Memahami Kitab Imamat

Kitab Perjanjian Lama ini sering dianggap sebagai hal yang perlu dihayati daripada sumber sukacita besar

(Joshua Ryan Butler)

Sacrifice (persembahan korban) itu aneh. Dan jika Anda membaca Perjanjian Lama, Anda akan menemukan banyak pembicaraan tentang hal ini di dalam 39 kitabnya. Tetapi mengapa? Pandangan sekilas pada upacara-upacara pengorbanan binatang itu bisa membuat orang bertanya-tanya, apakah semua jasad binatang ini menunjuk kepada Allah yang memerlukan banyak daging untuk dipuaskan. Sedangkan kita tahu bahwa Allah bukanlah sejenis karnivora rakus yang memiliki selera daging segar yang tak terpuaskan.

Mungkin itu sebabnya kitab Imamat sangat aneh bagi pembaca masa kini – yang isinya berbicara tentang persembahan korban. Banyak orang yang mencoba menekuni Bacaan Alkitab Setahun tersendat ketika sampai di kitab Imamat, dengan berbagai ketetapan tentang pentahiran dan peraturan para imam, yang sebetulnya merupakan kitab yang membuka dan mengarahkan pandangan kita kepada Yesus.

Langkah awal yang menolong adalah memahami struktur kitab itu – kitab Imamat memiliki gaya penulisan Ibrani yang disebut chiasma (paralelisme silang). Ini berarti “ujung-ujungnya/akhirnya” sama, yang ditulis sampai ke tengah adalah bagian-bagian yang saling merefleksikan; dan yang di tengah adalah klimaks atau “pokok utama” dari tulisan itu. Di tengah-tengah kitab Imamat ada Hari Penebusan (dalam Alkitab LAI disebut Hari Pendamaian) –  penekanan isi kitab yang akan kita bahas kemudian – tetapi bagian-bagian di sekelilingnya berisi berbagai tatacara pengorbanan dengan para imam, yang mengarahkan kita pada kebenaran-kebenaran yang mengubah hidup sepanjang kitab itu.

Hidup adalah pemberian

Kitab Imamat diawali dengan rupa-rupa persembahan dan korban bakaran. Praktik semacam ini mungkin aneh bagi kita yang hidup di zaman moderen, tetapi di dunia kuno semua ini merupakan hal yang lazim. Dari Mesir hingga Itali, dari China sampai Meksiko, dari peradaban-peradaban yang kuat sampai bangsa-bangsa nomaden, praktik ini sudah mengakar dalam banyak budaya.

Mengapa? Sebagian karena secara luas sudah disadari bahwa hidup adalah pemberian – bahwa kita bergantung pada dunia yang lebih luas untuk menerima kehidupan dan makanan (coba saja 40 hari tanpa makanan dan minuman, kebenaran ini pasti akan langsung disadari). Entah itu dari hewan yang memberi dirinya disembelih, buah yang dipetik dari pohon, atau bulir gandum yang dipotong dari tangkainya, kita perlu menerima makanan dari luar diri kita sendiri, kehidupan dari hidup yang diberikan, untuk kita bisa benar-benar hidup.

Dan respons yang tepat untuk ini adalah bersyukur/berterimakasih.

Banyak persembahan korban bangsa Israel sebenarnya adalah cara mengungkapkan “Syukur dan Terimakasih” (seperti dalam persembahan korban sajian dan korban keselamatan) dan “Mohon pengampunan” (seperti dalam persembahan korban penghapus dosa dan penebus salah). Fakta bahwa hidup adalah pemberian mungkin sulit kita ingat di zaman sekarang ini. Kita memperoleh daging sudah dalam kemasan rapi, dengan potongan-potongan yang baik, bersih dan higienis. Kita tidak terhubung dengan segala proses di belakangnya – pengorbanan-pengorbanan yang sudah dilakukan untuk menopang hidup kita.

Dengan ketidakterhubungan ini, mudah sekali bagi kita untuk hidup dalam ilusi bahwa kita adalah makhluk mandiri yang menopang kehidupan kita sendiri, dan bukan makhluk yang merupakan bagian dari dunia yang menopang kita – dan akhirnya dari Sang Pencipta yang merupakan Sumber segalanya. Cara paling jujur untuk menerima kehidupan adalah dengan mengakui bahwa hidup itu pemberian. Hidup kita bukan didapatkan tetapi diberi/menerima; napas hidup kita ditopang oleh pemberian itu.

