Membebat Hati Yang Hancur

Hanya Allah yang mampu membuat Rebecca Shahasi mengampuni orang asing yang telah merenggut nyawa putranya.

(Joseph E. Miller)

Di sebuah gereja di Nakuru, Kenya, sekitar 20 anak dari lingkungan sekitar berkumpul untuk mengikuti pelajaran musik setiap minggu. Seorang guru membantu mengajarkan alat-alat musik, sementara penyelenggaranya, Rebecca Shahasi, berfokus pada latihan vokal. Pada waktu yang lalu, Shahasi sebenarnya sudah beberapa kali mencoba memulai program itu, tetapi selalu saja ada hal yang menghalanginya. Ia ingin menyediakan wadah bagi anak-anak muda untuk mengembangkan talenta mereka sembari membangun karakter dan harga diri mereka. Bahkan sejak usia dini, beberapa anak sudah dapat menggunakan talentanya untuk memuliakan Tuhan, seperti anaknya Samuel dulu.

Di usia 6 tahun, Samuel Shahasi sudah dapat memainkan drum dengan baik. Tak lama, ia pun mulai menguasai gitar dan keyboard. Shahasi dan suaminya Zachariah, yang seorang pendeta, melihat dengan jelas bakat musik pada diri Samuel – sebuah panggilan yang tidak pernah terealisasi sepenuhnya.

Pada tanggal 11 Juli 2015, Samuel membuka pintu pagar garasi ketika orangtuanya sedang pergi bekerja. Lalu, ketika ia berjalan ke warung untuk membeli makanan, seseorang menyelinap masuk ke rumahnya, tampaknya hendak merampok. Ketika Samuel pulang, penyelundup itu menikamnya dengan senjata tajam dan melarikan diri. Samuel berlari ke jalan, dan ketika orang-orang yang lewat sedang mencari kendaraan untuk membawanya ke rumah sakit, Samuel meninggal karena kehabisan darah.

Kehilangan Samuel membuka pintu keraguan dan depresi dalam diri Rebecca, yang hampir saja menghancurkan dirinya. Ia ragu apakah ia masih dapat berdoa lagi. Dapatkah ia meminta Allah memberikan sesuatu yang penting seperti perlindungan, sementara Dia tidak melindungi Samuel? Kasih Allah terasa seperti kenangan yang jauh.

Lalu seseorang memberikan Shahasi sebuah “In Touch Messenger” (alat yang bisa menyetel Alkitab audio-Red). Ia sering mengalami tidak bisa tidur di malam hari; dan karena ia sendirian dengan kegelisahannya, ia memerlukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Maka setiap malam ia akan mengenakan headphones dan membiarkan Alkitab audio itu bersuara di telinganya. Penghiburan dari Allah perlahan-lahan mulai kembali ia rasakan. Sampai hari ini ia selalu membawa alat itu di dompetnya.

Pihak yang berwajib tidak pernah menemukan tersangka; tidak ada penangkapan yang membawa kejelasan, tidak ada pengadilan. Samuel telah tiada, demikian juga jawaban yang pasti. Allah hanya memberikan satu-satunya jalan penyelesaian: pengampunan.

Pada peringatan satu tahun meninggalnya Samuel, orangtuanya mengunjungi makamnya. Sementara berdiri di sana, keduanya membuat keputusan yang sulit untuk mengampuni orang asing yang sudah membunuh anak mereka.

Sebulan setelah Samuel meninggal, Rebecca mencoba kembali untuk menyelenggarakan pelayanan musik itu, kali ini untuk mengenang Samuel. Yang membuatnya terkejut, lebih dari 100 orang datang ke acara pembukaan yang bahkan tidak dipublikasikan. Gedung gereja mereka tidak lagi hanya bergema dengan musik Samuel, tetapi seluruh komunitas Shahasis dipenuhi dengan nada penyembahan.