Melintasi Ambang Batas
(Ashley Hales)
Menyiapkan hati untuk kebangkitan
Anak-anak saya menyukai matahari musim panas yang hangat dan air laut yang sejuk, tetapi saya senang menghirup udara air terjun yang segar dan bercangkir-cangkir teh. Saya menyukai yang saya sebut musim-musim ambang batas (musim gugur dan musim semi) yang tampaknya memberitakan kedahsyatanmusim-musim lainnya. Ambang batas, dalam hal ini,adalah saat-saat antara ketika kita berada di puncak perubahan dan transformasi tertentu. Entah kita sedang melintasi ambang batas yang sebenarnya atau secara kiasan, sesuatu yang misterius terjadi pada saat-saat itu. Ambang batas menjanjikan dunia yang bisa jadi berkebalikan, meskipun kita tidak tahu persisnya seperti apa.
Kita juga memerlukan musim-musimambang batas dalam kehidupan Kristen – saat-saat untuk berhenti, memandang sekitar, dan siap memahami lebih dalam – karena kehidupan Kristen tidak dimaksudkan untuk menjadi pengalaman yang konstan, selalu nyaman dan terkendali. Kita memerlukan jendela-jendela dan pintu-pintu masuk yang baru untuk membuka iman kita ke arah yanglebih dewasa. Ambang batas memberi kita perspektif, dan juga pengalaman itu, ketika kita melintasinya.
Masa Pra-Paskah, enam minggu menjelang Paskah, adalah saat-saat seperti itu—dan masa yang semakin dianut olehorangInjili pada dasawarsa-dasawarsa belakangan ini. Masa itu berada di antara yang disebut gereja selama berabad-abad sebagai “Ordinary Time” (masa yang tidak berkaitan langsung dengan masa Natal dan Paskah) dan masa Paskah (biasanya 50 hari setelah Minggu Paskah). Idenya adalah bahwa sebagai masa persiapan, masa itu menolong roh kita mengejar tubuh kita, agar kita jangan sampai tidak berpikir dan menghayati dalam merayakan kebangkitan Kristus. Karena seringkali, tanpa sesuatu yang melambatkan kita, jiwa kita terus saja berusaha mengejar ketinggalan. Masa Pra-Paskah memanfaatkan saat-saat transisi itu sebaik-baiknya: Sebagai ambang batas, masa itu mengantar kita memasuki Paskah.
Yang sering kita lupa pahami tentang iman kita adalah bahwa untuk sepenuhnya memasuki kehidupan Kristen, kita memerlukan benda-benda – hal-hal materi. Dan selalu seperti itu. Lihat saja Perjanjian Lama. Lihat saja kitab-kitab Injil. Lihat saja minggu terakhir kehidupan Yesus: masa itu penuh dengan benda-benda – keledai, daun-daun palem, jubah yang dihamparkan untuk mengelu-elukan raja; air, baskom dan handuk untuk mencuci kaki para murid; roti dan anggur untuk merayakan Paskah dan menetapkan Perjamuan Malam; dan kemudian keringat yang mengucur seperti titik-titik darah di Taman Getsemani; cambuk, kayu salib, mahkota duri, dadu, air cuka, darah, dan tirai yang terbelah dua. Kebangkitan juga dipenuhi dengan benda-benda: kain kafan yang terlipat dalam kubur, batu yang terguling, buli-buli dan rempah-rempah untuk mengurapi tubuh Yesus, dan Kristus yang bangkit yang kemudian mempersilakan Tomas menjamah luka-luka-Nya untuk membuktikan bahwa kebangkitan itu nyata. Mengapa sekarang harus berbeda?
Ya, tidak seperti yang dipikirkan banyak orang Injili, Tuhan memakai benda-benda fisik, termasuk tubuh kita, untuk mengantar kita melintasi ambang pintu kerajaan-Nya. Dan terkadang, hal itu paling baik dilakukan dengan sengaja memasukinya tanpa atau dengan membatasi pemakaian benda-benda materi – makanan, khususnya – selama kurun waktu tertentu. Dalam hal ini masa Pra-Paskah dapat menolong.
Ketika kita mendengar kata “Lent” (masa Pra-Paskah), kita mungkin berpikir tentang ibadah-ibadah gereja formal atau langsung menganggapnyasebagai “hal yang dilakukan orang-orang Katolik.” (Saya tahu karena seperti itulah yang saya pikirkan sebagai orang Protestan yang bersekolah di sekolah Katolik). Meskipun banyak tradisi (termasuk Katolik) ikut ambil bagian dalam hal ini, masa Pra-Paskahsebenarnya sudah menjadi kebiasaan orang Kristen zaman dahulu sejak abad kedua.
Pada tahun 325, Konsili Nicea menetapkan masa Pra-Paskah sebagai masa berpuasa menjelang baptisan (kebiasaan yang diadopsi seluruh gereja). Secara khususnya, pada masa Pra-Paskah orang-orang Kristen mengarahkan hati melalui puasa tubuh. Tidak makan makanan lengkap selama 40 hari, misalnya,dapat merupakan salah satu cara kita untuk menyadari kelaparan jiwa kita yang lebih dalam – dan betapa kita sering memakai makanan (dan hal-hal lainnya seperti teknologi atau berbelanja) untuk mengalihkan perhatian kita dari diri sendiri dan Tuhan. Puasa Pra-Paskah dapat menyelaraskan lagi kelaparan-kelaparan kita. Di gereja kami, kami menantikan kebangkitan dengan tidak berpuasa pada hari Minggu; dengan menikmati makanan, tubuh kami jadi bersukacita merasakan manfaat kebangunan rohani.