Dan reaksi yang tepat adalah bersyukur dan berterimakasih.

Jika kita menyangkali hal ini, kita berlawanan arah dengan alam semesta. Di seluruh dunia, persembahan korban seringkali sudah menjadi pusat perayaan komunitas. Demikian juga pada bangsa Israel. Perayaan-perayaan nasional besar (yang dijelaskan di Imamat 23-27) diselenggarakan oleh para imam, dan upacara-upacara persembahan korban ada di pusat kegiatan mereka. Umat akan datang membawa korban persembahan mereka, merayakan tentang siapa Allah dan apa yang sudah Dia lakukan dalam kehidupan mereka.

Dan mereka kemudian memakan daging itu. Hal ini mungkin sudah terlalu jelas untuk disebutkan, tetapi sebagian orang tampaknya berpikir bahwa hewan-hewan itu hanya disembelih dan kemudian dibuang. Padahal pada bangsa Israel, sebagian besar makanan itu tidak dibuang, tetapi disediakan untuk orang Lewi (suku para imam, yang tidak memiliki tanah sendiri) dan untuk perayaan-perayaan bangsa itu (pesta-pesta besar yang berlangsung berhari-hari). Formasi komunitas ditegakkan – bangsa Israel harus menjadi bangsa yang dicirikan dengan kerendahan hati dan rasa syukur di hadapan Raja mereka.

Saya kira saya memahami hal ini ketika suatu kali saya mengikuti upacara rakyat tradisional yang mengungkapkan rasa syukur secara terbuka atas domba yang akan menjadi persediaan makanan mereka bersama. Sambil menumpangkan tangan di kepala anak domba itu, si pemimpin memanjatkan doa syukur atas berkat makanan yang disediakan binatang itu. Jauh dari merendahkan makhluk itu, upacara itu menambahkan makna kudus pada nilai pengorbanan yang besar dengan binatang itu menyerahkan dirinya bagi komunitas itu.

Sekarang, kita sebagai gereja juga merupakan komunitas yang dipersatukan oleh pengorbanan – tindakan penyerahan diri terbesar yang pernah disaksikan dunia: kematian Juru Selamat di kayu salib. Yesus menunjukkan, bahkan dengan cara yang jauh lebih dahsyat dari yang pernah dapat dilakukan hewan-hewan korban itu, bahwa kita tidak dapat menghasilkan kehidupan dari dalam diri kita sendiri. Kita harus menerima kehidupan itu melalui pemberian hidup-Nya, yang diserahkan agar kita bisa benar-benar hidup. Di sekitar meja tempat tubuh-Nya diserahkan dan darah-Nya dicurahkan – saat Anak Domba dikorbankan (Ibrani 9:28) – kita berkumpul dalam perayaan sebagai satu komunitas, untuk mengungkapkan “Rasa Syukur dan Terimakasih” dan “Mohon pengampunan” kepada Allah kita. Di sinilah kita menemukan kepenuhan yang sepenuh-penuhnya dari hidup yang diberikan itu: hidup-Nya adalah pemberian, yang diserahkan secara cuma-cuma.

Menyerap Kematian

Bagian selanjutnya dari kitab Imamat (pasal 8-10) berfokus pada imam-imam. Allah menunjuk satu dari 12 suku Israel, yaitu suku Lewi, untuk menjadi para imam – pengantara Allah dan umat-Nya. Nama kitab ini, Imamat (Leviticus) sebenarnya berarti “kitab para imam/orang Lewi,” karena berfokus pada imam-imam Israel ini. Orang Lewi bertanggung jawab atas upacara-upacara pengorbanan dan tempat yang menjadi pusatnya: kemah suci/tabernakel pada saat mereka tinggal di padang gurun, dan kemudian bait suci, sebagai tempat bersemayam Allah yang kudus di tengah-tengah umat-Nya. Ada peraturan-peraturan khusus yang harus dipatuhi para imam (Imamat 21-22), yang membuat mereka dikuduskan untuk melayani di hadapan Tuhan.

