Mengapa Aku, Tuhan?

(Sandy Feit)

Cara Tuhan memakai penderitaan dalam hidup kita.

Baiklah, saya tahu saya sekarang sudah dewasa: saya benar-benar sudah menelepon untuk menerima suntikan vaksin – satu hal yang ketika saya masih muda, saya sudah bersumpah tidak akan pernah melakukannya.

Jarum suntik adalah salah satu dari tiga ketakutan terbesar di masa kecil saya. Tak heran – suntikan itu menyakitkan, dan bisa membuat orang menangis keras. Dan ada banyak tangisan keras, terutama ketika sekolah-sekolah mengadakan program suntikan masal untuk vaksinasi cacar, polio dan imunisasi difteri yang menakutkan. Keadaan sudah cukup buruk ketika nama sahabat Anda dipanggil dan Anda melihat ketakutan di matanya ketika ia berjalan menuju tempat penyiksaan itu. Dan yang lebih buruk, saya masih ingat ketika Harold, anak yang sok jago di kelas, kembali ke bangkunya dengan mata merah dan tertunduk lesu.

Dan, memikirkan ibu saya menandatangani surat izin penyuntikan…. Bagaimana mungkin ia bisa dengan sadar membuat putri yang dicintainya mengalami kecemasan dan kesakitan? Pada saat itu juga, saya (siswa kelas 2 SD) telah memutuskan bahwa saya tidak akan pernah melakukan hal seperti itu pada anak-anak saya.

Tentu saja Anda tahu bahwa yang terjadi kemudian tidaklah seperti itu. Dua puluh tahun kemudian, saya ke dokter anak, menyerahkan bayi saya yang berharga untuk menerima suntikan pertamanya. Saya sadar bahwa membiarkannya merasa sakit sesaat diperlukan untuk melindunginya dari penderitaan yang lebih buruk. Meskipun saya juga tahu bahwa bayi yang paling belia pun menganggap ibunya sebagai tempat perlindungan mereka – apakah gadis kecil saya merasa dikhianati, saya bertanya-tanya? Namun tidak ada cara untuk menjelaskan alasan saya yang penuh kasih atau untuk membuatnya memahami kebenaran perkataan lama ini “Situasi ini lebih menyakitkan saya daripada kamu.”

Hanya beberapa tahun setelah itu, kami mengalami kehilangan anak kedua kami secara menyakitkan – anak yang lahir prematur dan hanya diizinkan bersama kami selama satu bulan. Dan yang terjadi selanjutnya adalah masa-masa penderitaan yang berkepanjangan, yang tidak hanya berisi kedukaan mendalam tetapi juga kecelakaan medis berikutnya dan dua rangkaian kemoterapi singkat. Saya tidak tahu bagaimana (atau apakah) saya bisa bertahan dalam penderitaan emosional itu.

Pada saat itu, saya tidak memiliki perspektif rohani, tetapi sekarang saya bisa melihat gambar besar itu secara keseluruhan dan menyadari bahwa Tuhan memakai setiap bagian dari pengalaman yang menyakitkan itu untuk menarik saya kepada diri-Nya. Jika kesulitan-kesulitan saya dipersingkat atau dikurangi intensitasnya, saya cukup yakin bahwa saya akan langsung bangkit, membersihkan diri dan melanjutkan perjalanan – tanpa mengalami pencerahan dan kesadaran – di jalan yang sama yang akhirnya mengantar kepada penderitaan yang lebih buruk (baca Matius 7:13).

Dan saya pun mengenali diri saya dalam penjelasan Dr. Stanley tentang penderitaan yang Tuhan izinkan:

Melihat dan memahami “gambar besar” sangat penting jika Anda ingin hidup di atas situasi-situasi. Berfokus pada bagian-bagiannya saja, atau pada sebagian besar situasi yang terjadi, akan membingungkan dan melemahkan Anda. Gambar besar Tuhan adalah ini: Dia selalu bekerja dalam segala sesuatu untuk membuat kita menjadi makin serupa Kristus. Dia memakai situasi senang maupun suram untuk menyelesaikan pekerjaan itu, meskipun Anda selalu lebih suka yang senang-senang saja.

Tetapi pada saat itu, sebagai orang yang belum percaya di tengah keganasan musim itu, saya tidak dalam posisi memahami bahwa penderitaan juga terbukti bermanfaat (2 Korintus 4:17); seperti anak yang ditusuk jarum suntik, saya hanya berfokus pada rasa sakitnya. Namun bersyukur, karena Bapa surgawi yang penuh kasih juga Tabib yang Agung, yang tahu pasti bagaimana mengimunisasi anak-anak untuk kebaikan mereka. Karena itulah, Dia menandatangani surat izin itu – dan mengulurkan tangan-Nya pada kita untuk dipegang ketika kita menangis.