sabar mendengarkan, dan selalu percaya bahwa saya akan datang lagi meskipun keputusan-keputusan saya meragukan. Ia menjaga martabat saya pada saat saya sendiri tidak bisa melakukannya.
Menggemakan yang dikatakan Dr. Stanley, kita memang memiliki “tanggung jawab untuk menjadi sahabat yang setia bagi orang lain,” untuk menjadi seorang Yonatan. Tetapi bagi saya, tanggung jawab ini lebih dari sekadar kewajiban—panggilan ini sudah menjadi suatu kehormatan. Setelah menerima kasih yang tidak bersyarat dari Caryn, saya ingin membalas kesetiaannya itu, meskipun sekarang kami tinggal berjauhan sampai ratusan mil, dan persahabatan kami kebanyakan hanya terjalin melalui panggilan telepon. Bagaimanapun, tujuan saya untuk menjadi sahabat setia tetap terlaksana, dan saya senang berpikir bahwa saya siap menghadapi masalah apa pun yang mungkin dihadapinya. Memberi dan menerima dalam persahabatan tak dapat diduga tetapi nyata, dan saya berharap, dengan belajar dari kesabaran dan kepercayaan Caryn, suatu hari saya juga dapat menjadi sahabat yang setia bagi orang lain.
Tanggapan 2 (oleh Joseph E. Miller)
Jon berambut merah, sama seperti saya, hanya saja merahnya lebih cerah. Tetapi yang membuat saya paling tertarik padanya adalah kebaikannya yang spontan. Sebagai anak baru yang tinggal di sebuah rumah kopel di jalan buntu, saya sangat takut naik bus. Tetapi Jon, yang tinggal dua rumah dari rumah saya, sudah bertindak sebagai teman saya pada suatu pagi dan membuat saya tenang. Ia kelihatan sangat tenang dan percaya diri, tidak membutuhkan teman lain.
Terkadang mendapat teman bisa terjadi pada saat Anda paling tidak mengharapkannya—atau sangat mengharapkannya. Selama tahun berikutnya, Jon dan saya selalu bersama-sama. Kami berada dalam satu tim saat bekerja membangun kubu-kubu pertahanan di hutan. Selama bermalam di hutan, kami duduk berjam-jam sambil bermain Atari. Dan kami tidak banyak bertukar kartu bisbol—kami lebih sering memberikan saja pemain dan tim favorit pihak lain tanpa mengharapkan gantinya. Ibu Jon baru saja melajang, dan ibu saya baru saja menikah lagi dan membawa kami pindah ke negara bagian lain. Namun sebagai hal yang lebih baik dari tahun itu, persahabatan kami membuat kami tetap stabil. Setelah itu saya mendengar mereka pindah ke Texas, dan hati saya ikut tenggelam: Ini adalah kehilangan sahabat karib pertama saya yang sesungguhnya. Dalam artikel ”In Good Company”, Charles F. Stanley membahas tentang persahabatan yang sehat, yang didasarkan pada contoh sikap saling menghargai antara Yonatan dan Daud. Dr. Stanley menulis, “Banyak persahabatan berakhir karena kesombongan dan kecemburuan, tetapi kerendahan hati yang tidak mementingkan diri sendiri membangun hubungan.”
Yonatan dan Daud memiliki ikatan yang membuat iri siapa pun. Daud selalu baik kepada Yonatan, meskipun ayah Yonatan, Raja Saul, berulang kali berusaha membunuh Daud. Dan ketika Tuhan memilih Daud sebagai raja Israel berikutnya, Yonatan bersukacita dengan sahabatnya, dan sama sekali tidak menunjukkan kecemburuan akibat tersingkir dari suksesi alami. Kedua orang ini bisa saja saling membenci, tetapi mereka malah menunjukkan sikap saling menghormati dan rendah hati yang menjadi gambaran tentang persahabatan yang indah.
Tampaknya hampir terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tetapi ketika saya menengok ke belakang ke beberapa dasawarsa yang lalu, saya menemukan beberapa teman yang Tuhan kirimkan pada saya, yang mengingatkan saya pada hubungan yang dimiliki Daud dan Yonatan. Saya sangat bersyukur atas persahabatan-perhabatan yang terjalin di usia 20-an, pada masa saya bertumbuh dalam iman – saya masih berhubungan erat dengan banyak orang itu sampai dua dasawarsa kemudian.
Seperti halnya dalam hubungan apa pun, persahabatan memerlukan usaha. Pada tahap kehidupan saya saat ini, yang sudah menikah dan memiliki tiga anak kecil, saya harus berusaha lebih keras dalam meluangkan waktu untuk memelihara hubungan dengan teman-teman saat ini, sambil tetap membuat diri saya sendiri terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru. Tetapi saya merasa, sekali Anda memiliki persahabatan yang mendalam, Anda akan tahu betapa berharganya. Sahabat yang baik itu seperti tanah yang subur, yang memperkaya hidup kita.
Sayangnya, di masa sebelum ada internet, Jon dan saya kehilangan kontak. Saya tidak tahu apa yang terjadi padanya, tetapi saya menduga ia masih tinggal di tempat kami berpisah dulu, menjadi teman bagi orang lain yang membutuhkan di kota kecil Texas. Saya merasa jika saya bisa menemukannya, saya akan menemukan kehidupan yang penuh dengan cerita-cerita yang sama seperti cerita saya sendiri.