Bagian ketiga kitab Imamat berfokus pada kekudusan. Upacara persembahan korban bangsa Israel diadakan untuk menangani dua jenis kekotoran atau kenajisan. Untuk jenis yang pertama – kenajisan ritual (dijelaskan di pasal 11-15), Anda dapat menjadi najis dengan menyentuh mayat atau bersentuhan dengan benda-benda seperti bangkai binatang, penyakit kulit atau cairan tubuh. Ini tidak berarti Anda sudah berbuat dosa atau melakukan kesalahan moral – seperti jika Anda membunuh orang atau merampok bank. Kita cenderung menganggap kenajisan sebagai akibat dari perbuatan yang salah, padahal ini sebenarnya menunjukkan hal lain: hal bersentuhan dengan benda-benda yang berkaitan dengan kematian. Benda-benda ini dapat mentransfer kenajisannya kepada Anda karena, celakanya, kematian itu menjalar.

Di zaman banyak penyakit dan bakteri, upacara pentahiran ini memperkenalkan hal kesehatan dan kebersihan komunitas kepada bangsa Israel kuno. Juga membangkitkan perasaan luar biasa bahwa Sang Pencipta adalah Allah Kehidupan, dengan kesadaran bahwa kematian dan kerusakan berkaitan dengan jarak antara kita dengan Dia. Seperti dikatakan teman saya Gerry, menari di hadirat Allah dalam keadaan najis secara ritual itu sama seperti pulang ke rumah dalam keadaan berkeringat sehabis main basket dan mencoba memeluk istri. Ia tentu akan menutup hidungnya dan berkata, “Kamu bau! Mandi dulu sana!” Saya tidak melakukan hal yang salah, saya hanya tidak sedang dalam keadaan yang tepat untuk memeluk istri saya.

Dalam hal bangsa Israel, kitab Imamat menunjukkan bahwa Anda bisa saja melanjutkan hidup dalam keadaan najis secara ritual dan tetap mengikut Allah, tetapi Anda tidak dapat “memeluk” Dia – yang artinya Anda tidak dapat masuk ke dalam tempat Dia bersemayam di bait suci. Jika Anda ingin bisa masuk ke dalam hadirat Allah, Anda perlu menyucikan diri dulu, dengan sesuatu yang membebaskan Anda dari kekotoran. Kemudian Anda perlu menanti sehari, mandi dan mempersembahkan korban untuk menghilangkan bekas “kondisi kematian” Anda.

Dengan bersih secara ritual, Anda dapat sekali lagi berdiri di hadapan Allah yang memberi hidup.

Jenis kenajisan kedua adalah kenajisan moral. Bagian kitab Imamat yang saling merefleksikan ini (pasal 18-20) menjelaskan pelanggaran-pelanggaran – terhadap keadilan sosial, integritas seksual dan relasi-relasi yang sehat – yang akan membuat orang najis secara moral. Pemberontakan yang disengaja ini, tentu saja, langsung mengundang kematian, memberi celah untuk kerusakan masuk, menyerbu dan mengepung makhluk ciptaan Allah yang termulia ini.

Jadi, baik kenajisan moral maupun kenajisan ritual memiliki satu persamaan: berkaitan dengan kematian. Dan seperti gelap di hadapan matahari, kematian tak dapat bertahan di hadapan Allah. Persembahan korban binatang itu lalu menjadi seperti sepon bulu domba, yang “menyerap kematian” Anda, menyerap kerusakan Anda. Hewan korban itu menanggung kematian yang menimpa kita maupun yang kita timbulkan. Sang Pencipta lalu mengambil sepon bulu domba itu dan membersihkan kotoran kita – mentahirkan kita dan membuat kita kembali layak untuk hidup.

Hari Pendamaian

Hal ini membawa kita ke klimaks kitab Imamat yang ada di tengah-tengah kitab itu: Hari Penebusan/ Pendamaian. Apa artinya semua ini? Pendamaian/Penebusan (Atonement) berarti “at-one-ment”  (pada satu tindakan). Satu cara yang menyatukan dua hal. Dosa memisahkan Allah dan manusia; penebusan/ pendamaian menyatukan mereka kembali. Bangsa Israel adalah bangsa yang besar, dan siapa yang tahu berapa banyak kenakalan dan kerusakan yang ada di dalamnya, yang membuat bangsa itu terpisah dari Allah sepanjang tahun itu. Maka, setiap satu tahun sekali acara publik ini diadakan untuk menebus dosa dan kenajisan bangsa itu secara keseluruhan, untuk mendamaikan mereka kembali dengan Allah.

