Mengapa Anda Merasa Tidak Berharga?

(C. Lawrence)

Pergumulan untuk memercayai bahwa janji-janji Tuhan itu benar

Anda harus memperbarui pikiran Anda dengan kebenaran ini: Anda sangat berharga di mata Tuhan. Tuhan sudah mengorbankan segalanya untuk memiliki relasi dengan Anda, termasuk sampai mati di salib Golgota … Tuhanlah satu-satunya yang memiliki pandangan tidak terbatas tentang diri Anda yang sebenarnya. Dalam pandangan-Nya, Anda “diciptakan dengan dahsyat dan ajaib.”

Saya sudah menjumpai sedikit sekali orang yang benar-benar merasa nyaman membicarakan  keberhargaan mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Sesungguhnya, banyak orang yang sudah mencapai tingkat kesuksesan atau ketenaran tertentu mengaku bahwa mereka tak henti-hentinya merasa seperti imposter (orang yang tidak berarti) —bahkan ketika penghargaan demi penghargaan sudah diraih, publisitas meningkat dan situasi keuangan membaik.

Saya teringat pada orang-orang yang saya kenal yang —setelah berpuluh-puluh tahun berusaha—masih mencoba membuktikan keberhargaan diri mereka pada orangtua, pasangan, saudara atau teman. Apa pun yang mereka lakukan, berapa lama pun waktu sudah berlalu, tak ada yang tampaknya dapat mengisi kekurangan yang mereka temukan di dalam diri mereka. Tak heran jika kita yang begitu mudah berbuat dosa, tertatih-tatih antara kesetiaan dan sikap apatis, masih bergumul untuk memercayai bahwa Tuhan, yang melihat dan mengetahui segalanya, mengasihi kita tanpa syarat. Dan bukan terlepas dari siapa kita, tetapi karena kita adalah anak-anak terkasih yang diciptakan menurut gambar-Nya.

Mungkin saya hanya berbicara untuk diri saya sendiri ketika saya berkata bahwa menerima pandangan Tuhan tentang siapa saya adalah salah satu pergumulan hidup yang abadi. Tetapi saya tahu bahwa saya tidak sendirian — bahwa ini adalah kondisi yang umum dan luas. Dan karena itu, nasihat Dr. Stanley untuk memperbaharui pikiran kita dengan merenungkan kebenaran tentang siapa kita sangatlah penting. Dan di dalam budaya kita yang suka membanding-bandingkan, kita perlu sering melakukannya.

Hal yang berbahaya, inti dari setiap ketidakpercayaan tentang kasih Tuhan yang tak bersyarat pada kita, adalah kesombongan yang menyamar sebagai kerendahan hati. Seperti Petrus saat berada di Ruang Atas, kita menanggapi kerendahan hati dan kemurahan Kristus dengan penolakan—keberanian untuk mengatakan pada Tuhan apa yang akan atau tidak akan Dia lakukan pada kita, apa yang harus atau tidak seharusnya Dia pikirkan:

“Kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu. Maka sampailah Ia kepada Simon Petrus. Kata Petrus kepada-Nya: ‘Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?’ Jawab Yesus kepadanya: ‘Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.’ Kata Petrus kepada-Nya: ‘Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya.’ Jawab Yesus: ‘Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.’ Kata Simon Petrus kepada-Nya: ‘Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!’” (Yohanes 13:5-9).

Meskipun ayat-ayat ini tidak berbicara langsung tentang keberhargaan diri, bagian ini menunjukkan kesombongan di hati kita ketika kita melihat Yesus, yang berdiri di dekat kita dan siap melayani kita, dan berkata, “Jangan saya, Tuhan.”

Mengingkari keberhargaan orang percaya dalam Kristus berarti mengurangi yang sudah diselesaikan Kristus di kayu salib—bukan dalam arti sebenarnya, tentu saja, tetapi dalam arti manifestasi kuasanya dalam hidup kita. Pada akhirnya, merenungkan keberhargaan diri kita sesungguhnya bukanlah tentang memikirkan diri sendiri sama sekali, melainkan tentang berdiri dengan takjub mengagumi kebaikan dan kemurahan Tuhan, yang melampaui segala imajinasi kita yang paling dahsyat tentang kebaikan dan kemurahan hati. Kita benar-benar tidak bisa melihat diri kita sendiri dengan jelas – tidak bisa mengerti siapa sebenarnya diri kita – di luar persekutuan dengan Dia. Dengan memakai kata-kata Paulus, hidup kita “tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Tuhan” (Kolose 3:4).

Apa yang akan Anda lakukan dengan hidup Anda jika Anda tidak lagi membawa beban perasaan tidak berharga? Apa yang akan Anda katakan kepada orang-orang terdekat Anda dan bagaimana Anda akan mengasihi mereka secara berbeda? Bisa jadi transformasi kita dimulai dengan memperlakukan diri kita sendiri dengan cara yang sama – dengan memilih untuk hidup seakan yang dikatakan Tuhan itu benar. Firasat saya, dengan mengambil langkah-langkah seperti itu, kita akan mendapati beban itu semakin ringan, hati kita akan melayang lebih tinggi – melampaui sekadar pemahaman bahwa kita berharga, untuk hidup dan bergerak dan memiliki identitas kita dalam kepenuhan kasih-Nya.