Meskipun tidak ditemukan atau diperintahkan dalam Alkitab, menjalani masa Pra-Paskah adalah sebuah latihan yang baik. Sebagai cara kita untuk tidak hanya menyiapkan hati menyambut Paskah tetapi juga untuk ambil bagian dalam kegiatan gereja secara umum, sepanjang waktu dan di tempat mana pun.
Tujuan berpuasa adalah benar-benar merasakan lagi kelaparan-kelaparan kita sehingga, sebagai hasilnya, kita mulai menyadari betapa bergantungnya kita – tubuh, pikiran dan roh – pada kasih Tuhan. Dengan berpuasa, visi kita menjadi lebih jelas. Lalu, dengan mengembara lagi ke dalam kekosongan jiwa kita yang hanya dapat dipenuhi oleh Kristus, kita dapat memahami lebih dalam apa artinya itu sebenarnya. Ketika perut kita “keroncongan”, kita berpaling ke doa. Keterbatasan kita dibingkai. Dalam keheningan, kita memeriksa hati kita. Kita mengiring Yesus sepanjang Minggu Sengsara-Nya. Kita akan mulai merindukan bukan saja untuk makan coklat lagi, tetapi juga untuk shalom—untuk kebangkitan. Kita ikut ambil bagian dalam kelemahan saat berpuasadan berlangsungnya ibadah hari Sabat.
Tetapi dari mana kita harus memulainya?
Berikut ini Anda akan menemukan beberapa hal sederhana untuk memulai. Lihatlah yang mana yang ingin Anda lakukan pada masa Pra-Paskah – yang masing-masing merupakan saran dan sarana untuk mengarahkan Anda kepada latihan jasmani.
Menyiapkan diriuntuk Paskah
Puasa. Ke mana Anda mencari ketenangan (coklat, berbelanja, sahabat yang bersedia mendengar) ketika dunia seakan terus berputar tak terkendali? Pada masa Pra-Paskah, alih-alih mencari pemberi ketenangan ini, berlatihlah untuk berpuasa dari hal-hal itu. Resapilah perasaan-perasaan Anda, dan bawalah kepada Yesus. Anda mungkin perlu memegang sesuatu seperti Alkitab atau salib kayu, atau mengulang-ulang perkataan “Tuhan Yesus, kasihanilah aku” sebagai cara untuk kembali fokus ketika perut Anda melilit atau Anda tergoda untuk meng-klik atau membeli sesuatu.
Perjamuan makan. Apa yang membuat Anda bersukacita? Dalam tradisi Barat, hari-hari Minggu selama masa Pra-Paskah merupakan hari-hari tidak berpuasa —yang bisa dianggap sebagai pesta kecil untuk memberi semangat memasuki Paskah. Cara terbaik melakukannya adalah dengan mengadakan perjamuan makan yang sedang-sedang saja, dengan mengingat bahwa salib mendahului kubur kosong. Nyalakanlahsebatang lilin, makanlah makanan penutup lebih dulu, nikmati waktu kebersamaan dengan sahabat dan keluarga, dan rasakanlah sukacita merayakan Kristus. Pada hari-hari Minggu ini, kita bukan sedang memanjakan diri – kita sedang membawa kehidupan sehari-hari kita kepada Tuhan.
Berjalan kaki. Jadwalkanlahuntuk berjalan kaki dengan sengaja pada masa Pra-Paskah — bisadengan berjalan kaki bersama keluarga setelah makan malam atau berjalan sendirian seminggu sekali. Tindakan ini bukan untuk berolahraga atau menghitung langkah; cara ini adalah untuk mengamati dunia sekitar Anda, tubuh Anda sendiri, dan Roh yang tinggal di dalam Anda. Pikirkanlah tindakan ini sebagai doa seluruh tubuh. Sementara berjalan, tanyakanlah pada diri Anda sendiri ke mana Anda akan pergi.
Melakukan keheningan. Bangunlah kebiasaan untuk melakukan keheningan selama dua menit setiap hari dan serahkanlah waktu itu kepada Tuhan; mintalah Roh Kudus menerangi, menyingkapkan dan menginsafkan Anda akan dosa. Sebagai tanggapannya, sediakanlah waktu untuk berdoa, dengan berlutut untuk menunjukkan kerendahan hati dalam pertobatan.
Kita menantikan ambang-ambang batas pada masa Pra-Paskah – merasakan beratnya tekanan dan dukacita akibat dosa, kehilangan, sukacita yang bercampur keputusasaan, beban kematian kita sendiri – tetapidiujung cakrawala itu kita memiliki janji tentang Kristus yang bangkit dari kematian. Dan pada masa-masa antara ini, kita melakukan pengamatan, pertobatan dan puasa untuk menyelaraskan tubuh dan pikiran kita dengan realitas-realitas jiwa yang “mati bagi diri sendiri” dari waktu ke waktu. Ketika kita melakukannya, kita akan memahami kabar baik tentang kebangkitan.