Mencintai Yang Tidak Bisa Dipertahankan
(Sandy Feit)
Tak ada yang abadi – setidaknya selama masih di dunia yang fana ini.
Saya masih ingat pada Hari Penempatan Residensi Dokter bagi para mahasiswa kedokteran yang setahun di atas suami saya. Hari itu merupakan puncak pendidikan mereka selama 20 tahun sekaligus peluncuran resmi mereka ke spesialisasi karir masing-masing—sebuah ritual peralihan yang mengakhiri sembilan bulan yang sibuk dengan mengunjungi, mendaftar, mengurutkan dan diurutkan dalam program residensi.
Selama berminggu-minggu menjelang acara itu, hampir setiap percakapan di kampus menyinggung Program Penempatan Residen Nasional atau kecemasan yang ditimbulkannya. Saya mengamati dengan saksama, dan menyadari bahwa sebentar lagi kesibukan yang serba cepat dan membingungkan itu akan dimulai bagi Elliot dan saya. Dan hiruk pikuk itu akan memuncak sampai bulan Maret 1976—setahun lagi—ketika tiba giliran Elliot untuk merobek amplop dengan tangan gemetar dan mengetahui di mana ia akan memulai karirnya sebagai dokter.
Saya tahu itu akan menjadi momen yang sangat penting. Namun saya terkejut menyadari betapa besar pengaruh Program Penempatan angkatan sebelumnya itu pada saya. Sungguh mengejutkan betapa sebagian besar kehidupan sosial kami terputus karena teman-teman pada menghilang seketika. Selain menyelesaikan segala persyaratan sekolah kedokteran (hal yang memakan waktu tersendiri), daftar tugas mereka juga kini mencakup mencari rumah dan melakukan pindahan jarak jauh, ditambah, dalam banyak kasus, menyediakan biaya perawatan anak, sekolah, dan pekerjaan pasangan.
Suasana hati saya jadi memburuk. Dengan beberapa teman dekat akan pergi dan kemungkinan seluruh teman sekelas Elliot akan berpencar ke mana-mana tahun depan, saya merasa kehilangan arah. Rumah tiba-tiba terasa seperti bukan rumah lagi. Saat itu adalah tahun kedua kami tinggal di asrama mahasiswa untuk pasangan yang sudah menikah, dan kami menyukai komunitas maupun apartemen untuk pasutri baru itu. Kami senang sekali membenahi tempat itu, terus-menerus menambah, mengubah, dan menata ulang agar setiap sudutnya terasa sebagai “milik kami”. Namun kini, ke mana pun saya memandang, yang saya lihat hanyalah barang-barang yang perlu dikemas. Karena belum pernah pindah rumah sebelumnya, saya terpancang pada tugas berat yang akan saya hadapi. Dan meskipun saya tahu hari itu masih lama, saya tidak tahu bagaimana caranya berhenti menghitung jumlah kardus yang akan dibutuhkan untuk setiap ruang.
Saya mencoba bernalar dengan diri saya sendiri: Ada orang-orang yang pindah ke apartemen hanya untuk 12 bulan, dan kamu punya waktu untuk tinggal lebih lama di tempat ini! Kamu datang ke sini untuk tinggal selama tiga tahun, dan masih ada lebih dari sepertiganya yang tersisa. Bergembiralah dengan orang-orang ini selagi masih ada waktu bersama-sama.
Entah bagaimana, kata-kata penyemangat itu gagal meyakinkan saya. Saya sudah tidak lagi merasa terikat dengan rumah pertama kami, dan tidak mau membeli apa-apa lagi untuk rumah itu selain perlengkapan yang dibutuhkan. Ketika melihat buku-buku, catatan-catatan, kado-kado pernikahan, saya hanya ingin mulai berkemas. Sepertinya saya terkena sindrom “short-timer” akut (kehilangan semangat karena akan segera keluar/pindah).
Untungnya, saya tidak terus berkubang dalam hal itu sepanjang sisa masa pendidikan suami saya. Perpisahan dengan para lulusan memang berat, tetapi saya perlahan-lahan mulai beradaptasi dan dapat menikmati kebersamaan dengan teman-teman yang masih tinggal. (Namun, sebagian besar belanja-belanja untuk apartemen sudah tidak dilakukan lagi).
Elliot dan saya pindah berkali-kali lagi sejak saat itu, dan meskipun perpisahan jelas tak pernah menyenangkan, saya perlahan-lahan mulai menyadari bahwa transisi adalah bagian hidup yang wajar dan bisa dijalani. Bahkan, seperti dikatakan Paulus di 1 Korintus 13:11, melepaskan hal-hal tertentu seringkali diperlukan agar kita dapat menerima yang akan terjadi selanjutnya dalam hidup kita dan menjadi dewasa. Saya sekarang memandang semua kepindahan saya sebagai bagian dari pelajaran panjang dan perlahan tentang hal melepaskan. Seiring berjalannya waktu, saya belajar untuk membiarkan air mata menetes di pesta-pesta perpisahan sementara menantikan petualangan dan persahabatan baru yang pasti akan terjadi di masa depan.