Pada Hari Pendamaian itu, dua ekor kambing dibawa ke bait suci. Imam besar akan menyembelih kambing yang pertama dan memercikkan darahnya ke Ruang Mahakudus (jalan masuk ke tempat Allah Yang Mahakudus bersemayam); ini dilakukan untuk menangani “kenajisan dan pemberontakan bangsa Israel, apa pun dosa yang sudah mereka lakukan” (Imamat 16:16). Imam besar lalu akan mengambil kambing yang kedua, menumpangkan tangan di atas kepalanya, dan mengakui kejahatan umat itu – “menimpakan” dosa-dosa bangsa Israel pada hewan yang kemudian dilepas ke padang gurun itu.

Apa yang terjadi pada kedua kambing itu? Mereka melambangkan pengasingan dan kematian.

Kambing kedua, yang dilepas ke padang gurun, adalah gambaran tentang pengasingan. Seperti Adam dan Hawa yang diusir dari Taman Eden, atau bangsa Israel yang akhirnya terbuang jauh dari negerinya, kambing itu dijauhkan dari tanah perjanjian – dengan membawa dosa-dosa bangsa itu ke padang gurun. Bayangkan Anda menyaksikan kambing itu berjalan menuju matahari terbenam, dan Anda akan berpikir: Itulah kesalahan kita, pelanggaran kita, keserakahan dan kejahatan kita. Saya kira Anda akan merasakan beratnya akibat dosa secara mendalam.

Binatang itu pergi ke pengasingan agar umat tidak perlu lagi mengalaminya.

“Upah dosa adalah maut,” tulis Paulus di Roma 6:23. Dan kambing yang sudah menyerap kejahatan umat itu sebagai pengganti, darahnya akan mentahirkan mezbah bait suci, menyingkirkan kehancuran dari negeri itu. Bagaimana rasanya melihat hewan ini menanggung beratnya dosa pembunuhan, penganiayaan dan kegilaan komunitas kita? Saya tidak dapat tidak akan merasa bahwa Hari Pendamaian akan meningkatkan rasa keadilan sosial di Israel. Dan membuat mereka lebih serius memikirkan dahsyatnya dosa dan tarikan kejahatan. Dosa membawa berbagai akibat; pemberontakan membawa kehancuran.

Hari Penebusan/Pendamaian ini menunjuk kepada Yesus. Ketika Yesus dibawa ke bait suci, diserahkan kepada orang non-Yahudi, dan disuruh memikul salib ke luar kota melalui pintu-pintu gerbang Yerusalem, Dia sedang menjadi “kambing hitam” yang menanggung dosa kita ke tanah gersang padang gurun. Seperti kambing kedua pada Hari Pendamaian itu, Yesus – dalam keadaan-Nya sebagai manusia yang menjadi Pengganti/Penebus  – menanggung pengasingan kita, menyingkirkan keterpisahan kita dari Bapa.

Ketika Yesus mati, Dia menjadi pengganti kita yang sempurna. Seperti kambing pertama pada Hari Pendamaian itu, Dia menanggung kuasa yang menghancurkan akibat pemberontakan kita, kebusukan yang kita sebarkan di dunia ciptaan-Nya. Yesus menanggung kematian kita ketika Dia dikuburkan, dan Dia melakukannya untuk mengadakan pendamaian—untuk menyatukan kembali yang sudah dipisahkan dosa, mendamaikan surga dengan bumi, dan membawa kita keluar dari kubur sebagai umat-Nya.

Yesus menggenapi ketetapan pengorbanan itu. Korban-korban persembahan di Israel pada masa itu, menurut Ibrani 10:1, hanyalah ”bayangan dari hal-hal baik yang akan datang.” Persembahan korban binatang harus dilakukan terus-menerus untuk mentahirkan bangsa Israel, karena pengorbanan mereka tidak dapat menembus sampai ke hati penyembah itu. Tetapi ketika Yesus menyerahkan nyawa-Nya, Dia melakukannya “sekali untuk selama-lamanya” agar kita yang diperdamaikan dengan Dia “memiliki keberanian untuk masuk ke dalam Ruang Mahakudus oleh pengurbanan darah Yesus …  dengan hati yang tulus” (Ibrani 10:12, 19, 22). Apakah Anda memahami seluruh gambaran dalam kitab Imamat ini?  Yesus adalah Imam Besar kita yang melaksanakan upacara pengorbanan dan sekaligus korban persembahan itu untuk membawa kita kembali ke hadirat Allah. Tuhan atas Kehidupan telah memberikan nyawa-Nya sendiri agar kita dapat benar-benar hidup – dan respons kita yang tepat adalah bersyukur dan berterimakasih.