Namun, saya baru benar-benar mulai mengendurkan genggaman saya pada gagasan “hidup-seperti-yang-saya-inginkan” beberapa tahun kemudian, ketika saya bertemu Yesus. Lalu dimulailah pelajaran panjang dan perlahan lainnya: menyerap kebenaran bahwa dunia ini—betapapun indahnya—bukanlah rumah saya yang sesungguhnya. Yang saya perhatikan, semakin kuat saya bertumbuh di dalam Tuhan, semakin lemah daya tarik/ gravitasi dunia ini. Dan semua itu tentu saja merupakan proses, yang dibantu oleh kenyataan dunia yang keras dan juga tarikan dari begitu banyak orang terkasih yang sudah di surga.
Bahkan, ketika suami saya juga “pindah” ke sana setelah berjuang melawan kanker pankreas, beberapa perasaan lama muncul lagi—perasaan yang mengingatkan saya pada reaksi terhadap Hari Penempatan yang saya pikir sudah saya lupakan. Tiba-tiba saja, saya kembali merasa terhimpit oleh semua barang yang berantakan dan mulai menyingkirkan buku-buku, musik, dan barang-barang yang bisa habis terpakai lainnya. Saat saya menjelajahi rumah untuk mencari barang-barang yang akan dibuang, saya teringat ibu saya yang mengalami fase serupa di masa tuanya. Beliau secara rutin pergi ke Bala Keselamatan untuk menitipkan sekotak buku atau peralatan dapur yang sudah jarang digunakan—dengan kata-kata, “agar anak-anak nanti tidak perlu repot-repot lagi.” Rupanya memang benar-benar “ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang” (Pengkhotbah 3:6).
Menilai tahap kehidupan yang tak terduga dan tak dikehendaki ini, saya sepertinya terserang sindrom “short-timer” (menjelang akhir) versi baru. Dalam beberapa hal, saya merasa siap untuk beralih. Semakin saya merenungkan masa depan gemilang yang menanti orang-orang percaya, semakin saya berharap dan bahkan bersemangat untuk segera mencapainya.
Namun, bersamaan dengan menemukan begitu banyak aspek tentang surga yang menarik, saya juga belajar lebih banyak tentang apa yang Tuhan inginkan untuk dan dari kita saat ini. Jelas Dia masih punya tujuan untuk sisa hidup saya di sini. (Baca Kisah Para Rasul 13:36). Lagipula, masih ada banyak yang perlu dilakukan—begitu banyak orang yang perlu dikasihi, begitu banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi dalam keluarga dan gereja saya. Dan di luar lingkaran dalam itu, banyak sekali orang lain yang menanti (entah mereka menyadarinya atau tidak) untuk mendengar Kabar Baik Tuhan. Saya terdorong untuk membagikan pesan itu bukan semata-mata karena berkat kekal bagi semua orang yang mempercayainya, tetapi juga karena alasan yang egois—akan ada lebih sedikit perpisahan abadi.
Kebenarannya adalah kita semua orang-orang yang hanya tinggal/hidup untuk waktu yang singkat. Kitab Suci mengungkapkannya seperti ini: Kita hanya “seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap” (Yakobus 4:14). Tuhan menempatkan kita di suatu tempat untuk tujuan-Nya, dan Dia tahu berapa lama kita akan tinggal. Karena itu, saya akan berusaha melepaskan preferensi-preferensi saya dan memercayai-Nya dalam menentukan tempat-tempat dan waktu-waktu untuk saya.
Perpisahan masih terasa berat, dan saya menyadari emosi saya masih akan naik turun. Namun, sebelum kepindahan saya yang terakhir, saya berusaha mencapai damai sejahtera yang sama seperti yang dialami Paulus dan merasa cukup—apa pun yang terjadi (Filipi 4:11). Ternyata, yang paling menolong dalam hal itu adalah sebuah catatan singkat yang saya terima tepat setelah pemakaman Elliot. Catatan itu berasal dari seorang pengajar Alkitab yang telah saya kenal bertahun-tahun—orang yang telah menjawab pertanyaan-pertanyaan awal saya tentang Kekristenan dan menolong saya di sepanjang perjalanan iman saya. Ia menulis, “Kamu akan bertemu lagi dengannya dan … tidak akan kehilangan dia selamanya.”
Itulah kebenaran yang saya pahami secara intelektual sampai saat itu. Namun, karena datang dari orang yang sedemikian kredibel—baik sebagai pakar Alkitab maupun mentor kawakan—kata-kata itu memiliki otoritas dan mengubah pemahaman saya tentang surga yang murni akademis menjadi lebih kokoh dan nyata. Kata-kata itu bagaikan penyelamat di masa-masa awal pergolakan itu. Dan selama sembilan tahun terakhir berikutnya, kata-kata itu tetap menjadi sauh bagi jiwa (Ibrani 6:19), yang memenuhi saya dengan kegairahan untuk menyambut reuni yang akan datang.